scentivaid mycapturer thelightindonesia

Ada Banyak Khilaf Ulama dalam Buku-buku Perbandingan Mazhab, Apakah Semua Boleh Difatwakan

Ada Banyak Khilaf Ulama dalam Buku-buku Perbandingan Mazhab, Apakah Semua Boleh Difatwakan

Khilaf Ulama Khilaf Ulama Khilaf Ulama Khilaf Ulama

Oleh: Fakhry Emil Habib

Begini, pelajar agama, mungkin ia mampu membaca kitab-kitab fikih perbandingan mazhab. Namun jika ia tidak memiliki zhan (ilmu) tentang mana hukum yang (mendekati) benar, mana dalil dan istidlal yang kuat, maka berarti ia masih awam, belum lagi fakih.

Efeknya, jika ada yang meminta fatwa kepadanya, maka ia tidak berhak berfatwa, karena ia tidak punya zhan (ilmu). Kalau ia tidak punya zhan, berarti ia harus menjawab, “Saya tidak tahu”, kemudian ia mesti mengarahkan penanya kepada mufti kompeten.

***

“Tapi ia kan mampu membaca kitab? Tapi ia kan tahu khilaf fuqaha? Tapi kan ia sudah kuliah ke luar negeri? Bla bla bla..”

Tentu saja ia mampu membaca kitab, namun orang Arab yang awam pun mampu membaca kitab. Tentu saja ia tahu khilaf fuqaha, namun awam Indonesia pun tahu khilaf fuqaha.

Masalahnya, mana yang paling mendekati kebenaran dari khilaf yang ada, ia tak tahu. Mana yang dalil dan istidlalnya kuat, ia tak paham. Thus, ia tak berbeda dengan awam, dan awam bukan mufti (pemberi fatwa), ia patutnya jadi mustafti (peminta fatwa).

Saya beri contoh:

Jika seorang pelajar agama hanya tahu
– bahwa batalnya wudu suami yang menyentuh istrinya adalah khilafiyah
– bahwa wajibnya mengganti salat bagi orang yang sengaja tidak salat adalah khilafiyah,
– bahwa berdiam-dirinya wanita haid di dalam masjid adalah khilafiyah,

BERARTI IA AWAM. Karena orang AWAM PUN TAHU bahwa perkara-perkara di atas adalah KHILAFIYAH.

Sekadar tahu khilaf, itu bukan ilmu, itu namanya syak. Dan berfatwa tanpa ilmu itu terlarang. Tak perlu saya nukilkan hadis tentang tiga pembagian qadhi bukan? (1 di surga, 2 di neraka).

Baca Juga: Salat Jumat dengan Tiga Orang, Bolehkah?

***

Pelajar agama yang sekadar punya syak, metode fatwanya tak akan keluar dari dua cara:

1. Bisa jadi ia sampaikan seluruh khilaf pada mustafti (ia paksa awam yang tidak kompeten untuk mentarjih sendiri), atau

2. Bisa saja ia pilih mana yang menurutnya paling mudah, dan itulah yang ia fatwakan (ia berfatwa menggunakan nafsu, bukan ijtihad dengan landasan dalil terperinci).

Dua-duanya berbahaya.

Lain halnya dengan mufti, ia tahu landasan dalil, ia paham metode istidlal yang kuat, dan dengan yang kuat itulah ia berfatwa. Ia berfatwa dengan ilmu.

***

Jadi jangan kritik saya jika saya tetap katakan bahwa wudu’ suami batal jika ia menyentuh kulit istrinya.
Jangan salahkan saya jika saya tetap katakan bahwa orang yang baru taubat harus mengganti seluruh salat yang ia tinggalkan.
Jangan protes jika saya katakan wanita haid dilarang berdiam diri di masjid.

Karena saya tahu dalil dan istidlalnya, dan saya tahu bahwa inilah yang mendekati kebenaran. Dan adalah terlarang, jika seorang mufti mengkhianati zhannya demi menyenangkan mustafti. (Satu persatu masalah ini insyaallah akan saya bahas dalam tulisan-tulisan khusus).

Apakah pendapat saya ini mutlak benar? Tentu saja tidak. Ia tetap punya kemungkinan salah. Apakah pendapat yang berbeda mutlak salah? Tentu saja tidak. Ia tetap punya kemungkinan benar. Makanya saya tidak pernah memaksa awam untuk mengikuti apa yang saya fatwakan.

Yang pasti salah adalah saat awam berfatwa dengan landasan syak, hanya karena ia merasa mampu membaca al-Fiqhu ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Mausuah al-Fiqh al-Islami, ataupun Mausuah al-Kuwaitiyyah. Tentu si awam akan terkaget-kaget saat tahu bahwa kehalalan daging anjing dan ganja pun adalah khilafiyah. Bagaimana ia akan berfatwa?

Baca Juga: Bagaimana Sebuah Mazhab Terbentuk?

***

Fatwa itu berat. Awam memintanya agar mereka punya sandaran atas apa yang akan mereka amalkan. Jika yang diamalkan salah, maka yang menanggung kesalahannya adalah mufti. Jika muftinya adalah mujtahid, tentu ia tetap dapat satu pahala. Namun jika muftinya syak, sama-sama awam, dan berani pula berfatwa, tentu saja dia salah, karena melakukan sesuatu di luar kapasitasnya.

Makanya benarlah pesan Inyiak Parabek di ijazah Thawalib dahulu: “Kalian yang paling berani berfatwa adalah kalian yang paling berani dengan api neraka.”

Landaskanlah amal atas dasar ilmu. Tidak pun ilmu yang yakin, setidaknya ilmu yang zhan, karena itulah hasil akhir dari ijtihad.

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.

***

Kaidah (لا يفتي إلا بالمعتمد) itu bukan kaidah main-main. Muktamads aren’t called muktamads for nothing.

Fakhry Emil Habib
Researcher Usul Fikih, Dirasat Ulya, Universitas al-Azhar