Salah satu yang sangat berkesan bagi saya dalam Ramadhan kali ini, ialah dapat kembali berkunjung ke Batu Tanyuah, ke hadapan Abuya H. Zafrullah Dt. Bungkuak bin Syekh Muhammad Kanis Tuangku Tuah. Beliau ialah salah satu poros ulama sufi di Limapuluh Kota, terutama dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Thariqat Sammanniyyah Khalwatiyah. Beliau ialah ibarat orang tua bagi saya.
Pertama kali saya ke Tanyuah ialah tahun 2009, dalam rangka penyusunan buku Riwayat Hidup Ulama Limapuluh Kota. Sejak itu terbangun ikatan yang kokoh, ittishal yang bersifat ruhi, serta hubungan yang melebihi nasabi. Semenjak pertemuan pertama itu, saya sering berulang ke Tanyuah. Adakalanya hanya sekadar bersufaha, seringkali mendengar kalam hikmah, kisah-kisah orang dahulu, hingga menerima ijazah-ijazah wirid. Dan dari beliau pula saya menerima kitab Majmu’atur Rasa’il ‘an Ushulil Khalidiyyah al-Dhiya’iyyah karya momumental al-‘Allamah Syekh Sulaiman Zuhdi al-Khalidi al-Naqsyabandi Jabal Abi Qubaisy Makkah. Saya-pun betul-betul ditempatkan layaknya seorang anak.
Ayah beliau, yaitu Syekh Muhammad Kanis Tuangku Tuah (w. 1989), adalah tokoh sufi utama Luhak Limapuluh abad ke-20. Syekh Kanis, seorang ‘alim ternama. Multidipliner, memahami beragam ilmu agama. Mengapa tidak, beliau ialah murid dari Syekh Muhammad Jamil Jaho Padangpanjang, yang namanya tidak diragukan lagi. Selain itu, dalam ilmu hakikat, Syekh Kanis merupakan khalifah angkatan pertama, dari Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus, setelah Syekh Beringin Tebing Tinggi. Syekh Kanis, dipertengahan abad 20, mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah, sekolah tipikal pesantren yang mengajarkan ilmu agama secara lengkap, yang masa belajarnya 7 tahun. Selain itu beliau berkhitmah mengajarkan ilmu thariqat, yaitu Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Thariqat Sammaniyyah Khalwatiyah. Dari beliau ini pula, alm. Syekh Hasan Basri Jalil atau yang dikenal dengan Buya Datuak Sati Piladang (w. 2001) menerima ijazah thariqat. Siapa tidak kenal dengan nama Buya Datuak Sati di Limapuluh Kota?
Baca Juga: Menyampaikan dengan “Rasa”; Angku Mudo Mardianto dan Tarekat Sammaniyah
Abuya Zafrullah menceritakan kepada saya bagaimana riyadah dan mujahadah yang dibimbing ayahnya, Syekh Kanis, ketika suluk. Abuya Zafrullah bersama dua orang pesuluk lainnya, diantarkan oleh ayahnya itu ke tengah hutan. Di tengah hutan tersebut telah disediakan gubuk terbuat dari kayu untuk menjalankan suluk. Bisa dibayangkan, teman-teman, mereka ditinggalkan bertiga untuk riyadhah, latihan berzikir dan ibadah di tengah hutan, dengan beberapa perbekalan. Dari Batu Tanyuah, ayahnya (yaitu Syekh Kanis) memantau perkembangan ruhani Buya Zafrullah dan teman-temannya. Mendengarkan kisah ini, saya berpikir dalam, dan merasa malu. Orang-orang dulu dalam riyadhah/ mujahadahnya sangat ketat, dan betul sungguh melatih jiwa dengan ibadah. Sedangkan saya hari ini, dengan segala kemudahan dan kemewahan, telah agak termanjakan. Apalagi sekarang ada sementara yang hanya bersuluk ala kadar, bahkan bilangannya pun dikurangi. Kalau dalam tertib adab suluk yang diturunkan oleh Syekh Belubus, mana ada suluk kurang dari 40 hari bagi mubtadi. Sekarang sudah diperbuat. Mungkin untuk beberapa orang ada pengecualian, sebab ada yang sudah “suluk” sebelum suluk. Tapi kalau sudah disama ratakan, di-tahasul untuk umum, patut juga kita pertanyakan.
Dari Abuya Zafrullah Dt. Bungkuak saya menerima beberapa ijazah, diantaranya ijazah kitab Tashilul Hafizhin yang menjadi wirid Syekh Kanis Tuangku Tuah. Saya juga menerima kitab ‘Izzhatul Qulub fi-ma Ja’a bihin Naqsyabandiyah yang ditulis langsung oleh Syekh Kanis Tuangku Tuah pada tahun 1970. Melalui wasilah Abuya Zafrullah tersebut itu pula saya dapat melihat sebilah keris peninggalan Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi Batuhampar, ahli Qira’aat Minangkabau dan sufi Naqsyabandiyah abad 19. (Ini semua saya sebutkan, sebagai motivasi bagi anak-anaksiak, agar tergugah untuk mengumpulkan ijazah dari jalur guru-guru kita, serta mengambil berkah dari atsar peninggalan auliya’ di masa lampau).
Pada pertemuan dua minggu yang lalu itu, Abuya Zafrullah Dt. Bungkuak sedang sakit, sudah lebih sebulan lamanya. Tapi beliau tetap menunaikan amanah, memimpin suluk di Tanyuah, dibantu 3 khalifah beliau. Ada sekitar 40 salik yang sedang bertekun di surau suluk waktu itu. Beliau bercerita, dengan cukup payah (menahan lemah sakit) tapi dengan semangat, sebelum Pandemi, orang-orang suluk bisa mencapai 180 orang dari berbagai wilayah di Indonesia. Ada dari Riau, Suryalaya, Banten, dan lain-lainnya. Ditahannya tangis, ketika beliau mengingat badan diri. Dalam kondisi demikian, lemah persendian, beliau masih mengijazahkan kepada saya dan teman-teman yang hadir ijazah khas, yaitu Ijazah Kitab al-Manaq Buya Haji Maliak, yang ditutup dengan ungkapan “Elok-elok mamakainyo.” Tiada ungkapan selain hamdalah, dan saya terima dengan mencium tangannya sebagai ta’zhim.
Semoga beliau diberi kesembuhan, panjang usia dalam amal taat dan kuat mengajarkan ilmu suluk, yang saat ini “dihantam” oleh sementara pemakai baju pengaku sunnah.
Baca Juga: Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus,Ulama Pemelihara Kucing
Saya kemudian, teringat ungkapan Syaikhul Masyaikh kita, al-‘Arif billah Syekh Mudo Abdul Qadim “Baliau Balubuih”, dengan riwayat bil ma’na: “Jikok ka ba-ilemu thariqat poi ka simpang. Jikok ka ba-amal thariqat, poi ka dalam.” Maksudnya, saluang saja yang akan menyampaikan.[]
Saya yang berkisah, Apria Putra “Tuangku Mudo Khalis”
Foto: Beliau, dalam kondisi sakit, menerima di kamar khusus beliau, di komplek Surau Suluk Tanyuah. Beliau biasa dengan pakaian sederhana. Jika orang tidak tahu, tentu menganggap biasa saja. Padahal beliau ialah syekh terkemuka di wilayah ini.
Assalamualaikum wr wb Buya, semoga buya selalu dalam lindungan Allah SWT, dan sehat seperti sedia kala, udah lebih 4 thn ndk sasobok samo buya. Rindu hati ka buya