Sebelumnya baca: Abu Bakr al-Razi (1): Akal dan Kenabian, Kritik terhadap Agama-agama Wahyu
Sebelumnya sudah jelas bahwa al-Razi lebih menghargai akal dari pada yang lainnya, seperti penolakannya terhadap kenabian, agama, dan wahyu. Karena, menurutnya hal-hal tersebut– kenabian, agama dan wahyu- yang menimbulkan peperangan atas nama agama.
Tetapi disini perlu ditegaskan, bahwa tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada al-Razi berasal dari lawan debatnya Abu Hatim ar-Razi, seorang tokoh Syi’ah Isma’iliyah. Abu Hatim memberikan respon melalui bukunya A’lam an-Nubuwwah, yang merupakan rujukan paling detail mengenai pandangan-pandangan al-Razi. Kemungkinan, karya yang menjelaskan pandangan al-Razi sebagaimana yang tercatat dalam buku A’lam an-Nubuwwah tersebut telah hilang. Dalam bukunya, Abu Hatim meringkas perdebatan umum dengan al-Razi yang diadakan di istana Rayy. Dalam perdebatan itu, menurut Abu Hatim ar-Razi, al-Razi mengulang-ulang beberapa argumen yang telah ia publikasikan dalam bukunya.
Di bagian lain dalam buku yang sama, ia mengklaim bahwa dikutip langsung dari buku al-Razi. Dan hanya terdapat dua tempat dalam karyanya itu, yang menyangkut kritik al-Razi terhadap agama. Perlu dicatat bahwa ketika Abu Hatim ar-Razi mengaitkan bagian-bagian lain dengan filsafat al-Razi, dia tidak pernah mengatakan bahwa ini merupakan bagian dari buku yang telah disebutkan di atas.
Lebih lanjut, dalam perdebatan itu, al-Razi menyampaikan keberatan teoretisnya terhadap kenabian, karena baginya bertentangan dengan aksioma-aksioma metafisika dan etika. Sedangkan mereka yang mendukung agama-agama wahyu, satu-satunya cara agar manusia mendapat bimbingan penuh dari tuhan adalah dengan mengirim para nabi. Akan tetapi, bagi al-Razi, keselamatan ilahiah semacam itu tidak sesuai dengan ide kebijaksanaan tuhan.
Sebab, yang paling tepat bagi kebijaksanaan Yang Maha Bijak dan Maha Kasih adalah memberikan inspirasi kepada semua hamba-Nya dengan pengetahuan mengenai apa saja yang bermanfaat atau merusak mereka (hamba) di dunia ini dan hari esok. Tuhan tak semestinya memberikan keutamaan hanya kepada sejumlah orang saja atas yang lainnya. Ini lebih menyelamatkan dari pada Dia harus menunjuk beberapa orang sebagai imam bagi yang lainnya (Sarah Strouma, Para Pemikir Bebas Islam: 143).
Dalam pandangan al-Razi, teologi tak dapat dipertahankan dengan agama-agama wahyu, jika dikombinasikan dengan sebuah sikap picik yang melekat pada agama-agama tersebut. Kritik al-Razi terhadap agama-agama wahyu, menurut Abu Hatim ar-Razi, berangkat dari perbedaan dasar metode dengan agama-agama tersebut. Hal ini, karena mereka yang menganut dan mempelajari agama-agama wahyu, mengikuti otoritas pemimpinnya masing-masing. Mereka menolak pendapat atau dugaan yang tidak berdasar pada kenyataan dan penelitian rasional mengenai dasar agama. Sehingga, mereka mentransfer tradisi-tradisi pemimpinnya, yang memaksa mereka untuk tidak berspekulasi tentang masalah-masalah agama, dan mengumumkan bahwa siapa saja yang melanggar tradisi yang telah dituturkannya akan dicap kafir (Sarah Strouma, Para Pemikir Bebas Islam: 144).
Baca Juga: Cermin dan Pengetahuan
Kritik terhadap Agama-agama Wahyu
Al-Razi tidak membatasi kritikkannya pada pengamatan umum, tetapi juga secara khusus kepada agama Islam. Ia menambahkan bahwa jika masyarakat beragama ditanya tentang bukti yang mendukung agamanya, mereka menjadi marah dan bahkan membunuh orang yang mengajukan pertanyaan ini. Karena seperti yang telah dinyatakan diatas, bahwa mereka melarang spekulasi rasional. Sehingga, hal ini yang menyebabkan mengapa mereka sangat tertutup. Bagi al-Razi, sikap itu tak memiliki nilai kebaikan. Sebab itu hanya merupakan salah satu dari bentuk perbudakkan.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa mereka (para penganut agama) mengadopsi metode itu, karena dari kebiasaan yang telah berlangsung lama dalam kelompok keagamaannya. Dalam setiap serangannya terhadap sikap anti-rasional di kalangan teolog, bukan berarti al-Razi hendak memeriksa satu kelompok dari kaum tradisionalis saja atau manipulasi tertentu terhadap tradisi.
Dari reaksi lawan-lawannya itu, bisa dikatakan begitu kerasnya serangan al-Razi terhadap Islam. Walaupun, secara khusus memang mengarah kepada agama Islam, namun kritik tersebut sebenarnya juga mengarah pada agama-agama lainnya. Karena faktanya, Islam tidak sependapat dengan agama lainnya. Artinya, argumen-argumen yang dilontarkannya kepada agama tidak hanya tertuju pada salah satu agama, dan menegaskan bahwa tak satu pun dari agama-agama wahyu yang benar.
Al-Razi juga mengatakan bahwa Jesus mengklaim dirinya sebagai putera tuhan, sementara Musa mengatakan bahwa tuhan tidak memiliki putera, tak tersusun dan tidak diciptakan, Dia tak berguna karena suatu yang bermanfaat dan tak akan sedih karena hal-hal yang merugikan.
Sedangkan Muhammad menegaskan bahwa Jesus adalah makhluk, seperti halnya manusia lainnya. Mani dan Zoroaster berbeda dengan Musa, Jesus, dan Muhammad mengenai Zat Yang Abadi, kejadian alam, dan alasan adanya baik buruk. Mani berbeda dari Zoroaster mengenai dua entitas serta alasan keberadaannya. Muhammad mengatakan bahwa Jesus tidak dibunuh, tetapi Yahudi dan Kristen tidak sepakat dengannya, karena yang mereka meyakini bahwa dia dibunuh dan disalib (Sarah Strouma, Para Pemikir Bebas Islam: 148).
Orang-orang Kristen juga menyatakan bahwa Jesus adalah pre-eternal, tiada tuhan selain dia, dan bahwa dia mengatakan “Saya (Jesus) datang untuk menyempurnakan Taurat”, akan tetapi kemudian ia menghapus hukum-hukum Taurat dan menggantinya dengan hukum lain. Menurut Abu Hatim ar-Razi, bahwa al-Razi dalam kritikkannya mengemukakan hal-hal yang mustahil, diciptakan oleh orang-orang Zoroaster dan Manichean, dan membaurkannya dengan ajaran kitab-kitab wahyu serta tradisi-tradisi para nabi.
Ini diakibatkan karena intelektualitasnya dalam perbandingannya kurang tajam. Dengan demikian, dinisbatkan hal-hal mustahil ini kepada utusan-utusan tuhan yang bersih dan bebas dari semua tuduhan. Lebih jauh lagi, ia mengklaim bahwa semua terdapat dalam kitab-kitab suci mereka dan menunjukkan adanya perbedaan dan kontradiksi dalam ajaran-ajarannya.
Beberapa sumber lain, juga menjelaskan informasi yang sama dengan Abu Hatim ar-Razi. Intrepetasi yang sama tersebut ditemukan dalam karya al-Biruni yang menyatakan bahwa al-Razi mengarahkan para pembaca karya-karyanya kepada buku-buku Mani, sebagai suatu bentuk tipu muslihat melawan agama-agama wahyu termasuk Islam. Terlebih pada bagian akhir bukunya tentang “agama-agama kenabian”, al-Razi mengejek orang-orang yang dipuji dan dihormati oleh penganut agama-agama tersebut, yakni para nabinya dan orang-orang suci.
Secara panjang lebar, al-Razi juga menolak klaim-klaim para nabi yang memperlihatkan mukjizat- mikjizatnya. Seperti terlihat dalam tulisan-tulisannya, dimana al-Razi mencemooh bukti-bukti yang dikemukakan mereka dan membuat argumen-argumen mereka lemah untuk membuktikan poinnya. Selain itu, al-Razi juga mengkritik kitab-kitab suci.
Bahkan, secara khusus menolak kemukjizatan al-Qur’an dan lebih menyukai buku-buku ilmiah. Sebab bagi al-Razi, al-Qur’an memiliki nilai intelektual yang terbatas. Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa al-Razi sangat berani, tidak ada seorang pemikir muslim yang seberani dirinya (Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya: 126). Sekalipun pendapat-pendapatnya bertentangan dengan agama, bukan berarti dia seorang atheis, sebab ia tetap meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Akibat dari pendapatnya yang ekstrim tersebut, buku-bukunya dimusnahkan.
Kritikkannya terhadap agama-agama wahyu lebih banyak mematikan dari pada hanya sekadar penghinaan intelektual. Karena dalam pandangannya, agama-agama yang didasarkan pada wahyu merupakan bencana nyata bagi kemanusiaan. Dalam karyanya, Al-Makhariq al-Anbiya’, al-Razi melukiskan otoritas-otoritas keagamaan merupakan sikap tidak toleran dan tirani. Serta secara tidak langsung ia juga menyindir para nabi dan agama sekaligus, sebagai sumber dari pertumpahan darah.
Al-Biruni mengakui bahwa ijtihad al-Razi memperlihatkan sejumlah kesimpulan logis. Akan tetapi, al-Razi juga memiliki kecenderungan dan beberapa ide lain, yang dapat disebut sebagai sisi negatif dari karakternya- nafsu dan fanatik. Lebih lanjut, al-Biruni menambahkan, bahwa al-Razi tak dapat membedakan antara ide-ide yang termasuk kategori pertama dan kedua. Ide kategori pertama merupakan ide yang diperoleh melalui ijtihad, sedangkan ide-ide yang termasuk dalam kategori kedua, yaitu ide yang dicapai melalui nafsu-fanatiknya. Sikap yang sama juga, secara kabur mengarah pada roh jahat dalam filsafat al-Razi. Kemudian dipakai oleh al-Amiri, yang mengatakan ocehan al-Razi mengenai lima prinsip kekal dan mengenai roh-roh jahat.
Baca Juga: Bicaralah dalam Spesialisasi Masing-masing
Namun, sindiran itu tetap saja tak memberi kejelasan. Akan tetapi jika dijelaskan secara langsung, seperti Nashir-i-Husraw yang secara terus terang mengatakan, bahwa dalam buku Kitab al-‘Ilm al-Ilahiy, al-Razimenggambarkan para nabi sebagai utusan roh-roh jahat, yang telah menjadi setan.
Akan tetapi, riwayat dari Nashir-i-Husraw yang sejalan dengan ucapan-ucapan samar al-Biruni dan al-Amiri, fakta bahwa dia mengidentifikasi pendapat-pendapat al-Razi yang berasal dari Kitab al-‘Ilm al-Ilahiy, bukan dari Kitab Makhariq al-Anbiya’, yang menjadi dalih alamiah, sehingga riwayatnya semakin tak dapat dipercaya.
Juga patut dicatat bahwa al-Biruni tampaknya menganggap buku al-Razi mengenai agam-agama nabi (Kitabuhu fi an-Nubuwwat) tidak merujuk dari sumber catatan-catatan mengenai roh-roh. Namun merujuk pada al-‘Ilm al-Ilahiy (Sarah Strouma, Para Pemikir Bebas Islam: 157-158).
Selesai!
Leave a Review