scentivaid mycapturer thelightindonesia

Abu Nashruddin Daud: Ulama Mujahid yang Hidup Sederhana dan Dermawan

Abu Nashruddin Daud Ulama Mujahid yang Hidup Sederhana dan Dermawan
Foto Abu Nashruddin Daud/Dok. Penulis

Namanya adalah Teungku Nashruddin Daud, namun masyarakat menyebutnya dengan panggilan Teungku Nash atau Abu Nash. Beliau ulama dan politisi Aceh yang konsisten memperjuangkan suara rakyat di kancah lokal maupun nasional. Beliau lahir di Manggeng, tepatnya Desa Padang Keulele Aceh Barat Daya yang dahulunya sebelum pemekaran tunduk ke Aceh Selatan. Kehadiran Abu Nashruddin Daud dalam iklim keilmuan Aceh memiliki makna yang cukup signifikan, mengingat ketika beliau wafat, Abu Nashruddin Daud sebagai Pemimpin Dayah Inshafuddin yang merupakan sentral organisasi dayah ketika itu.

Abu Nashruddin berasal dari kedua orang tua yang taat dan mencintai agama. Sehingga semenjak kecil beliau telah dididik dan dibekali dengan berbagai bekal keilmuan Islam yang memadai. Sambil bersekolah di SR Manggeng, beliau malamnya belajar agama di desanya kepada para teungku gampong. Setelah menyelesaikan pendidikan SR pada tahun 1958, Abu Nashruddin Daud kemudian merantau ke daerah lain untuk menimba ilmu dan memperdalam kajian agamanya. Dayah yang menjadi tujuan Abu Nashruddin Daud adalah Dayah Darussalam Labuhan Haji yang ketika itu masih dipimpin oleh Abuya Syekh Muhammad Waly sekitar tahun 1959.

Baca Juga: Syekh Muda Waly: Syekhul Masyayikh Ulama Dayah Aceh Kontemporer

Rentang 1958-1961, banyak berdatangan para santri ke Dayah Darussalam dari seluruh Aceh, yang umumnya mereka menjadi ulama dan pengawal agama di wilayah masing-masing. Ada di antara mereka yang datang untuk belajar dari awal, ada yang sudah alim datang ke Darussalam sekadar mengambil berkah dari ilmu Abuya Syekh Muda Waly dan tersambung sanadnya ke guru-guru Syekh Muda Waly. Tersambung dengan para guru Abuya Syekh Muda Waly seperti Abu Muhammad Ali Lampisang, Abu Syech Mahmud Blangpidie, Abu Muhammad Hasan Kruengkalee, Abu Indrapuri, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Ghani Kampari, Syekh Ali bin Husein al Maliki dan ulama besar lainnya.

Di antara para santri yang datang dalam rentang waktu 1958 sampai wafatnya Abuya Muda Waly pada tahun 1961 adalah Abu Muhammad Isa Pereupok, Abu Meunasah Mee, Abu Muhammad Syam Marfaly, Abon Kota Fajar, dan anak-anak Abuya yang segenerasi mereka seperti Abuya Jamaluddin Waly, Abuya Mawardi Waly dan Abuya Haji Amran Waly. Dan pada waktu itu yang mengajar adalah Abuya Muhibbuddin Waly dan para ulama lainnya termasuk Abu Tumin Blang Bladeh juga salah satu guru yang mengajar ketika itu.

Dapat dipastikan Abu Nashruddin Daud sempat bertemu dengan Abuya Syekh Muda Waly, dan mengambil ilmu dari beliau, walaupun tidak memasuki kelas Bustanul Muhaqiqin. Bahkan Abu Nash juga sempat belajar kepada Abu Imam Syamsuddin Sangkalan, ketika beliau memimpin Dayah Darussalam Labuhan Haji setelah wafatnya Syekh Muda Waly, dan Abuya Muhibbuddin Waly berangkat belajar ke Mesir. Setelah Abu Imam Syamsuddin, kepemimpinan Dayah Darussalam dilanjutkan oleh Abuya Kiai Jamaluddin Waly dan seterusnya dipimpin oleh Abuya Haji Amran Waly selama delapan tahun.

Pada masa kepemimpinan Abuya Jamaluddin Waly, para ulama seperti Abu Muhammad Syam Marfaly dan Abon Kota Fajar telah menjadi guru senior yang mengajarkan kitab-kitab besar seperti Kitab al Mahalli, Ihya’ Ulumuddin dan kitab-kitab lainnya. Pada masa inilah beberapa ulama seperti Abu Muhammad Cot Puklat, Abu Ismail Ab Alue Bili, Abu Anwar Fahimi Peulumat, Abu Muhammad Ismi dan para ulama lainnya yang masih menetap dan mengajar di Dayah Darussalam Labuhan Haji. Adapun guru senior mereka selain Pimpinan Dayah adalah Abu Muhammad Zamzami Lam Ateuk dan Abu Muhammad Syam Marfaly, karena dua ulama yang disebut terakhir lama menetap di Dayah Darussalam Labuhan Haji. Abu Muhammad Zamzami sendiri pulang kampung sekitar tahun 1968 menetap sekitar 14 tahun dan Abu Muhammad Syam Marfaly pulang tahun 1975 menetap sekitar 17 tahun.

Abu Mudi Samalanga; Ulama Karismatik dan Guru Besar Dayah Aceh

Abu Nashruddin Daud ulama yang tumbuh dan hadir dalam iklim Dayah Darussalam pertengahan. Abu Nash sendiri menyelesaikan seluruh jenjang belajar di Dayah Darussalam Labuhan Haji, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah pesantren berhasil beliau lalui dengan lancar dan baik. Sehingga pada tahun 1967, beliau telah menjadi seorang alim lulusan Dayah Darussalam Labuhan Haji. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Dayah Darussalam, Abu Nash kemudian merantau ke Banda Aceh. Karier keilmuan dan keulamaan beliau mulai bersinar, bahkan beliau diperhitungkan sebagai seorang ulama dan politisi yang dikenal oleh masyarakat secara luas.

Sehingga tidak mengherankan bila berbagai jabatan strategis pernah dipercayakan kepada Abu Nashruddin Daud. Abu Nash pernah menjadi Ketua PERTI Banda Aceh, pejabat teras PPP. Selain itu beliau selama 27 tahun dipercaya oleh masyarakat Kuta Alam Banda Aceh sebagai Imam Chik Mesjid Baitul Alam sampai hari wafatnya beliau tahun 2000. Bahkan rentang tahun 1998 sampai 2001 Abu Nash ditunjuk untuk menjadi Pimpinan Dayah Inshafuddin dan pada waktu yang sama beliau juga anggota DPR RI dari PPP.

Dengan berbagai kiprah yang luas dan jabatan-jabatan strategis yang pernah diembannya, beliau adalah pribadi yang sangat sederhana dan sama sekali tidak memiliki ambisi apapun. Beliau menjalani hidupnya dengan penuh rasa prihatin terhadap masyarakatnya. Abu Nash tidak memiliki mobil, walaupun beliau anggota dewan terhormat, kemana-mana beliau sering menaiki becak. Dan disebutkan oleh istrinya, untuk membantu perekonomian keluarga istrinya berjualan nasi gurih di pagi hari. Walaupun demikian, Abu Nash tidak pernah menolak orang yang meminta. Pernah kata anaknya, dalam perjalanan pulang menyampaikan pengajian di daerah seputaran Masjid Baiturrahman, beliau melihat seorang pengemis yang sangat membutuhkan bantuan. Tanpa melihat jumlah isi amplop, Abu Nash langsung memberikan amplop uang yang diberikan panitia acara tadi. Meskipun yang beliau berikan itulah satu-satunya yang beliau miliki.

Baca Juga: Sejarah Ringkas Berdirinya PERTI: Penghimpun Ulama

Abu Nashruddin juga guru bagi masyarakat Banda Aceh terutama masyarakat Kuta Alam dan sekitarnya. Mereka tahu persis bagaimana menyenangkan mengikuti kajian keilmuan yang disampaikan oleh Abu Nashruddin Daud. Ada panitia Masjid menyampaikan bahwa mengaji dengan Abu Nash seperti kita sedang mendengarkan ilmu seutuhnya, sehingga jarang yang mau mencoba-coba berdebat dengan kealiman beliau. Selain itu Abu Nashruddin juga panelis dalam banyak simposium ilmiyah, salah satunya acara yang diadakan oleh Inshafuddin. Organisasi Inshafuddin sendiri merupakan organisasi yang mempersatukan pada ulama dan cendekiawan Aceh, di antara tokoh sentralnya adalah Abu Daud Zamzami, Abu Ismail Yakub dan Teungku Professor Safwan Idris.

Dalam setiap pemaparan makalah dan pembahasan yang beliau hadirkan, Abu Nash selalu memiliki referensi yang memadai dan bernash. Bahkan ada yang menyebutkan beliau menghafal Kitab Fathul Muin dengan baik. Wallahua’lam.

Abu Nash dengan berbagai kiprahnya terhadap masyarakat telah mengantarkan beliau menjadi figur publik yang dikenal secara luas dan dipercaya. Beliau dalam berbagai kesempatan senantiasa memperjuangkan aspirasi rakyat. Walaupun beliau tidak kaya, namun masyarakat merasakan kewibawaan sang ulama tersebut. Beliau secara istiqamah dan konsisten bersama rakyat. Bahkan di tahun terakhir menjelang ajalnya tahun 2000, beliau disebutkan ketika menjadi imam salat Ramadhan terakhir bagi beliau begitu syahdu dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan banyak para jamaah yang terharu dan meneteskan air mata. Rupanya itulah kali terakhir beliau menjadi imam, karena pada tahun yang sama beliau syahid dibunuh di wilayah Sibolangit oleh orang tak dikenal. Banyak yang merasa kehilangan dengan sang tokoh tersebut. Semoga Allah SWT terima setiap amal ibadah beliau.[] Rahimahullah Rahmatan Wasi’atan.

Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary
Ketua STAI al Washliyah Banda Aceh; Pengampu Pengajian Rutin TAFITAS Aceh; dan Penulis Buku Membumikan Fatwa Ulama