scentivaid mycapturer thelightindonesia

Abuya Mawardi Waly, Ulama Perti yang Alim Nan Sufi

Abuya Mawardi Waly
Foto Abuya Mawardi Waly sedang menyampaikan tausiyah saat Muscab Tarbiyah-Perti Abdya Tahun 2021/Dok. Penulis

Al Mursyiduna Abuya Syaikh Tgk. H. Mawardi Waly, Lc, MA Al Khalidy An-Naqsabandiy Al Minangkabawi Al Asyi bin Al ‘Arifbillah Syaikhul Islam Abuya Syaikh Tgk. H. Muhammad Waly Al Khalidy bin Syaikh Tgk. H. Muhammad Salim bin Datuk Tuanku Sutan Malim Palito Batusangkar adalah seorang ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang alim lagi sufi.

Abu Mawardi merupakan putra pertama Syaikhul Masyaikh Aceh Abuya Tgk. H. M. Muda Waly Al Khalidy Al Asyi dari istri keduanya Syaikhah Hj. Ummi Rabi’ah binti Syaikh Muhammad Jamil Jaho Al Minangkabawi.

Ayahanda Abu Mawardi merupakan ulama besar Aceh yang digelar Bapak Pendidikan Aceh karena berhasil mengkader alim ulama seluruh Aceh, Abuya Muda Waly yang lahir di Labuhan Haji tahun 1917 merupakan tokoh PERTI Aceh, pendiri Dayah Darussalam Labuhan Haji, mursyid thariqat Naqsabandiyah yang pernah berguru kepada beberapa ulama besar Aceh, Minangkabau dan Makkah.

Ibunda Abu Mawardi Ummi Rabi’ah Jamil atau yang dikenal masyarakat Aceh sebagai Ummi Padang Tsani adalah ulama perempuan yang aktif berdakwah di Sumatera Barat dan pernah menjadi anggota MPRS perempuan pertama dari Sumbar tahun 1955-1967 serta merupakan putri Maulana Syaikh Muhammad Jamil Jaho salah seorang ulama pendiri PERTI dan pendiri Ponpes MTI Jaho. Ummi Rabiah lahir pada tahun 1920 di Jaho, Tambangan, Tanah Datar, Padang Panjang dan meninggal pada tahun 1999. Ia merupakan pimpinan Ponpes MTI Jaho pada 1938-1958 (khusus putri), 1962-1971 (putra putri) dan 1971-1979 (khusus putri).

Baca Juga: Dari Ulama-ulama Supayang hingga Syekh Mudo Waly Al-Khalidi

Dalam rihlah keilmuannya di Sumatera Barat, Syaikh Muda Waly Al Khalidy sangat dikagumi dan disoroti oleh Ulama-Ulama Minangkabau karena keilmuan beliau. Hingga Syaikh H. Khatib Ali tertarik dan menjodohkan Tgk. Muda Waly atau yang dikenal oleh masyarakat Minang sebagai Angku Mudo Waly atau Tuangku Aceh dengan salah seorang cucu beliau yang bernama Hj. Rasimah. Dari pernikahan Syaikh Muda Waly dengan Hj. Rasimah lahir Abuya Prof. Dr. Muhibbuddin Waly, MA, Hj. Halimah Waly, H. Abuya Jamaludin Waly, H. Marhaban Waly dan Abuya H. Ruslan Waly.

Setelah itu karena kemasyhuran dan kefaqihan Abuya Muda Waly, ulama besar Minangkabau yang juga guru Abuya, Syaikh Muhammad Jamil Jaho menikahkan putri beliau yang bernama Rabi’ah Jamil dengan Syaikh Muda Waly. Bersama istrinya yang kedua inilah, Abuya Muda Waly berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji selama tiga bulan. Selama di tanah suci ia berkesempatan untuk menimba ilmu dari ulama-ulama yang mengajar di Masjidil Haram dan berinteraksi dengan ulama-ulama Mesir yang sedang menunaikan ibadah haji. Salah satu guru Abuya di Makkah adalah Syaikh Ali bin Husein Al Maliki penulis al-Asybah wan Nadzhair.

Abuya Muda Waly dikaruniai dua putra dari pernikahannya dengan Ummi Rabi’ah Jamil, putra pertama nya adalah H. Mawardy Waly, MA dan putra keduanya adalah H. Ahmad Waly, BA.

Abuya Mawardi Waly, MA lahir di Jaho, Tanah Datar, Sumatera Barat pada 15 September 1942. Dari kecil beliau sudah dibekali ilmu agama oleh Ayahanda beliau Abuya Muda Waly dan murid-murid senior Abuya termasuk abang beliau (putra sulung Abuya) yaitu Al Mursyid Abuya Syaikh Prof. Dr. Muhibbuddin Waly, MA. Selain itu beliau juga belajar di SR Labuhan Haji tahun 1954. Kemudian beliau melanjutkan studi beliau di IAIN Imam Bonjol dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta namun karena mendapat beasiswa dari PERTI, sosok hafizhul Qur’an 30 juz ini berangkat ke Mesir dan menyelesaikan sarjana dan pascasarjananya di Universitas Al-Azhar Kairo dari tahun 1965-1971.

Sejak kecil Abu Mawardi telah bercita-cita  menjadi seorang yang berguna untuk umat dan agama, yakni mengikuti jejak ayahnya Syaikh Muda Waly yang sudah meninggal dunia tahun 1961 dalam usia 44 tahun.

Setelah ia menyelesaikan studinya di Al Azhar, Abuya Mawardi Waly dimintai oleh Ummi Rabiah Jamil Ibundanya untuk memimpin Ponpes MTI Syaikh Muhammad Jamil Jaho, Desa Jaho Kec. X Koto, Kab. Tanah Datar, Sumatera Barat pada 1979-1982 setelah itu ia kembali ke Aceh dan menyerahkan kepemimpinan Ponpes Jaho kepada adiknya H. Ahmad Waly, BA.

Di Aceh beliau mengajar dan mengurus ponpes atau dayah yang didirikan ayahnya yaitu Dayah Darussalam, Desa Blang Poroh, Kec. Labuhan Haji, Kab. Aceh Selatan. Pada tahun 1989 beliau dipercaya memegang tampuk kepemimpinan Dayah Darussalam sampai tahun 1995.

Setelah itu beliau mengajar pulang balik Aceh dan Sumatera Barat. Pada tahun 2002 beliau kembali diminta memimpin Ponpes Jaho hingga saat abang beliau putra sulung Syaikh Muda Waly yaitu Abuya Doktor meninggal pada tahun 2012 beliau kembali ke Aceh dan menyerahkan kepengurusan Ponpes MTI Jaho kepada sepupunya H. Asmudji Rais Djamili.

Di Dayah Darussalam Aceh Selatan beliau mendampingi Abuya Drs. Jamaludin Waly memimpin dayah tersebut hingga meningggalnya Abuya Jamal pada tahun 2016. Pada 2016 beliau dipercaya menjadi Pimpinan atau Rais ‘Aam Dayah Darussalam Al Waliyah sekaligus pembina Ma’had Aly Syaikh Muda Waly sampai sekarang.

Sebelumnya, Abu Mawardi juga pernah menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Agama Padang, Sumbar tahun 1980-1982. Namun, karena ia lebih memilih berorganisasi dan aktif di Parpol, maka status PNS itu ditinggalkannya tentunya dengan tidak melupakan perjuangan utamanya yaitu mendidik generasi rabbani.

Di masa orde baru, Abu Mawardi sempat bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan ketika itu ia sempat menduduki jabatan sebagai anggota DPRD Provinsi Sumbar selama dua periode (1977-1987). Selain itu beliau juga aktif di HMI dan PERTI. Dan sempat menjabat Ketua PERTI Sumbar selama dua periode (1977-1987).

Kiprah dan kecintaan beliau kepada PERTI organisasi yang didirikan kakeknya tidak perlu diragukan lagi bahkan hingga saat ini. Hal itu diantaranya terlihat ketika beliau sangat antusias menyukseskan dan menyampaikan tausiyah saat menghadiri Muscab Tarbiyah-Perti Aceh Barat Daya pada 20 Februari 2021 di Dayah Bustanul Huda Blangpidie.

Baca Juga: Syekh Muda Waly: Syekhul Masyayikh Ulama Dayah Aceh Kontemporer

Pasca islah Tarbiyah-Perti pada tahun 2016, Abu Mawardi diamanahkan menjadi Wakil Ketua Majelis Ifta’ Pusat Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah-Perti) periode 2016-2021. Darah Perti yang mengalir di tubuhnya juga diturunkan kepada anak-anak beliau. Bahkan dr. Maysarwati Waly putri beliau juga aktif sebagai Wakil Sekjend Pimpinan Pusat Tarbiyah-Perti 2016-2021.

Di tengah kesibukannya sekarang mengurus Pondok Pesantren atau Dayah Darussalam Labuhan Haji Barat, Aceh Selatan. Sosok yang pernah menjadi dosen di IAIN Imam Bonjol, Sumbar ini juga menyempatkan waktunya untuk mengajar ilmu agama kepada para santri di Ponpes Syech Muhammad Jamil Jaho, Tanah Datar, Sumatera Barat. Ia tidak pernah mengenal lelah dalam mendidik generasi muda untuk menjadi generasi islami. Tiada waktu, kecuali mengabdi kepada ummat dan mengajarkan ilmu agama kepada para santri.

Abu Mawardi Waly merupakan Syaikhul Mursyid Thariqat Naqsabandiyah yang bersanad kepada Ayahanda Beliau Syaikhul Islam Muhammad Waly terus kepada Syaikh Abdul Ghani Al-Kampari bersambung hingga Sayyidina Abu Bakar dari sanad Habibinal Mustafa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam.

Abu Mawardi merupakan sosok yang sangat tawadhu’, sangat istiqamah, pembawaannya lembut, selalu tersenyum dan sekalipun tidak pernah berkata kasar. Beliau tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan. Beliau mengajarkan untuk menyayangi dan menyebarkan kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia, sesama makhluk apalagi kepada sang Khalik karena tasawuf adalah akhlak dan cinta adalah maqam ilahi. Mahabatullah adalah maqam puncak tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridha), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain.

Abu Mawardi juga rutin memimpin suluk di Dayah Darussalam sebagai media untuk taqarrub ilallah. Beliau menjelaskan tidak mungkin seseorang itu sampai kepada makrifatullah dan hatinya bersih serta bercahaya, sehingga dapat musyahadah kepada yang mahbub, yang dicintai yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kecuali dengan jalan suluk atau berkhalwat. Dengan cara inilah seseorang salik yang menghambakan dirinya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla semata-mata bisa sampai kepada yang dimaksud.

Abuya Mawardi selalu berpesan kepada murid-muridnya bahwa akhlak dan adab lebih baik dan lebih utama daripada ilmu. Amanah beliau untuk anak rohaninya adalah tetap istiqamah dan semangat berjuang di jalan Allah dengan tetap tidak sombong dan tidak ‘ujub karena kita sejatinya bukan siapa-siapa serta kita harus yakin dan ingat bahwa nantinya kita semua akan dihisab oleh Allah Jalla Jalaluh.[]

Rozal Nawafil bin Nawawi
Rozal Nawafil Penulis merupakan ASN alumni Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) asal Blangpidie yang diamanahkan menjadi Ketua Bidang Dakwah, Sosial dan Ekonomi Kreatif Pengurus Besar Kesatuan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (PB KMTI), Wakil Ketua PD OPI Aceh, Sekretaris Balitbang Aceh Culture and Education dan anggota Bidang Informasi, Komunikasi dan Penerbitan PC PERTI Aceh Barat Daya