Quo Vadis Tarbiyah Islamiyah
Tertanggal 15 Mei 2015, di sosial media—facebook–warga dan jamaah Tarbiyah Islamiyah hangat memperbincangkan petisi yang bertajuk “Mari tolak PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan DPD Persatuan Tarbiyah Islamiyah Sumatera Barat.” Tidak hanya membincangkan, tetapi juga turut mendukung petisi tersebut dengan cara membubuhkan tanda tanda secara online pada portal www.change.org. Ada tanda tanya besar yang muncul ketika memantikperistiwa itu, “ada apa dengan persatuan Tarbiyah Islamiyah?”
Petisi itu diawali ketika Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah memberikan dan mengangkat Fauzi Bahar dan Zulkifli Hasan sebagai warga kehormatan Tarbiyah Islamiyah. Bagi organisasi sosial keagamaan memberikan status warga kehormatan tentu saja lumrah, bahkan sudah mentradisi. Persoalannya bukan terletak pada konteks itu. Pertanyaannya adalah mengapa harus Fauzi Bahar dan Zulkifli Hasan yang diberikan status prestisius semacam itu? Apa kontribusi dua tokoh itu terhadap eksistensi Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang hampir tumbang? Pertanyaan ini berhamburan di kepala warga dan jamaah Tarbiyah Islamiyah. Penyimpulan pun terjadi: kebijakan itu berdimensi politis; dan bermuatan transaksional kekuasaan.
Dimensi Politis
Dekrit yang dikeluarkan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli agar Persatuan Tarbiyah Islamiyah kembali ke-khittah, bermakna bahwa Tarbiyah Islamiyah wajib menanggalkan jubah politik-transaksional. Kembali ke jati diri organisasi, yakni konsisten bergerak dalam dakwah, pendidikan, dan gerakan sosial. Dektrit tersebut merupakan titik balik bagi warga Tarbiyah Islamiyah. Disebut titik balik, dengan dektrit ini kemudian warga Tarbiyah Islamiyah mendapatkan kembali harga diri dan jati dirinya sebagai umat yang merdeka, dan terbebas dari tarik-menarik politik yang korup dan transaksional.
Tetapi apalacur, kini Persatuan Tarbiyah Islamiyah mengabaikan khittah itu. Alih-alih memikirkan dan berjuang membantu Madrasah Tarbiyah Islamiyah agar tetap eksis serta mampu bertahan dari gempuran modernisasi dan menurunnya minat masyarakat terhadap MTI, Persatuan Tarbiyah Islamiyah justru mempersibuk diri dengan politik ‘dagang sapi’. Mencari teman sejati–Partai Politik, dan aktif dalam politik dukung mendukung. Dalam konteks ini kemudian, petisi yang disebarkan secara online oleh warga Tarbiyah Islamiyah, mereka yang merupakan anak ideologis dari Tarbiyah Islamiyah, layak dimaknai.
Baca Juga: Surat Terbuka untuk Kongres PB IPTI dan PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Kekuasaan-Transaksional
Seandainya Persatuan Tarbiyah Islamiyah memiliki ‘bergaining position’ yang kuat, tentulah organisasi yang sudah tua dan selevel dengan NU; dan Muhammadiyah ini mampu menentukan arah kepemimpinan nasional serta mampu merumuskan kriteria kepemimpinan nasional seperti yang dilakukan oleh organisasi selevel dengannya, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Ironisnya, Persatuan Tarbiyah Islamiyah hanya mampu menjadi ‘tim sukses’ yang malang. Sehabis helat politik, organisasi ini tak lagi dilirik.Sementara pertanggungjawabannya ke jamaah justru tak dapat ditagih. Dilema. Demikianlah nasib Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang terlalu berlama-lama bermain diarena kekuasaan transaksional.
Ketika Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sudah merambah dan memperkuat gerakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mendirikan berbagai universitas serta mampu melayani rakyat dengan agenda-agenda sosial-enterpreneuship seperti pendirian rumah sakit. Ironis, Persatuan Tarbiyah Islamiyah masih saja menjadi sapi perahan dari partai politik. Sementara basis-basis sosialnya—madrasah-madrasahnya—sekarat dengan berbagai persoalan yang mengerogoti tubuhnya, akhirnya lumpuh. Lagi-lagi hal ini adalah ekses dari kekuasaan-transaksional yang gemar dimainkan Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Dua hal tersebut (praktik politik praktis—dukung mendukung dan kekuasaan-transaksional) telah menyebabkan keterputusan antara Persatuan Tarbiyah Islamiyah dengan basis-basis sosial dan ideologisnya, yakni Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Massifnya perasaan bahwa Persatuan Tarbiyah Islamiyah adalah hal lain dan asing, bukanlah tubuh dari warga Tarbiyah Islamiyah, menjadi niscaya. Hadirnya pun terasa tak ada, atau huduruka-maqdum. Lantas bagaimana?
Imajinasi Kolektif
Persoalan dan ironi yang terpampang jelas pada Persatuan Tarbiyah Islamiyah adalah hal yang menyakitkan dan membuat dada warga Tarbiyah Islamiyahsemangkin sesak. Harapan terhadap organisasi ini tengah melantai, bahkan nyarispupus. Tidak berlebihan jika warganya mengajukan petisi secara sempalan: sebuah gerakan yang mengekspresikan kegeraman; marah; dan pengutukan terhadap perilaku elit Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Kejujuran dan kedewasaan pimpinan DPD Tarbiyah Islamiyah, terutama Pengurus Besar Tarbiyah Islamiyah sangat dibutuhkan dalam situasi organisasi yang sudah gawat darurat seperti ini. Jujur mengakui salah langkah, dan dewasa dalam menyikapi kritik. Lebih baik lagi jika pimpinan organisasi sosial keagamaan Persatuan Tarbiyah Islamiyah ini mengembalikan mandatnya kepada basis-basis utama organisasi Tarbiyah Islamiyah, yakni Madrasah Tarbiyah Islamiyah.
Berikan peluang kepada ‘anak ideologis’ Tarbiyah Islamiyah menata dan menentukan arah Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan berikan ruang yang luas bagi mereka untuk menjaga khittah dari Syeikhuna Sulaiman Ar-Rasully. Hanya dengan kematangan sikap seperti itu arah, quo vadis, dapat ditentukan.
Imajinasi kolektif warga Tarbiyah Islamiyah mestilah dipertimbangkan atau perlu diperjuangkan. Imajinasi besar dimana Persatuan Tarbiyah Islamiyah tak hanya mampu memperkuat agama serta menata perilaku umat; tetapi lebih hebat lagi imajinasi akan berperan dan berkontribusinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah dalam menyehatkan ekonomi umat; mencerdaskan serta mampu membentuk karakter bangsa.
Baca Juga: Kearifan Lokal Pengajaran Bahasa Arab di Surau Minangkabau
Namun imajinasi luhur itu tak akan terwujud seperti turunnya dari langit. Imajinasi itu mestilah direbut, dan diperjuangkan kembali oleh warga Tarbiyah Islamiyah. Nakhoda armada besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah ini mestilah dibenarkan, dikoreksi dan diambil alih oleh warga Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Gerakan penyelamatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah mestilah digagas, agar organisasi besar ini dapat kembali ke-khittah dan meninggalkan praktik politik praktis-transaksional. Gerakan ini adalah ‘perkerjaan rumah’ anak ideologi Tarbiyah Islamiyah—warga Tarbiyah Islamiyah yang ditempa selama 7 (tujuh) tahun di Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Mereka yang telah mendengarkan detak jantung dan minum dari air kehidupan (nilai; semangat; keluhuran cita-cita Tarbiyah Islamiyah) secara langsung.[]
Leave a Review