scentivaid mycapturer thelightindonesia

Abu Abdullah Tanjong Bungong; Ulama Karismatik dan Ahli Falak Aceh

Abu Abdullah Tanjong Bungong; Ulama Kharismatik dan Ahli Falak Aceh Nama asli beliau adalah Teungku Abdullah bin Teungku Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Abu Tanjong Bungong yang merupakan ulama Aceh yang dikenal ahli dalam ilmu falak. Beliau lahir di Tanjong Bungong, Bandar Dua, Pidie Jaya, dari keluarga ulama dan pimpinan dayah. Ayahnya Teungku Ibrahim merupakan seorang ulama dan pendiri dayah di Tanjong Bungong. Semenjak kecil Abu Tanjong Bungong telah dipersiapkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang ulama dan pengawal agama masyarakat. Memasuki usia 6 tahun Abu Tanjong Bungong mulai belajar ilmu-ilmu keislaman langsung dari ayahnya, sambil belajar di sekolah umum. Pada usia tiga belas tahun mulailah Abu Tanjongan Bungong merantau untuk menimba ilmu di berbagai dayah yang ada di wilayahnya. Mengawali dayah yang pertama beliau singgahi adalah Dayah Gampoeng Muelum Samalanga. Di Dayah tersebut beliau belajar selama dua tahun untuk memperkuat dasar-dasar keilmuan yang telah diperolehnya dari sang ayah. Selanjutnya Abu Tanjong Bungong pulang kampung kemudian beliau melanjutkan di Dayah Hadiqatul Ma’arif yang dipimpin oleh Abi Syafi’i Aron yang merupakan ulama yang pernah belajar kepada Abu Cot Kuta yang merupakan pimpinan Dayah Raudhatul Ma’arif Cot Trueng. Abi Syafi’i Aron juga menantu dari ulama karismatik yang dikenal dengan Teungku Chik Meunasah Kumbang, murid dari Teungku Chik Pantee Geulima. Mengingat kondisi yang kurang kondusif pada waktu itu, Abu Tanjong Bungong hanya menetap sementara saja di Dayah Hadiqatul Ma'arif, selanjutnya Abu Tanjong Bungong belajar ke kampung asal ayahnya di Panteu Breuh Aceh Utara kepada ulama yang dikenal dengan sebutan Teungku Di Aceh atau Teungku Abu Abdurrani pimpinan Dayah Darul Huda Panteu Breuh. Di dayah ini Abu Tanjong Bungong menetap selama dua tahun belajar kepada Teungku Di Aceh tersebut. Setelah menguasai berbagai keilmuan secara mendalam, pada tahun 1959 beliau melanjutkan pengembaraan keilmuannya ke Dayah Darul Ulum Tanoh Mirah, belajar kepada salah satu ulama besar Aceh murid Abuya Syekh Muda Waly yaitu Abu Tanoh Mirah. Abu Tanjong Bungong bisa digolongkan sebagai murid angkatan pertama dari Abu Tanoh Mirah, dimana Abu Tanoh Mirah pada tahun 1957 baru pulang dari Dayah Darussalam Labuhan Haji belajar kepada Syekh Muda Waly al-Khalidy di kelas Bustanul Muhaqqiqin. Kepada Abu Tanoh Mirah, Abu Tanjong Bungong lama belajar lebih kurang selama sembilan tahun, sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang ulama yang mendalam ilmunya. Pada tahun 1968 beliau meminta izin kepada gurunya Abu Tanoh Mirah untuk pulang dan melanjutkan kepemimpinan dayah yang telah dibangun oleh ayahnya di Tanjong Bungong, dan beliau diizinkan. Abu Tanoh Mirah sang guru adalah ulama yang dikenal sangat alim dan menguasai ilmu ushul fikih secara mendalam. Banyak para ulama yang pernah belajar kepada Abu Tanoh Mirah selain Abu Tanjong Bungong adalah Abon Sofyan Arongan, Abu Keunire, Abu Athaillah Ulee Titi, Waled Aluebu dan banyak para ulama lainnya. Walaupun Abu Tanjong Bungong telah menjadi alim, beliau adalah sosok pribadi yang bersahaja dan rendah hati. Beliau termasuk ulama yang bersikap tenang dan kharismatik pembawaannya. Selain menguasai ilmu keislaman secara mendalam, beliau juga merupakan rujukan masyarakat Aceh dewasa ini dalam ilmu falak. Kecintaan beliau kepada ilmu falak berawal ketika beliau mempelajari kepada ulama yang sangat dikenal dalam ilmu falak yaitu Teungku Muhammad Isa Mulieng atau dikenal dengan Abu Pereupok. Selain belajar dari Teungku Muhammad Isa Mulieng, Abu Tanjong Bungong juga belajar ilmu falak secara mendalam kepada banyak ulama yang takhasus dalam bidang falak seperti: Abu Teupin Raya, Teungku Muhammad Ali Muda Medan, Teungku Muhammad Yusuf Harun, Teungku Halim Medan dan para ulama lainnya. Sehingga dalam setiap forum ilmiyah tingkat tinggi mengenai ilmu falak, beliau selalu di daulat untuk memberikan materi tentang ilmu tersebut. Tidak mengherankan kemudian masyarakat Aceh mengenal beliau sebagai ulama ahli falak dewasa ini. Selain itu, Abu Tanjong Bungong juga aktif dalam kepengurusan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, sebelumnya beliau dalam keanggotaan ulama Pidie Jaya. Kiprah keulamaan Abu Tanjong Bungong dengan ilmu falaknya tentu sangat diperlukan oleh masyarakat, mengingat berbagai macam peribadatan, umat Islam tidak bisa terlepas dari penetapan waktu, arah kiblat dan penentuan penanggalan hijriyah. Mengingat begitu penting ilmu falak, maka Kantor Kementrian Keagamaan Aceh menerbitkan buku beliau secara khusus dengan judul Ilmu Falak antara Fiqih dan Astronomi. Dimana dalam buku tersebut beliau menjelaskan secara menyeluruh dan mendetil dasar-dasar mempelajari ilmu falak. Selain buku, beliau juga menyampaikan banyak makalah yang membahas tentang ilmu falak yang pernah beliau sampaikan pada berbagai simposiom dan seminar yang membahas mengenai kajian ilmu falak. Berbagai kontribusi positif tersebut tidak meluputkan beliau untuk turut aktif dalam organisasi keislaman seperti al-Washliyah. Khusus di Bandar Dua Ulee Glee, keberadaan organisasi Ahlussunnah Waljama’ah al-Washliyah memiliki makna tersendiri dengan keterlibatan ulama yang menggagasnya di Bandar Dua yaitu Abu Uteun Bayu yang sangat disegani oleh masyarakat Bandar Dua Ulee Glee dan sekitarnya. Adapun dalam politik praktis maka Abu Tanjong Bungong tidak melibatkan dirinya, beliau lebih memilih menjaga jarak, walaupun ide-ide yang baik tentunya beliau sampaikan kepada siapapun yang berkecimpung dalam dunia politik. Ada sisi kesamaan antara Abu Tanjong Bungong dan Abu Uteun Bayu ialah kedua-duanya tidak terjun dalam dunia politik praktis, namun sikap Abu Tanjong Bungong agak lebih lentur dimana beliau masih mengikuti perkembangan politik dengan memberi arahan-arahan yang baik dalam bentuk kemaslahatan walaupun beliau tidak terjun langsung. Sedangkan Abu Uteun Bayu sama sekali total tidak mengikuti irama dan alur politik, beliau lebih memilih uzlah, namun tentu tetap mendoakan masyarakatnya dengan cara terbaik. Karena memang para ulama memiliki cara tersendiri dalam bersikap dan menetukan arah pandangan secara bijak dan tepat. Sekarang Abu Tanjong Bungong telah sepuh telah sampai usia 80 tahun, karena beliau diperkirakan lahir pada tahun 1940. Tentu telah banyak hal positif telah dilakukan untuk masyarakatnya. Mengawal pemahaman agama dengan baik dan penuh amanah, telah diabdikan usianya untuk agama dan masyarakat yang dicintainya, semoga Allah SWT meninggikan derajat guru dan ulama kita Abu Tanjong Bungong Hafidhahullah
Foto Dokumen Penulis

Nama asli beliau adalah Teungku Abdullah bin Teungku Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Abu Abdullah Tanjong Bungong yang merupakan ulama Aceh yang dikenal ahli dalam ilmu falak. Beliau lahir di Tanjong Bungong, Bandar Dua, Pidie Jaya, dari keluarga ulama dan pimpinan dayah. Ayahnya Teungku Ibrahim merupakan seorang ulama dan pendiri dayah di Tanjong Bungong. Semenjak kecil Abu Abdullah Tanjong Bungong telah dipersiapkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang ulama dan pengawal agama masyarakat.

Memasuki usia 6 tahun Abu Tanjong Bungong mulai belajar ilmu-ilmu keislaman langsung dari ayahnya, sambil belajar di sekolah umum. Pada usia tiga belas tahun mulailah Abu Tanjongan Bungong merantau untuk menimba ilmu di berbagai dayah yang ada di wilayahnya. Mengawali dayah yang pertama beliau singgahi adalah Dayah Gampoeng Muelum Samalanga. Di Dayah tersebut beliau belajar selama dua tahun untuk memperkuat dasar-dasar keilmuan yang telah diperolehnya dari sang ayah. Selanjutnya Abu Tanjong Bungong pulang kampung kemudian beliau melanjutkan di Dayah Hadiqatul Ma’arif yang dipimpin oleh Abi Syafi’i Aron yang merupakan ulama yang pernah belajar kepada Abu Cot Kuta yang merupakan pimpinan Dayah Raudhatul Ma’arif Cot Trueng. Abi Syafi’i Aron juga menantu dari ulama karismatik yang dikenal dengan Teungku Chik Meunasah Kumbang, murid dari Teungku Chik Pantee Geulima.

Mengingat kondisi yang kurang kondusif pada waktu itu, Abu Tanjong Bungong hanya menetap sementara saja di Dayah Hadiqatul Ma’arif, selanjutnya Abu Abdullah Tanjong Bungong belajar ke kampung asal ayahnya di Panteu Breuh Aceh Utara kepada ulama yang dikenal dengan sebutan Teungku Di Aceh atau Teungku Abu Abdurrani pimpinan Dayah Darul Huda Panteu Breuh. Di dayah ini Abu Tanjong Bungong menetap selama dua tahun belajar kepada Teungku Di Aceh tersebut. Setelah menguasai berbagai keilmuan secara mendalam, pada tahun 1959 beliau melanjutkan pengembaraan keilmuannya ke Dayah Darul Ulum Tanoh Mirah, belajar kepada salah satu ulama besar Aceh murid Abuya Syekh Muda Waly yaitu Abu Tanoh Mirah.

Abu Tanjong Bungong bisa digolongkan sebagai murid angkatan pertama dari Abu Tanoh Mirah, dimana Abu Tanoh Mirah pada tahun 1957 baru pulang dari Dayah Darussalam Labuhan Haji belajar kepada Syekh Muda Waly al-Khalidy di kelas Bustanul Muhaqqiqin. Kepada Abu Tanoh Mirah, Abu Tanjong Bungong lama belajar lebih kurang selama sembilan tahun, sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang ulama yang mendalam ilmunya. Pada tahun 1968 beliau meminta izin kepada gurunya Abu Tanoh Mirah untuk pulang dan melanjutkan kepemimpinan dayah yang telah dibangun oleh ayahnya di Tanjong Bungong, dan beliau diizinkan.

Baca Juga: Syekh Muda Waly: Syekhul Masyayikh Ulama Dayah Aceh Kontemporer

Abu Tanoh Mirah sang guru adalah ulama yang dikenal sangat alim dan menguasai ilmu ushul fikih secara mendalam. Banyak para ulama yang pernah belajar kepada Abu Tanoh Mirah selain Abu Tanjong Bungong adalah Abon Sofyan Arongan, Abu Keunire, Abu Athaillah Ulee Titi, Waled Aluebu dan banyak para ulama lainnya. Walaupun Abu Tanjong Bungong telah menjadi alim, beliau adalah sosok pribadi yang bersahaja dan rendah hati. Beliau termasuk ulama yang bersikap tenang dan kharismatik pembawaannya.

Selain menguasai ilmu keislaman secara mendalam, beliau juga merupakan rujukan masyarakat Aceh dewasa ini dalam ilmu falak. Kecintaan beliau kepada ilmu falak berawal ketika beliau mempelajari kepada ulama yang sangat dikenal dalam ilmu falak yaitu Teungku Muhammad Isa Mulieng atau dikenal dengan Abu Pereupok. Selain belajar dari Teungku Muhammad Isa Mulieng, Abu Tanjong Bungong juga belajar ilmu falak secara mendalam kepada banyak ulama yang takhasus dalam bidang falak seperti: Abu Teupin Raya, Teungku Muhammad Ali Muda Medan, Teungku Muhammad Yusuf Harun, Teungku Halim Medan dan para ulama lainnya.

Sehingga dalam setiap forum ilmiyah tingkat tinggi mengenai ilmu falak, beliau selalu di daulat untuk memberikan materi tentang ilmu tersebut. Tidak mengherankan kemudian masyarakat Aceh mengenal beliau sebagai ulama ahli falak dewasa ini. Selain itu, Abu Tanjong Bungong juga aktif dalam kepengurusan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, sebelumnya beliau dalam keanggotaan ulama Pidie Jaya. Kiprah keulamaan Abu Tanjong Bungong dengan ilmu falaknya tentu sangat diperlukan oleh masyarakat, mengingat berbagai macam peribadatan, umat Islam tidak bisa terlepas dari penetapan waktu, arah kiblat dan penentuan penanggalan hijriyah.

Mengingat begitu penting ilmu falak, maka Kantor Kementrian Keagamaan Aceh menerbitkan buku beliau secara khusus dengan judul Ilmu Falak antara Fiqih dan Astronomi. Dimana dalam buku tersebut beliau menjelaskan secara menyeluruh dan mendetil dasar-dasar mempelajari ilmu falak. Selain buku, beliau juga menyampaikan banyak makalah yang membahas tentang ilmu falak yang pernah beliau sampaikan pada berbagai simposiom dan seminar yang membahas mengenai kajian ilmu falak.

Baca Juga: Jadawil Pati Kiraan Karya Syekh Thahir Jalaluddin (W 1376/1956)

Berbagai kontribusi positif tersebut tidak meluputkan beliau untuk turut aktif dalam organisasi keislaman seperti al-Washliyah. Khusus di Bandar Dua Ulee Glee, keberadaan organisasi Ahlussunnah Waljama’ah al-Washliyah memiliki makna tersendiri dengan keterlibatan ulama yang menggagasnya di Bandar Dua yaitu Abu Uteun Bayu yang sangat disegani oleh masyarakat Bandar Dua Ulee Glee dan sekitarnya. Adapun dalam politik praktis maka Abu Tanjong Bungong tidak melibatkan dirinya, beliau lebih memilih menjaga jarak, walaupun ide-ide yang baik tentunya beliau sampaikan kepada siapapun yang berkecimpung dalam dunia politik.

Ada sisi kesamaan antara Abu Tanjong Bungong dan Abu Uteun Bayu ialah kedua-duanya tidak terjun dalam dunia politik praktis, namun sikap Abu Tanjong Bungong agak lebih lentur dimana beliau masih mengikuti perkembangan politik dengan memberi arahan-arahan yang baik dalam bentuk kemaslahatan walaupun beliau tidak terjun langsung. Sedangkan Abu Uteun Bayu sama sekali total tidak mengikuti irama dan alur politik, beliau lebih memilih uzlah, namun tentu tetap mendoakan masyarakatnya dengan cara terbaik. Karena memang para ulama memiliki cara tersendiri dalam bersikap dan menetukan arah pandangan secara bijak dan tepat.

Sekarang Abu Tanjong Bungong telah sepuh telah sampai usia 80 tahun, karena beliau diperkirakan lahir pada tahun 1940. Tentu telah banyak hal positif telah dilakukan untuk masyarakatnya. Mengawal pemahaman agama dengan baik dan penuh amanah, telah diabdikan usianya untuk agama dan masyarakat yang dicintainya, semoga Allah SWT meninggikan derajat guru dan ulama kita Abu Tanjong Bungong Hafidhahullah.[]

Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary
Ketua STAI al Washliyah Banda Aceh; Pengampu Pengajian Rutin TAFITAS Aceh; dan Penulis Buku Membumikan Fatwa Ulama