Nama beliau adalah Teungku Abdul Hamid bin Teungku Yahya, namun setelah menjadi seorang ulama yang berpengaruh, beliau sering disebut dengan Abu Uteun Bayu. Uteun Bayu merupakan sebuah desa yang terdapat di Bandar Dua, Ulee Glee Pidie Jaya. Semenjak kecil Teungku Abdul Hamid dikenal oleh teman-temannya sebagai seorang anak yang cerdas dan taat, tampak pada dirinya kepribadian yang saleh dan akhlak yang mulia, sehingga ia dicintai oleh guru dan teman-temannya. Selain itu, Teungku Abdul Hamid adalah anak yang tekun dan mandiri dalam belajar.
Disebutkan semenjak masa belajar Teungku Abdul Hamid telah memiliki banyak kelebihan dan keutamaan. Pada saat beliau menjadi santri di Dayah Uteun Bayu yang dipimpin oleh seorang ulama besar Teungku Abdul Majid bin Teungku Abdurrahman telah tampak bakat keulamaannya. Ketika Teungku Abdul Hamid berada di kelas dua, beliau telah mampu membaca kitab-kitab yang dikaji oleh santri di kelas empat. Sehingga tidak mengherankan pada saat beliau berada di kelas empat, Teungku Abdul Hamid telah mampu membaca kitab-kitab yang dikaji di kelas terakhir dayah tersebut. Demikian disebutkan di antara kecerdasan yang dimiliki oleh Teungku Abdul Hamid yang sering disebut dengan Abu Uteun Bayu.
Baca Juga: Abu Syekh Mud Blangpidie; Guru Syekh Muda Waly dan Pendiri Dayah Bustanul Huda
Beliau lama belajar pada Teungku Abdul Majid hingga mengantarkan beliau menjadi seorang alim yang mendalam ilmunya. Selain belajar pada Teungku Abdul Majid, beliau juga pernah belajar kepada Teungku Ali Rheng yang merupakan pelanjut kepemimpinan Dayah Teungku Chik Pantee Geulima. Demikian juga beliau disebutkan pernah belajar kepada salah seorang ulama di Samalanga yang disebut dengan Teungku Syekh Arongan Samalanga. Maka tidak mengherankan bila dalam usia mudanya Abu Uteun Bayu telah menjadi ulama muda yang luas keilmuannya.
Ulama lainnya yang juga lama menimba ilmu kepada Teungku Abdul Majid selain Teungku Abdul Hamid ialah Teungku Muhammad Ali Irsyad yang dikenal dengan Abu Teupin Raya. Abu Teupin Raya lama belajar di dayah Teungku Abdul Majid selama dua belas tahun setelahnya baru beliau belajar kepada Teungku Haji Usman Maqam dalam ilmu falak dan kemudian melanjutkan pendidikannya ke Kairo Mesir. Sehingga Abu Uteun Bayu dan Abu Teupin Raya bisa dianggap sebagai dua orang murid Teungku Abdul Majid yang menjadi ulama besar dan panutan di wilayahnya masing-masing.
Selain ilmunya yang luas, beliau juga ulama yang sangat menjaga dirinya dari hal-hal yang bersifat duniawi. Beliau dikenal secara luas oleh masyarakat sebagai ulama yang zuhud, merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya. Selain itu Abu Uteun Bayu juga ulama yang netral, tidak terlibat dalam bentuk politik atau partai manapun, walaupun banyak pihak yang berusaha ingin mengajak beliau bergabung di partainya. Sikap yang demikian merupakan pandangan yang menjadi ciri khas kepribadian Abu Uteun Bayu. Karena kesederhanaannya dalam kehidupan, beliau dirasakan oleh masyarakat sebagai kebanggaan dan panutan bagi mereka.
Walaupun beliau tidak berkecimpung di dunia politik, beliau memiliki afiliasi organisasi Ahlussunnah Waljama’ah yaitu al-Washliyah. Sehingga dengan keikutsertaan beliau dalam organisasi ini, maka al-Washliyah termasuk organisasi yang digandrungi di kawasan Bandar Dua Ulee Glee. Karena memang pengaruh seorang ulama bagi masyarakat memiliki arti yang signifikan dan penting. Tujuan beliau dalam berorganisasi ini adalah menerapkan makna dari Ahlussunnah Waljama’ah secara luas. Sedangkan para ulama besar lainnya seperti Abu Krueng Kalee dan Abuya Syekh Muda Waly memakai jalur organisasi PERTI yang juga sama dengan al-Washliyah secara prinsip yaitu menerapkan Ahlussunnah Waljama’ah, bedanya PERTI digagas oleh ulama Padang seperti Syekh Muhammad Jamil Jaho dan Syekh Sulaiman Arrasuli, sedangkan al-Washliyah digagas oleh Syekh Muhammad Yunus, Kiai Haji Abdurrahman Syihab dan Syekh Muhammad Arsyad Thalib Lubis dan ulama Medan lainnya.
Konsistensi yang ditunjukkan oleh Abu Uteun Bayu ini merupakan sikap yang berasal dari penerapan ilmu tasawuf dalam kehidupannya. Selain sebagai ulama yang identik dengan pengamalan ilmu tasawuf, beliau juga seorang yang fakih dan mendalam ilmunya. Pendapat-pendapat hukum yang dikeluarkan oleh Abu Uteun Bayu umumnya pandangan Imam Ibnu Hajar al-Haitami pengarang Kitab Tuhfah dan ulama besar dalam Mazhab Syafi’i. Dalam mengeluarkan fatwa hukumnya Abu Uteun Bayu memiliki referensi yang memadai dan analisa tersendiri.
Sebagai ulama yang menjadi panutan masyarakat Pidie Jaya, beliau senantiasa menanamkan nilai-nilai spritual yang tinggi dalam hidupnya. Beliau diibaratkan seperti ulama-ulama klasik yang disebut dalam kitab-kitab, pembawaannya tenang, sedikit bicara dan sangat menjaga makanannya serta rajin berpuasa dan bertahajud. Hidupnya sederhana, zuhud, wara’ dan tidak suka dengan kemasyhuran sehingga tidak semua masyarakat Aceh mengenal figur ulama besar ini, namun demikian beliau adalah ulama yang selalu mengayomi masyarakatnya dengan doa dan fatwa-fatwa hukum yang bijaksana dan ilmiah.
Baca Juga: Pengembangan NU di Luar Jawa
Beliau tidak membuka dayah seperti kebanyakan ulama lainnya, beliau hanya memiliki balai pengajian yang dihadiri oleh seluruh masyarakat Uteun Bayu. Abu Uteun Bayu bisa disimpulkan sebagai figur dan sosok panutan masyarakat klasik dalam makna sebenarnya. Abu Uteun Bayu merupakan “guru besar” untuk masyarakatnya, ayah yang menjadi panutan mereka, guru yang membimbing mereka ke jalan selamat.
Abu Uteun Bayu tentunya telah berkiprah dan berkontribusi dalam berbagai bidang bagi masyarakatnya, dengan kajian-kajian fikihnya yang mendalam, kajian dan pengamalan tasawufnya yang begitu melekat dalam kehidupan Abu Uteun Bayu dan netralitas yang senantiasa beliau jaga dalam kehidupannya, serta usia yang panjang dalam ketaatan kepada Allah SWT tentu makin menambah karismatik sang ulama tersebut. Pada tahun 2008 dalam usia 88 wafatlah Abu Uteun Bayu.[] Rahimahullah Rahmatan Wasia’atan.
Leave a Review