scentivaid mycapturer thelightindonesia

2017-2018, Tahun Duka bagi Minangkabau

Tahun 2017-2018 Kesedihan bagi Minangkabau
Ilustrasi/Dok.Penulis

Kurang lebih dua tahun yang lalu, di tahun 2017 dan awal 2018, Minangkabau dikejutkan dengan berita duka, meninggalnya tiga orang tokoh ulama besar. Tiga ulama yang merupakan khadim ilmu di pondok pesantren ternama di Minangkabau. Menghabiskan hari-harinya untuk membimbing para anaksiak dan mengabdi pada umat.

Pertama, meninggalnya Khalifah Thariqah Syatariyah yang tersohor, Abuya Ali Imran Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan, Pakandangan. Beliau adalah sosok alim sekaligus ‘abid. Santri yang menghabiskan hari-harinya mengaji dengan Abuya Zakariya Labai Sati Malalo. Beliau meninggal di tanggal 12 April 2017.

Peran beliau dalam mempertahankan akidah Aswaja di bumi Minangkabau tidak diragukan lagi. Dikisahkan oleh murid beliau, Abuya Tuangku Kerajaan, bahwa beliau diminta oleh kaum adat Pakandangan di tahun 60-an untuk pulang ke pariaman, karena maraknya paham muktazilah dan wahdatul wujud berkembang di Pariaman kala itu. Namun, Abuya Zakariya Labai Sati tidak memberi izin. Alasannya, Buya Ali Imran ini sudah dikader oleh Buya Labai Sati untuk mengabdi di Malalo dan juga telah mengajar 10 tahun di sana. Akhirnya masyarakat Pariaman mengadukan itu kepada Syekh Sulaiman Arrasuli. Kemudian Syekh Sulaiman Arrasuli mengirimkan surat kepada Buya Zakariya Labai Sati untuk memberikan izin kepada Buya Ali Imran pulang ke kampung halamannya.

Dengan modal izin itulah, buya Ali Imran pulang dan mencoba menyeimbangkan polemik muktazilah dan wahdatul wujud yang berkembang di sana. Hal yang menarik dari beliau, adalah soal keramahan beliau dalam menyikapi persoalan tersebut, dengan nada yang ramah namun tetap mengedepankan pondasi dasar, narasi yang selalu beliau sampaikan adalah “awak ko makhluk, sedangkan Allah Khaliq, jadi ndak akan pernah samo Khaliq samo Makhluq”. (Diceritakan oleh cucu beliau, Tuangku Shafwatul Bary)

Kemudian beberapa bulan setelahnya, disusul meninggalnya Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah yang dikenal sebagai Guru Tuo di PP Tarbiyah Islamiyah Malalo, Buya Muhammad Karimuddin Jamal, beliau meninggal pada 27 Desember 2017. Beliau menerima ijazah mursyid dari Syekh Zakariya Labai Sati yang mana Buya Labai Sati ini adalah Mursyid yang sangat selektif memberikan ijazah mursyid kepada si salik. Karena bagi beliau, ijazah mursyid hanya bisa diberikan kepada mereka yang sudah mendalam dalam syariat dan makrifat secara bersamaan. Maka dilihat dalam sejarah, sangat sedikit ulama tarekat yang menerima ijazah dari beliau Buya Zakariya Labai Sati.

Baca Juga: Kenangan Sangat Indah Bersama Syekh Sulaiman Arrasuli

Oleh karena itu, Buya Karim (sapaan akrab beliau) adalah orang sangat beruntung yang berhasil mendapat ijazah itu. Artinya beliau adalah orang yang sangat seimbang dalam ranah syariat dan makrifat dalam pandangan Abuya Zakariya Labai Sati. Maka kepergian Buya Karim, adalah hal sangat menyedihkan bagi kita para santrinya khususnya dan bagi umat pada umumnya.

Di samping mengajar di pondok pesantren, beliau juga disibukkan dengan membimbing para salik dan bersuluk. Di samping itu, beliau juga aktif dalam dunia dakwah. Seringkali beliau menghadiri kegiatan tablig akbar dan zikir bersama. Dengan tongkat payung dan model serban yang khas, beliau pergi menelusuri pelosok negeri untuk memberikan nutrisi ruhani bagi umat. Tanpa kenal lelah beliau menjalaninya dengan penuh keikhlasan dan ketabahan.

Belum kering air mata kehilangan buya Ali Imran dan Buya Karim, terdengar pula kabar meninggalnya Abuya Amran A Shomad, pengasuh pesantren At-Taqwa, Canduang. Beliau meninggal pada 17 Januari 2018.

Kealiman beliau dalam ilmu keislaman tidak diragukan lagi. Terlihat dari kelihaian beliau mengobrak abrik kitab2 turats dengan sangat mendalam dan sulit dibantah. Kenapa tidak? Karena beliau merupakan Santri yang diberkahi dengan penguasaan mendalam dalam ilmu alat, seperti nahu, sharaf, nahu, balaghah, manthiq dan ushul fiqih. Sehingga membaca dan memahami teks-teks Arab menjadi sebuah kecanduan yang menghasilkan sesuatu bermanfaat bagi umat.

Beliau adalah murid dari Syekh Sulaiman Arrasuli (Pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan Syekh Muda Wali, ulama Perti di Aceh yang juga dikenal dengan kefaqihannya dalam berbagai fan ilmu. Maka wajar saja, berkat didikan beliau lahir orang-orang hebat sekelas profesor sekalipun.

Cerita menarik, dikisahkan oleh muridnya Abuya Zulhendri Rais, Lc, MA sebelum pemakaman beliau di Ponpes At-Taqwa bahwa pernah terjadi muzakarah ulama di Riau, yaitu terkait satu persoalan dalam kitab Agung dalam mazhab Syafi’i, yaitu kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar Al-Haitami. Muzakarah ini dihadiri ulama besar Riau, tak terkecuali Ustaz Abdul Shomad dan Dr. Musthafa Umar yang masyhur. Namun persoalan itu tidak mampu diselesaikan. Akhirnya Buya Zulhendri Rais menghubungi Buya Amran, dan menanyakan persoalan tersebut. Tanpa menunggu lama, pertanyaan itu dijawab oleh Abuya Amran. “Inilah bukti konkrit kealiman Buya Kita”, pungkasnya.

Salah satu pesan yang sangat berharga dari Abuya Amran adalah bahwa kita jangan selalu menjadi si “lazim”, sehingga yang merasakan manfaat hanya diri kita sendiri, seharusnya kita menjadi “muta’addi”, sehingga manfaat itu juga bisa dirasakan orang lain. (Riwayat bil makna).

Pada akhirnya, kurang lebih sudah dua tahun kita ditinggal, selayaknya kita berdoa, mengirimkan pahala yasin dan tahlil kepada guru-guru yang mulia ini. Karena kita benar-benar merasakan kehilangan yang amat mendalam, di tengah banyaknya persoalan keagamaan yang sulit dipecahkan, dan ditambah lagi perpecahan dari mereka yang rentan menyalahkan, membid’ahkan bahkan mengkafirkan sesama kita.[]

لهم الفاتحة

Abdul Kamil
Alumni MTI Canduang, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences