Nama asli beliau adalah Teungku T. Mahmud bin Teungku Ahmad yang berasal dari Lhoknga. Namun setelah menjadi seorang alim besar dan berkiprah secara luas di Blangpidie, masyarakat mengenalnya dengan panggilan Abu Syekh Mahmud atau disingkat dengan sebutan Abu Syekh Mud. Kehadiran Abu Syekh Mud dalam iklim keilmuan Aceh memiliki makna yang cukup penting, mengingat banyak ulama karismatik Aceh generasi sesudahnya adalah murid-muridnya, termasuk ulama terpandang Aceh Abuya Syekh Muda Waly yang merupakan Syekhul Masyayikh ulama dayah kontemporer juga pernah belajar kepada Abu Syekh Mud.
Abu Syekh Mud diperkirakan lahir sekitar tahun 1899, beliau ulama keturunan bangsawan dan Ulee Balang kawasan Lhoknga yang kemudian menikah ke Lamlhom masih dalam kawasan Aceh Besar.
Mengawali pengembaraan intelektualnya, Abu Syekh Mud memulai belajar agama di desanya disertai pelajaran umum di sekolah yang dikhususkan kepada anak-anak bangsawan ketika itu. Setelah beberapa tahun belajar di desanya, Abu Syekh Mud kemudian lebih tertarik memperdalam keilmuannya dalam bidang agama, dan beliau memilih belajar ke Dayah Krueng Kalee di Siem pada tahun 1916 setelah tibanya Abu Haji Hasan Kruengkalee dari Makkah. Dimana sebelumnya Abu Kruengkalee mengabdi beberapa tahun di Lembaga Pendidikan Teungku Chik Muhammad Arsyad Diyan Kedah Malaysia dan Abu Kruengkalee menikah di sana.
Baca Juga: Syekh Muda Waly: Syekhul Masyayikh Ulama Dayah Aceh Kontemporer
Hampir lima tahun Abu Syekh Mud belajar dengan segenap kesungguhan dan ketekunan di Dayah Kruengkale, sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang ulama muda yang mendalam ilmunya dan mampu menguasai kitab-kitab besar dalam Mazhab Syafi’i. Namun Abu Syekh Mud masih merasa minim ilmu dan pengetahuannya, sehingga beliau berinisiatif untuk berangkat ke Yan Kedah Malaysia demikian mematangkan keilmuannya. Apalagi di Kedah tepatnya di Yan, masyur ulama besar Aceh yang hijrah kesana yaitu Teungku Chik Muhammad Arsyad Diyan. Dengan menumpang kapal pelajar yang akan diberangkatkan ke Batavia, berangkatlah Abu Syekh Mud. Selama belajar di Yan Malaysia kepada para Teungku Chik dan ulama besar, banyak keluarga Aceh yang berkesan dengan keluhuran budi dan keilmuan mendalam Abu Syekh Mud sehingga beliau dijadikan ‘anak angkat’ oleh mereka.
Setelah menamatkan pendidikan di Yan Kedah Malaysia sekitar tahun 1926, Abu Syekh Mud kemudian dikirim ke Blangpidie atas permintaan Teuku Sabi Uleebalang Kutabatee Blangpidie untuk menjadi ulama dan pengayom agama masyarakat Blangpidie dan sekitarnya. Karena sebelumnya yang menjadi pemimpin agama di Blangpidie adalah Teungku Muhammad Yunus Lhoong atau Teungku di Lhoong ulama PUSA, yang kemudian dikembalikan ke Kuta Raja Banda Aceh setelah peristiwa Penyerangan Tangsie Belanda dan Syahidnya Teungku Peukan dan pengikutnya pada tahun 1926.
Tibalah Abu Syekh Mud untuk menjadi Guru bagi seluruh masyarakat Blangpidie dan sekitarnya pada tahun 1927. Sedangkan di Labuhan Haji ketika itu telah datang sebelum beliau ulama utusan Kutaraja Teungku Syekh Muhammad Ali atau yang dikenal dengan Abu Lampisang sekitar tahun 1921, Abu Ali diutus ke Labuhan Haji atas rekomendasi Tuwanku Raja Keumala dan Abu Kruengkalee.
Mulailah Abu Syekh Mud Blangpidie mendirikan lembaga pendidikan yang beliau namakan dengan Dayah Bustanul Huda yang berada di seputaran Komplek Masjid Jamik Baitul ‘Adhim Blangpidie. Terhitung mulai tahun 1928 beliau memimpin dan mengayomi masyarakat Blangpidie sampai hari terakhir wafatnya yaitu tahun 1966 beliau telah menjadi ulama yang mengayomi dan memimpin Dayah besar Bustanul Huda. Karena ketekunan beliau dalam mengajar, banyak dari murid-muridnya yang menjadi para ulama generasi sesudahnya bahkan ada yang menjadi ulama besar pula.
Abu Syekh Mud banyak mengkader ulama-ulama terpandang yang melanjutkan estafet keilmuan dan keulamaannya sesudahnya. Di antara sekian banyak murid Abu Syekh Mud Blangpidie adalah: Abuya Syekh Muhammad Waly al-Khalidi, Abu Calang Teungku Muhammad Arsyad, Abuya Syekh Jailani Kota Fajar, Abu Haji Adnan Mahmud Bakongan, Teungku Syekh Abdul Hamid Kamal yang kemudian menjadi menantu dan melanjutkan kepemimpinan Dayah, Abuya Syekh Haji Muhammad Yatim Suak atau dikenal dengan Teungku Bilal Yatim, Abu Imam Syamsuddin Sangkalan, Abu Ibrahim Woyla, Abu Abdul Ghaffar Lhoknga, Teungku Din Samatiga dan banyak para ulama lainnya yang tersebar di seluruh Aceh. Bahkan Abu Syekh Mud ini merupakan guru utama dari Abuya Syekh Muda Waly setelah belajar dari Abu Ali Lampisang.
Abu Syekh Mud sebagaimana ditulis oleh cucunya Tgk Silman Haridhi merupakan seorang ulama yang sangat mendalam ilmunya lagi seorang ulama yang zuhud dan ahli tasawuf. Hal senada juga diamini oleh Abuya Muhibbuddin Waly yang pernah berjumpa dengan Abu Syekh Mud, dimana menurut Abuya Doktor bahwa Abu Syekh Mud selalu memposisikan dirinya sebagai seorang guru yang lebih memilih diam dan mendoakan seluruh murid-muridnya termasuk Syekh Muda Waly yang menjadi murid kebanggaannya.
Setelah berkiprah secara luas dan mengkader banyak ulama, wafatlah ulama besar tersebut pada tahun 1966 dan dimakamkan di Blangpidie. Setelah wafatnya Abu Syekh Mud, estafet Pimpinan Dayah Bustanul Huda dilanjutkan oleh ulama lainnya yang juga menantunya yaitu Teungku Syekh Abdul Hamid Kamal yang dikenal dengan Abu Haji Blangpidie. Abu Haji Abdul Hamid Kamal memimpin Dayah tersebut sampai wafatnya pada tahun 1980. Yang Kemudian dilanjutkan oleh Abu Mohd. Syam Marfaly sepulangnya beliau belajar di Dayah Darussalam Labuhan Haji.
Baca Juga: Abuya Tanah Merah; Ulama Karismatik dan Guru Besar Masyarakat Singkil dan Subulussalam
Abu Mohd. Syam Marfaly berangkat ke Labuhan Haji setelah sekitar tiga tahun menjadi Jama’ah tetap di Mesjid Jamik Baitul ‘Adhim Blangpidie dari tahun 1955 sampai 1958 mendengar ceramah dan pengajian dari Abu Syekh Mud. Kemudian 17 tahun berikutnya Abu Syammarfali menimba ilmu di Darussalam hingga mengantarkannya menjadi seorang ulama yang tegas, teguh dan diperhitungkan.
Ketiga Ulama Blangpidie tersebut telah kembali ke hadirat Allah SWT dengan kontribusi yang besar. Kehilangan ulama adalah kehilangan yang nyata dan tidak tergantikan. Rahimahumullah Rahmatan Wasi’atan.[] Alfaatihah.
Leave a Review