scentivaid mycapturer thelightindonesia

Abu Meunasah Mee; Ulama Teduh dan Pimpinan Darul Muta’alimin Meunasah Mee

Abu Meunasah Mee; Ulama Teduh dan Pimpinan Darul Muta’alimin Meunasah Mee
Foto Abu Meunasah Mee/ Dok. Penulis

Abu Meunasah Mee merupakan ulama panutan masyarakat Pidie dan Pidie Jaya. Lahir di tahun 1935 di Kiran Desa Meunasah Mee, beliau bernama Teungku Sulaiman bin Teungku Hasballah bin Abdullah. Ayah dan kakeknya merupakan ulama dan pengayom agama masyarakat setempat. Semenjak kecil Teungku Sulaiman Hasballah telah dibekali oleh orang tuanya dengan berbagai ilmu-ilmu dasar untuk menjadi bekal bagi seorang ulama yang dinantikan. Mengawali pendidikannya, Abu Meunasah Me belajar langsung kepada ayahnya yang juga seorang yang mendalam ilmunya, sambil beliau bersekolah di sekolah umum masyarakat. Setelah dibekali dengan ilmu yang memadai oleh ayahnya, Teungku Sulaiman Hasballah atau Abu Meunasah Mee kemudian melanjutkan pengajiannya kepada Teungku Usman Meunasah Raya, kepada ulama ini Teungku Sulaiman Hasballah belajar selama tiga kali secara terpisah-pisah.

Periode pertama beliau belajar kepada Teungku Usman Meunasah Raya selama lima tahun, belajar berbagai cabang keilmuan Islam. Setelah melewati lima tahu, tiga tahun berikutnya Abu Meunasah Mee belajar ke salah satu Dayah di Keude Aceh Samalanga, belajar kepada Teungku Burhanuddin dan Teungku Maun. Di dayah ini sistem yang digunakan telah lebih bagus dari tempat lainnya karena telah menggunakan sistem secara rapi. Melewati suka duka selama tiga tahun, Abu Meunasah Mee kemudian kembali belajar ke Teungku Usman Meunasah Raya, pada periode ini beliau hanya belajar selama satu tahun. Menggenapkan sepuluh tahun masa belajarnya di dayah, beliau kemudian belajar di Bereuneun, belajar ke dayah yang dibangun oleh Teungku Muhammad Daud Bereueh, dan disini beliau belajar kepada salah seorang teungku yang berasal dari Meukek yang bernama Teungku Nurdin Meukek.

Baca Juga: Abu Tanoh Mirah; Ulama Ahli Ushul Fikih dan Murid Syekh Muda Waly

Tidak lama beliau di Dayah ini, kemudian meletuslah peristiwa DI TII di tahun 1953, dan beliau pun harus kembali ke kampung halamannya. Dan pada periode ketiga ini beliau kembali belajar kepada gurunya Teungku Usman Meunasah Raya. Pada periode ini selain belajar dan mengajar, beliau juga mengikuti pengajian di luar dayah kepada salah seorang ulama ternama di Kuta Krueng yaitu Teungku Haji Abdullah Kuta Krueng yang juga merupakan guru awal dari Abu Kuta Krueng sebelum belajar ke Abon Samalanga.

Setelah keadaan mereda, maka Abu Meunasah Mee kemudian memohon izin dari dua orang gurunya untuk melanjutkan pengajiannya kepada ulama tekenal di Darussalam Labuhan Haji. Berangkatlah Abu Meunasah Mee ke Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan diperkirakan sekitar tahun1958. Pada tahun 1958, ada beberapa ulama lainnya yang juga berangkat ke Labuhan Haji di tahun 1958 seperti Abu Haji Mohd Syam Marfaly Blangpidie, Abon Kota Fajar, dan umumnya mereka yang tidak belajar di kelas Bustanul Muhaqqiqin, belajar di kelas di bawahnya yang diajar oleh Abuya Muhibbuddin Waly dan kelas dibawahnya diajarkan oleh Abu Tu Min Blang Blahdeh. Maka dengan segenap kesungguhan, Abu Meunasah Me belajar di Darusslam selama lebih kurang tiga tahun. Setelah wafatnya Abuya Syekh Muda Waly, di tahun 1962 pulanglah Abu Meunasah Mee ke kampung halamannya.

Kepulangan Abu Meunasah Mee sangat dinatikan oleh gurunya Teungku Usman Meunasah Raya, mengingat beliau telah sepuh, sehingga tanggungjawabnya sebagai Imam Chik diserahkan ke Abu Meunasah Mee. Selain diangkat sebagai imam chik, beliau juga diminta oleh masyarakat Jangka Buya untuk medirikan lembaga pendidikan agar masyarakat Jangka Buya bisa tercerahkan, maka di tahun 1963 beliau membangun sebuah dayah yang berada dalam kawasan komplek masjid Jamik tersebut dengan nama Dayah Darul Muta’alimin. Namun pada tahun 1980 jabatan beliau sebagai Imam Chik dikembalikan kembali ke masyarakat Jangka Buya, mengingat kondisi kesehatan beliau yang tidak memungkinkan.

Demikian halnya juga dengan Dayah Darul Muta’alimin yang telah dibangunnya dipindahkan ke kampung halamannya ke Meunasah Mee. Semenjak itu beliau fokus mengembangkan keilmuannya di Dayah Darul Muta’alimin Meunasah Mee. Disebutkan, sebagai seorang ulama beliau memiliki memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, walaupun demikian, dalam kajian ilmu faraidh, beliau merupakan ahli yang menjadi rujukan masyarakat di daerah Meunasah Me dan sekitarnya.

Selain sebagai seorang ulama yang menjadi pengayom masyarakat, beliau juga seorang ulama yang dituakan, sehingga berbagai persoalan masyarakat banyak melibatkan beliau untuk menyelesaikannya. Selain itu beliau juga ulama yang setia dengan salah satu partai yang identik lambang Ka’bah ketika itu, dan tidak berpindah ke partai yang lain, walaupun banyak ulama bahkan keluarga dekatnya yang beralih ke partai yang lain, maka bagi beliau adalah hal yang lumrah dan tidak perlu dipertentangkan.

Baca Juga: Teungku Chik Lambirah Ulama Besar Lambirah, Sanad Keilmuan dan Jaringan Ulama Sesudahnya

Dalam hidupnya, Abu Meunasah Mee senantiasa hadir dengan solusi dan petuah-petuah bijak yang dibutuhkan oleh masyarakat dan umat Islam secara menyeluruh. Setelah menghabiskan masa mudanya dengan menuntut ilmu, maka pada masa tuanya beliau adalah seorang guru yang senantiasa mengayomi masyarakatnya. Setelah kiprah yang besar bagi masyarakatnya, wafatlah Abu Meunasah Mee pada tahun 2008. Rahimahullah rahmatan Wasi’atan.

Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary
Ketua STAI al Washliyah Banda Aceh; Pengampu Pengajian Rutin TAFITAS Aceh; dan Penulis Buku Membumikan Fatwa Ulama