Dua Sajak Lain Dua Sajak Lain Dua Sajak Lain
Oleh: Muhammad Fahruddin Al Mustofa
___________
Abad Dua Satu yang Aneh
Sudah begitu lama manusia meributkan soal Tuhan. Ada yang menyebut, ia terselip di kantong baju orang-orang pinggiran yang makan menunggu rezeki hari ini dan tak risau dengan hari esok. Atau ia ada di setiap sujud, setiap tarikan napas, seluruh jengkal kehidupan kita. Para teolog bersikukuh, ia tidak bertempat, berarah, menempati ruang dan waktu. Tidak pula menyerupai makhluk, tidak menikah, melahirkan dan butuh akan zat lain.
Atas namanya, manusia bisa membunuh, berperang, menghabisi nyawa tanpa pandang bulu. Inilah kehendaknya? Atau kehendak manusia yang lacur?
Kini Tuhan menjelma materi yang diimani manusia urban dan modern. Disayang-sayang, dipuja-puja layaknya lagu dangdut yang bikin mabuk. Itu tentu bukan isyqul ilahi tapi hawa nafsu yang telah membatu dan menghijab nurani.
Telepon genggam tuhan kecil baru abad dua satu. Paling mutakhir sekaligus paling setia disembah setiap waktu. Tentunya lebih praktis dalam ritual peribadatan, jika baterai habis tinggal minta ampun pada charger. Atau bertawasul pada power bank.
Para umat tak perlu risau lagi, tak perlu tempat lagi ibadah yang eksklusif dan butuh dana miliaran. Ia fleksibel dan ramah lingkungan. Tidak ada keributan merobohkan gereja. Atau larangan membangun masjid untuk minoritas. Asal ada setop-kontak semua bisa wushul menujunya.
Ingat, sinyal, kuota dan google adalah kitab sucinya dan upload ig story adalah manifestasi dari iman. Spiritualitas tertinggi berada pada banyaknya folower. Sementara kekosongan batin dan kerusakan moral, urusan ke sekian untuk dipikirkan.
Ada kegilaan apalagi di abad-abad selanjutnya?
“Sudahlah, urusan moral, apalagi spiritual, biar kami urus sendiri.”
Casablanca, 2020
Baca Juga: Tiga Sajak Muhammad Fahruddin Al-Mustofa
Oleh: Muhammad Fahruddin Al Mustofa
___________
Ateis Kentang
Di kos-kosan kumuh
tepat sebelah kanan pertigaan
malam jatuh menimpa genteng
amruk memenuhi dada kami
dengan pertanyaan perihal
tuhan
Dua orang teman
terlibat adu mulut tentang
konsep wujud tuhan
“coba buktikan sekarang,
kalau tuhan benar-benar ada!”
“gak ada otak kau!”
Kawanku ini memang unik
yang satu anak modin desa
berlagak menjadi ateis
yang satu anak berandal kampung
tapi hidupnya tak pernah jauh dari langgar
Nama-nama macam dawkins, marx,
nietchze, hawking dan jamaahnya menyembur
bagai muntahan orang mabuk
sementara, temanku anak berandal
hanya ingat kata-kata ustadnya saat masih
kecil mengaji di langgar gubuk
:sebuah realitas iman yang tangguh
“sekarang gini, kau tidak percaya pada hal gaib,
kau melihat segala hal dari materi. kalau berani,
ikut aku ke hutan sekarang.”
“kau sungguh tidak realistis.”
“kau kutantang uji nyali di sana.
katamu harus empiris. masa gini aja takut.”
Aku hanya menyimak,
seraya memeluk kedua kaki
dan menutup kepala dengan sarung
menanti klimaks dari perdebatan dua filosof
madhab kidulan ini
“cukup, kau sungguh batu dan tak paham.
mending aku pulang ngobrol sama Voltaire.”
“halah cupu. dasar ateis kentang. ngakunya
nggak percaya tuhan, tapi takut setan. sontoloyo!”
Kurasa cukup, kirunlah pemenangnya
pukulan upper cut memaksa roni
terkapar dengan keyakinan yang kopong
sepakat sekali, kami pun tertawa bahagia
“dasar, ateis kentang.”
Casablanca, 2020
Baca Juga: Dua Sajak Riki Dhamparan Putra
Oleh: Muhammad Fahruddin Al Mustofa
___________
Madah Nabi Sang Darwis
Manusia hari ini bertanya:
“Bagaimana cara mencintai nabi?”
Sang Darwis menjawab
dengan pertanyaan:
“Bagaimana engkau mencintai
Kekasihmu?”
Ia berpikir sejenak.
dan berakhir tidak mengucap
kata apa pun
lidahnya keluh
“Engkau tidak dapat menjawab.
Karena cinta tak butuh kata.”
Sang Darwis mendadak dadanya sesak
air matanya berjatuhan menjadi
syair-syair kerinduan, seraya berucap:
Tuhan mencintai nabi
nabi mencintai Tuhannya
diciptakan seluruh alam
lantaran nur kinasih
membuatNya jatuh cinta
disandingkan asmanya
sebab tiada keindahan
selain dari padanya
selawat mengabadi
untuk sang kinasih
pembawa risalah
cinta kasih
untuk seluruh makhluk
dan semesta raya
Oh, muhammad
terimalah salam kami
syafaatmulah kebahagiaan
yang kami cari
engkau oase di tengah
fatamorgana duniawi ini
kerinduan tumbuh subur
dan akan kami bawa hingga mati
bunga-bunga akan kami petik
dan kami serahkan ke hadiratmu
kelak ketika kita bersua nanti
di taman bunga firdaus ilahi
Tubuh sang darwis ambruk ke tanah
debu-debu memenuhi wajah dan pakaiannya
lalu tak sadarkan diri, munajat malam itu
telah usai diakhiri dengan api yang
membakar diri
Rabat, 2019
Leave a Review