Tulisan ini berangkat dari diskusi yang dilaksanakan oleh “Majelis Baca Anak Siak”. Majelis ini merupakan salah satu ranah anak siak (santri) untuk berliterasi bersama-sama di luar jam belajar formal sekolah. Diskusi beberapa hari lalu membahas Adab dan Humaniora itu secara kultural-historis. Medium diskusi saat itu adalah sebuah buku yang berjudul “Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya Terhadap Renaisans Barat” atau yang diterjemahkan dari “The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West” ditulis George Makdisi (1990).
Bagi beberapa orang, mungkin akan berpikir ambigu apa yang disebut dengan kajian Adab? Humaniora? Ada yang berpendapat adab adalah ilmu mengajarkan kesopansantunan, pendidikan moral, dan lain-lain. Begitulah dialektika bahasa. Jika mengaji adab dalam pengertian bahasa Arab, kita akan menemukan adab sebagai ilmu tata bahasa dan sastra. Bila dalam bahasa Indonesia adab adalah berperilaku baik, sopan, dan hal-hal yang bermoral. Tapi anehnya, tanpa ada dialektika pun orang-orang langsung memahami apa itu ilmu sastra. Padahal, sastra adalah salah satu output kajian adab itu sendiri. Muara keilmuan seperti sastra, puisi, dan bahasa adalah kajian adab itu.
Kajian adab lahir dari kalangan bangsa arab klasik sebagaimana pendapat Imam az-Zamakhsyari (1075-1144 M). Mufassir kenamaan penulis kitab tafsir Al-Kasyyaf. Kajian adab merupakan “rumpun pengetahuan yang bertujuan untuk menjaga seseorang agar terhindar dari kesalahan dalam berbicara dan menulis sesuai dengan tradisi wacana arab klasik”.
Kajian adab secara mendalam terbagi kepada dua rumpun oleh orang-orang arab klasik. Rumpun pertama, meliputi teknik penyusunan kamus (leksikografi), kata-kata (morfologi), asal usul makna kata (etimologi), susunan kalimat (sintaksis), dan kecakapan bahasa Arab: ilmu ma’ani, balaghah, badi’, ritme/persajakan, dan persamaan bunyi (rima). Rumpun kedua meliputi seni menulis (kaligrafi), merangkai syair, dan kajian sejarah (tarikh dan akhbar).
Baca Juga: Beberapa Percakapan Dasar tentang Sastra Pesantren
Lalu bagaimana dengan humaniora? Istilah humaniora sendiri berarti artes liberales dalam bahasa Yunani. Kajian humaniora meliputi logika, retorika, dan gramatika atau disebut dengan trivium dalam pendidikan Yunani. Ruang lingkup humaniora tak ubahnya dengan adab. Hanya saja penambahan kajian humaniora dikuatkan atau diyakini sebagai antitesis dari keilmuan eksak seperti matematika, fisika, dan saudara-saudaranya yang cenderung meningkatkan intelektual saja. Karena, kajian humaniora adalah interpretasi tentang sastra dan sejarah, kritik tentang seni, musik, dan teater yang semuanya membahas tentang batas-batas, kedalaman, dan kapasitas dari semangat manusia.
Hubungan adab dan humaniora sangat erat dengan banyak kesamaan output yang lahir. Perbedaannya secara tampak jelas terletak dalam penamaan dan tempat keilmuan dikenal. Adab dikenal oleh orang-orang Arab klasik, humaniora lahir dari keilmuan orang luar Arab (أجْنَبِي).
Keunikan adab dan humaniora adalah keunikan manusia itu sendiri, melalui tingkatan berpikirnya membentuk kemampuan mengontrol perkembangan fisik dan mental, menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang keberadaan/eksistensi, menikmati suatu pelepasan kreatif dari emosi-emosi, menemukan pola-pola dari kehidupan, serta pencarian manusia akan nilai-nilai kehidupan. Begitulah kajian ini dibangun diatas peradaban. Karena peradaban dinamai demikian adalah bentuk dari lahirnya sebuah kemajuan, kecerdasan, dan kebudayaan baik lahir maupun batin.
Era sekarang adab dan humaniora dipakai sebagai nama fakultas dalam Perguruan Tinggi Islam yang mempelajari sejarah peradaban, bahasa, sastra, ilmu pustaka, dan terjemah. Dalam perguruan tinggi sekuler dinamai dengan fakultas ilmu budaya dengan pelajaran yang sama pula. Tapi, kebanyakan orang-orang juga tidak menyadari bahwa kajian adab dan humaniora juga merupakan program unggulan pesantren tradisional (belajar kitab kuning). Tapi, sebelum adanya pesantren sebagai wadah pendidikan Islam, khusus di Minangkabau adalah surau. Surau-surau di Minangkabau adalah cikal bakal lahirnya pesantren. Pokok keilmuan surau tidak hanya masalah syariat. Secara jelas orang-orang/anak siak yang belajar di surau menimba ilmu nahu, sharaf, mantiq, balaghah, tashrif, dan tarikh yang merupakan cabang-cabang keilmuan adab dan humaniora. Mempelajari ilmu-ilmu ini di surau berguna sebagai persiapan ilmu untuk mempelajari ilmu agama (tauhid, fikih, tafsir, dan saudara-saudaranya).
Seperti Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) misalnya. Beliau belajar dari surau ke surau sebelum berangkat ke Makkah. Selama di surau-surau, katakanlah di Batu Hampar, 50 Kota surau Syekh Abdurrahman. Lalu ke Biaro, Agam belajar ke Tuanku Samiak Ilmiyah dan Tuanku Kadi Salo. Lanjut pula ke surau Syekh Abdullah Halaban, 50 Kota. Nah, tempat-tempat itu beliau belajar kajian adab.
Baca Juga: Sya’ir-Nazham: Tradisi Bersastra Ulama Minangkabau
Semua yang dipelajari Inyiak Canduang meliputi ilmu alat, bahasa, tulis menulis, mengaji (tartil dan qiraat) Alquran dan ditambah pula kajian syariat. Maka pantaslah beliau disebut dengan seorang ta’dib. Karena, setelah itu beliau rihlah ke Makkah. Menambah kajian stariatnya (keislaman) dengan beberapa ulama/imam besar di sana termasuk kepada Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi. Keberanian Inyiak Canduang berangkat ke Makkah dikuatkan karena telah paham keilmuan rumpun adab yang didapatkan dari surau tadi.
Syekh Sulaiman Arrasuli adalah sampel yang menandakan hampir seluruh ulama-ulama Minangkabau serupa demikian. Ulama yang belajar adab dan humaniora dari surau. Wajar saja sekelas Inyiak Canduang melahirkan karya sastra “Nasihat Siti Budiman: Pedoman Hidup di Alam Minangkabau”. Karya yang memberikan pola kehidupan yang mengatur batas selera humor (gurau), kesantunan (taratik) dalam tatanan lingkungan di Minangkabau. Karya yang banyak mengandung nilai-nilai humaniora. Memanusiakan manusia.
Kembali ke surau, tak lepas pula dari bagian budaya Minangkabau. Di surau orang-orang mempelajari nilai-nilai kemanusian, kebudayaan, dan keislaman. Keberadaan surau telah menjadi mata rantai sejarah minangkabau. Sehingga, kekokohan tradisi surau merupakan salah satu faktor terpenting yang dipandang memiliki ajaran mencairkan tatanan masyarakat. Maka, terbuktilah surau adalah rumah produksi adab dan humaniora skala eksklusif. []
Leave a Review