Teungku Muhammad Basyah dikenal dengan sebutan Abu Teunom atau Teungku Teunom ketika beliau belajar kepada Abu Abdul Aziz Samalanga. Mengawali pendidikan agamanya, beliau belajar langsung kepada orang tuanya dasar-dasar keilmuan Islam. Abu Teunom Teungku Muhammad Basyah kemudian memperdalam keilmuannya kepada salah seorang ulama dan Pimpinan Dayah Bustanul Huda Blangpidie yaitu Abuya Abdul Hamid Kamal yang juga merupakan murid dan menantu Abu Syech Mahmud Blangpidie.
Karena pada waktu yang bersamaan, Abu Hamid Blangpidie selain memimpin Dayah Bustanul Huda, beliau pada waktu yang sama juga mulai merintis dayah di Kawasan Krueng Batee yang disebut dengan Dayah Raudhah Ulum atau dikenal dengan Raudhah yang sempat jaya pada masa kepemimpinan Teungku Thaharuddin Bahar atau Abu Thaha Krueng Bate pelanjut estafet setelah Abuya Abdul Hamid Kamal. Kemungkinan besar Teungku Muhammad Basyah termasuk santri awal ketika Dayah Raudhatul Ulum mulai berdiri sekitar akhir lima puluhan. Kepada Abuya Abdul Hamid Kamal Teungku Muhammad Basyah belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh, sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang teungku muda yang memiliki perbekalan ilmu yang memadai untuk ukuran usia beliau.
Baca Juga: Abu Ibrahim Woyla; Ulama Sufi Aceh dan Sanad Keilmuannya
Setelah beberapa tahun belajar di Dayah tersebut, Abu Teunom kemudian merantau ke daerah lainnya yang ketika itu sedang masyhur dan didatangi banyak santri dari berbagai tempat, tepatnya di Samalanga dibawah pimpinan kharismatiknya Abu Abdul Aziz Samalanga atau Abon Samalanga ulama Pengkader banyak ulama. Kedatangan Abu Teunom ke Samalanga diperkirakan pertengahan tahun enam puluhan, mungkin lebih awal Abu Lhoknibong beberapa tahun dari beliau. Sedangkan Abu Panton datang pada tahun 1965, Abu Teunom tiba di Samalanga antara Abu Lhoknibong dan Abu Panton.
Sesampai di Dayah Mudi Mesra Samalanga, beliau mulai belajar kepada Abon Samalanga dengan para santri lainnya yang umumnya menjadi ulama-ulama Aceh. Sebut saja beberapa di antara mereka adalah Abu Mukhtar Teupin Raya, Abu Kuta Krueng, Abu Lhoknibong, Abu Panton, dan para ulama lainnya, adapun guru mereka selain Abon Samalanga adalah Abu Kasem TB Bireuen. Sambil belajar kepada Abon Samalanga, beliau juga mulai mengajar baik mengajar di dayah maupun di luar dayah seperti mengajar agama di SMA. Selain mengajar di berbagai tempat, beliau juga hobi mempelajari bahasa-bahasa asing seperti Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Cina, sehingga tidak mengherankan bila kemudian beliau menjadi seorang ulama yang luwes dan luas pergaulannya terutama dengan penguasaan bahasa-bahasa tersebut.
Setelah Abu Teunom menyelesaikan pendidikan di Samalanga, beliau pada tahun 1972 menikah dengan seorang gadis Bireuen. Semenjak itu mulailah Abu Teunom berkiprah secara luas di Bieruen karena pada tahun 1973 beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama Darul Istiqamah. Ada keunikan tersendiri pada Abu Teunom, dimana beliau menganjurkan agar setiap paparan kitab dan syarahan kitab di dayah tersebut mesti menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Beliau bahkan tidak mengizinkan menggunakan bahasa daerah ketika menjelaskan makna-makna kitab. Barangkali Abu Teunom ingin agar murid-muridnya kelak bisa terjun ke kancah yang lebih luas dalam mendakwahkan Islam.
Perlahan namun pasti kehadiran Abu Teunom mulai dirasakan oleh masyarakat sekitarnya terutama di Bieruen secara lebih khusus. Abu Teunom dalam dakwahnya menggunakan metode-metode persuasif yang bersifat mengajak, sehingga hampir tidak ada hambatan sama sekali dalam dakwah beliau. Banyak tradisi masyarakat setempat yang beliau ubah secara pelan-pelan. Beliau mengajarkan masyarakat sesuai dengan kemampuan logika mereka. Walaupun dakwah beliau perlahan, namun telah mampu memberikan perubahan yang luas untuk masyarakatnya.
Abu Teunom sendiri adalah figur yang Istikamah dan konsisten atas keilmuan yang beliau miliki. Sehingga melihat kiprah tersebut, pada tahun 1987 pada masa puncak karier beliau, Abu Teunom didaulat sebagai seorang panelis dalam acara besar Inshafuddin. Dimana dalam makalah yang beliau susun secara panjang lebar dan bernas tersebut memiliki sambutan yang menyeluruh dari para ulama yang hadir. Di antara ulama yang menyampaikan makalah pada waktu itu adalah Abu Ibrahim Ishaq Budi, sedangkan dari kalangan akademisi ada Prof Ibrahim Hosein ahli pendidikan Aceh dan pernah menjadi Rektor IAIN waktu itu.
Dalam makalahnya Abu Teunom memaparkan secara jelas dan gamblang makna dari Dayah yang berasal dari zawiyah yang artinya pojok Masjid. Selain itu beliau juga menjelaskan tentang sejarah Dayah dari masa klasik hingga masa Abuya Syekh Muda Waly yang juga salah satu murid beliau yang menggagas Organisasi Dayah Inshafuddin adalah Abu Daud Zamzami. Masih menurut Abu Teunom dayah perlu melakukan berbagai percepatan dan terobosan demi mengokohkan makna Ahlussunnah Waljama’ah.
Baca Juga: Abu Mudi Samalanga; Ulama Karismatik dan Guru Besar Dayah Aceh
Apa yang disampaikan oleh Abu Teunom dalam forum ilmiyah para ulama dan cendekia tersebut pada masanya merupakan wujud dari kemajuan para ulama dalam menyampaikan ide-ide mereka yang orisinil dan bernas demi kemajuan pendidikan Islam di Aceh secara menyeluruh. Abu Teunom dalam forum tampil bersemangat dan memukau hadirin dengan paparan pemikiran yang beliau tuangkan dalam tulisan yang beliau persentasikan. Rupanya itulah kali terakhir beliau mengikuti acara bersama para ulama dan cendekia Aceh, karena ketika pulang acara tersebut beliau musibah mobil beliau terbalik dan tidak lama setelah kejadian Abu Teunom wafat dalam usia yang masih muda 48 tahun. Rahimahullah Rahmatan Wasi’atan.[] Alfaatihah.
Leave a Review