Amir ingin memanfaatkan waktu liburnya untuk mengajak generasi muda desa Asri kembali ke surau, mengembalikan tradisi dan budaya yang sepertinya memudar, Adaik Basandi Syarak[1] yang mulai retak.
Perlahan-lahan rembulan ditutupi awan dan malam pun semakin gelap. Amir yang sedang berjalan, mempercepat langkahnya. Jalanan malam itu sepi, Amir tidak tahu kenapa bisa berjalan di sini sedangkan dia tidak mengetahui jalan ini dimana. Karena sudah merasa tidak nyaman dan semakin takut,Amir berlari sekencang-kencangnya. Namun, sesuatu hal aneh terjadi. Kaki Amir sangat susah digerakkan, seperti ada yang membuat kakinya menempel di jalan. Amir pun semakin cemas dan ketakutan. Pada saat yang menegangkan itu, tiba-tiba angin berhembus kencang, pohon-pohon di pinggir jalan bergoyang hebat tanpa aturan, burung- burung yang tertidur pulas pun seketika berbondong-bondong untuk terbang bangun melarikan diri. Amir semakin ketakutan, keringat membasahi sekujur tubuh, badannya gemetar, mulutnya terkunci, tidak mampu berucap sedikitpun, menunda keinginan Amir untuk berteriak minta tolong. Lalu, dari arah belakang Amir melihat tanah merekah, jalanan itu terbelah-belah, semakin dekat dan mendekat ke arahnya yang terbujur kaku. Kemudian, dari kejauhan Amir melihat segerombolan makhluk yang susah ditebak jenisnya. Mereka memperlihatkan kegarangan, membawa senjata, seolah ingin menghabisi Amir malam itu juga.
Amir semakin takut, Ia cemas, tidak tau lagi bisa berbuat apa, akhirnya Amir pasrah dan memejamkan mata, lirih batin Amir berucap, “Ampunilah Hambamu ini ya Allah, hanya kepadamulah Hamba menyembah dan meminta pertolongan.” Namun, do’a Amir seperti belum sampai pada langit ke tujuh, makhluk tadi sudah ada didepan kelopak matanya. Aroma busuk menusuk hidung menguar dari arah makhluk di hadapannya dengan wajah yang garang. Salah satu dari makhluk itu berdiri di depan Amir yang sudah pasrah dan tertidur di jalanan. Dengan amarah yang besar, makhluk itu mengangkat senjatanya dan bersiap untuk menghabisi Amir. Sepersekian detik sebelum Amir dipukul, Ia mendengar kalimat, “Jangan sok baik, wahai anak muda!” cacinya. Amir tidak dapat lagi mengelak, Ia paksa mulutnya tadi berteriak, “Toloong, toloong, tolooong!” teriak Amir sekencang-kencangnya. Dan akhirnya, Amir mendengar pintu kosnya digedor-gedor oleh seorang teman, “Ternyata hanya mimpi,” ujar Amir lega.
Hari ini, Amir akan pulang ke kampung halamannya. Selain karena masa libur kuliah, Amir juga ingin menunaikan ibadah Puasa bersama keluarga.
Sembari menikmati pagi di depan kos dengan secangkir kopi, Amir mengingat percakapan panjangnya dengan seorang sahabat sebelum akhirnya dibangunkan oleh mimpi buruk.
***
Amir ditelpon oleh sahabat lama di desa. Mereka bercerita panjang lebar, tentang aktivitas masing-masing. Keduanya juga menceritakan bagaimana kondisi tempat mereka menetap masing-masing. Amir menceritakan bagaimana kehidupannya di kampus. Kegiatan mahasiswa, akademik maupun non-akademik. Sebagai anak rantau, Amir punya keinginan besar untuk membangun kampung halaman lebih baik kedepannya setelah menyelesaikan pendidikan. Oleh karenanya, Amir bersungguh-sungguh dalam menempuh pendidikan yang sedang Ia jalani.
Sahabat Amir, Hamzah juga bercerita panjang lebar tentang desa. Pada saat telponan itu, Hamzah menceritakan segala yang terjadi di desa. Semuanya berubah dengan begitu cepat. Hamzah menceritakan tentang surau yang sudah sepi dari anak muda. Tata krama yang sudah hilang dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya hanya memikirkan nasib dan hidup masing- masing. Hamzah menceritakan begitu merosotnya moral dan etika generasi muda di kampung halaman hari ini, generasi muda yang sering tunduk menatap layar handphone, bermain game tanpa batas, huru-hara, dan lain sebagainya. Ditambah lagi, Hamzah menceritakan tentang beberapa teman sejawat yang terjerat kasus narkoba, maling, dan perilaku onar yang membuat resah warga.
Percakapan Amir dan Hamzah lewat telpon malam itu, menyisakan rencana-rencana baik untuk kampung halaman setelah Amir sampai nanti. Selanjutnya, percakapan Amir dan Hamzah ditutup dengan nostalgia masa-masa SMA. Ketika mereka dan teman-teman di desa giat menyemarakkan surau, mengadakan kegiatan kepemudaan, dan lingkungan yang ramah serta damai nan susah dilupakan. Apalagi ketika Ramadhan datang, semuanya antusias mengadakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan menggembirakan.Usai menghabiskan kopinya, Amir bersiap-siap untuk pulang. Mengingat harus sampai di bandara 90 menit sebelum keberangkatan. Amir menyegerakan persiapannya agar tidak terlambat.
Sesampainya di desa, Amir benar-benar merasakan atmosfer yang berbeda. Desa yang Ia tinggalkan dulu: ramai; sejuk oleh tanaman; dan tentunya tidak membosankan sudah tidak Ia temukan hari ini. Entah perasaan saja karena sudah lama tidak pulang, atau memang begitulah keadaan desanya sekarang. Tanpa pikir panjang, Amir bergegas menuju rumah. Ia temui orang
tua dan saudara-saudaranya. Karena habis perjalanan jauh, Amir memutuskan untuk membersihkan badan, lalu mengistirahatkan diri sebelum nanti malam menunaikan ibadah tarawih pertama di bulan Ramadhan kali ini. Dan tentunya, Ia akan bertemu sahabatnya, Hamzah.
Magrib Pun usai, Amir dan keluarga sudah duduk rapi di ruang makan. Artinya, sudah bersiap untuk menyantap hidangan malam ini. Amir yang dari kemarin penasaran dengan kondisi kampung halaman setelah melakukan percakapan via telepon bersama Hamzah, bertanya pada ayahnya, “Yah, bagaimana keadaan kampung kita hari ini?” tanyanya lugas. Sambil memilih- milih lauk, Ayah Hamzah menjawab, “Yaaa, keadaan kampung kita begini-begini aja Mir,” timpal-nya datar. Mendengar itu, Amir pun diam dan tidak mau banyak tanya.Nazil, adik Amir, spontan menceletuk, “Kata Ayah, hati-hati kalau main ke warung Mak Pono. Takut salah tangkap.” Amir dan Hamzah saling berpandangan. Meski tidak memahami maksud Nazil, mereka tetap melanjutkan menyantap hidangan makan malam. Nazil adalah adik Amir yang paling kecil, wajar saja kalau dia suka berbicara ngelantur begitu. Makan malam pun usai, Amir dan keluarga bersiap ke surau untuk melakukan sholat isya dan tarawih. Selesai sholat, Amir menemui sahabatnya Hamzah.
Amir dan Hamzah bertemu di depan surau, mereka berjabat tangan dan saling bertanya kabar. Mereka bercerita sembari berjalan, Amir menanyakan kepada Hamzah, “Zah, kenapa surau kita sepi? Tidak seperti biasanya, apalagi ini hari pertama bulan Ramadhan,” tanya Amir. Hamzah dengan santai berucap, “Udah susah Mir, anak-anak sudah dapat mainan baru, mereka punya tempat baru, surau sudah gak dipakai lagi di zaman edan ini,” jawab Hamzah dingin.
Mendengar itu, Amir tidak tahu lagi harus berbicara apa. Sisanya, percakapan mereka hanyalah basa-basi semata. Kemudian, Hamzah mengajak Amir untuk pergi ke sebuah tempat. “Mir, ikut aku yuk! Kita ngobrol-ngobrol santai di kedai Mak Pono,” ajak Hamzah. Amir berhenti sejenak, seketika Ia ingat sesuatu, lalu dengan senang hati dia menjawab, “Yok Gass!” Akhirnya, keduanya pun pergi ke kedai Mak Pono. Setibanya disana, mereka memesan teh talua[2] untuk menemani percakapan mereka. Disinilah, Amir melihat ramainya anak-anak muda menghabiskan waktu. Mereka asyik dengan handphone-nya masing-masing, bermain game. Tidak itu saja, ternyata di samping kedai ini, Mak Pono juga menyediakan tempat main playstation bagi anak-anak. Suasana kedai riuh, ramai, dan penuh dengan gelak tawa. Mak
Pono selain orang kaya di desa, dia juga pemangku adat, tempat kaum[3] meminta nasehat dan bertanya perihal masalah adat.
Sambil menikmati teh talua, Amir dan Hamzah larut dengan diskusi panjang. Mereka bernostalgia dengan kisah lama sewaktu SMA. Mengulang lagi rekaman kenangan saat menyemarakkan kampung halaman dengan banyak agenda. Kompaknya generasi muda, inovasi dan kreasi membangun negeri, dan kentalnya budaya gotong royong saat itu.
***
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Kami beritahukan kepada seluruh pemuda dan pemudi desa Asri untuk datang ke surau malam ini, berkaitan dengan akan diadakannya Festival Budaya Desa Asri yang akan kita laksanakan, sekian dan terimakasih,” lantang suara terdengar dari pengeras suara surau. Sore itu, semua pemuda dan pemudi bergegas menuju surau. Lengkap dengan busana rapinya dan al-qur’an di tangan kanan. Gadis-gadis desa dengan mukenanya berjalan anggun. Para bujangan dengan deta[4] yang terikat rapi di kepala, beberapa dari mereka ada yang mengalungkan kain sarung di badan untuk dipakai ketika sholat. Amir dan Hamzah berada dalam rombongan bujangan itu, bersiap menyambut kegiatan desa Asri yang akan diadakan.
Seusai sholat magrib di surau, pemuda dan pemudi mengaji bersama. Mereka belajar dengan antusias, kelompok belajar surau diasuh oleh Buya Pakiah. Masih teringat oleh Amir dan Hamzah ketika mereka harus dihukum oleh Buya karena meninggalkan sholat lima waktu. “Siapa yang tidak mengerjakan shalat subuh tadi pagi?” Tanya Buya pada murid-muridnya. Amir dan Hamzah mengacungkan tangan, “Ambo[5] Buya,” jawab Amir yang disusul oleh Hamzah. Buya melirik tajam dan bersiap dengan pelecut yang dipegang, “Sini tangan kalian, berapa raka’at sholat subuh,” tanya Buya lagi. Amir dan Hamzah ketakutan, dengan badan gemetar mereka menadahkan telapak tangan sambil berucap, “Dua rakaat Buya.” Amir dan Hamzah menahan sakit.
Kegiatan mengaji selesai ditandai dengan masuknya waktu sholat isya. Selesai sholat pemuda dan pemudi bermusyawarah untuk mensukseskan kegiatan festival budaya desa. Setelah musyawarah, para gadis desa pulang ke rumah masing-masing menyisakan bujangan yang latihan silat di halaman surau. Begitulah rutinitas kaum muda setiap harinya di desa Asri. Sesekali mereka mengadakan kegiatan untuk meningkatkan solidaritas, gotong-royong,
melestarikan adat dan budaya, serta tetap menjalankan syariat agama islam dalam kehidupan sehari-hari.
***
“Heyyy,” percakapan nostalgia Amir dan Hamzah terpotong dengan sapaan Mak Pono dari arah belakang. Mereka kaget, dan melirik ke arah suara. Mak Pono mengajak Amir bicara, “Bagaimana kabar Mir? Sudah lama gak balik kampung,” tanyanya. “Alhamdulillah, kabar baik Mak,” jawab Amir, “Sudah berapa lama buka kedai Mak?” Lanjut Amir bertanya. “Yaaa, udah hampir 1 tahunan,” jawab Mak Pono. “Okelah, Aku ke belakang lagi,” tutur Mak Pono meninggalkan Amir dan Hamzah, sebelum Amir menanyakan pendapatnya tentang keadaan kampung halaman.
Tidak terasa malam pun semakin larut, Amir dan Hamzah berencana untuk menemui Buya Pakiah besok malam di surau. Mereka ingin bercerita dan menyampaikan maksud untuk mengadakan kegiatan kepemudaan di bulan Ramadhan ini. Amir ingin memanfaatkan waktu liburnya untuk mengajak generasi muda desa Asri kembali ke surau, mengembalikan tradisi dan budaya yang sepertinya memudar, adaik basandi syarak yang mulai retak. Begitulah kesimpulan pertemuan Amir dan Hamzah malam ini di kedai Mak Pono.
Keesokannya, Amir dan Hamzah bertemu Buya Pakiah setelah sholat tarawih. Mereka menyampaikan keresahannya tentang generasi muda desa Asri, tentang surau yang hari-hari ini sepi, dan desa yang sudah tidak semarak seperti dulu lagi. “Ya, mau bagaimana lagi Mir, Aku juga sudah tua, tidak sanggup apa-apa lagi,” respon Buya mendengar keluh kesah Amir dan Hamzah. Seterusnya Buya melanjutkan, ” Aku juga sedih Mir, melihat keadaan yang berubah sekarang, aku takut Mir, siapa yang akan menggantikan kami disini nanti. Sedangkan, Aku sudah tua,” begitu turur Buya dengan raut wajah sedih.
Percakapan itu tidak berlangsung lama, karena Buya yang sudah tua harus segera balik ke rumah. Amir dan Hamzah masih di surau, merenungi lagi respon Buya. Mereka sudah tidak bisa lagi terlalu berharap banyak, karena Buya sudah tua. Mereka juga menangkap maksud Buya tentang regenerasi, siapa yang bakal melanjutkan jalannya sebagai seorang Buya di Desa? Apalagi dalam masyarakat Desa Asri, selain pemangku adat, Buya juga tokoh yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat -tempat bertanya perihal agama-.
Amir dan Hamzah tidak mau berlarut-larut dalam perihal ini. Mereka langsung bersiasat untuk mengajak generasi muda kembali ke surau. Ramadhan kali ini, mereka ingin mengadakan kegiatan semarak ramadhan di surau. Setidaknya, dengan kegiatan dan momentum Ramadhan ini, desanya kembali ramai dan generasi mudanya kembali bersemangat dan berkemajuan.
Satu hari setelah itu, Amir dan Hamzah dengan memberikan pengumuman di masjid, mengajak kawula muda desa bermusyawarah. Namun, hasilnya nihil. Mereka menunggu kedatangan yang tidak pasti di surau sampai larut malam. Anak-anak di desa tidak satupun yang menyusul ke surau. Mereka pulang dengan kekosongan. Dalam perjalanan pulang, mereka melihat kedai Mak Pono yang tidak pernah sepi. Selalu ramai, apalagi dengan anak muda. Ternyata, “Disini mereka”, ucap Amir.
Hari-hari setelah itu, Amir dan Hamzah tidak mau kehabisan akal. Mereka giat menghampiri kedai Mak Pono. Berusaha satu persatu mengajak anak-anak muda untuk kembali ke surau. Beberapa dari mereka ada yang mengikuti ajakan Amir dan Hamzah. Namun, tidak sedikit juga yang masih disana. Suatu hari, Mak Pono risih dan kesal dengan apa yang dilakukan oleh Amir dan Hamzah, kedainya mulai sepi. Saat itu Amir dan Hamzah berjalan dari kejauhan menuju kedai Mak Pono, tiba-tiba Mak Pono bergegas menghampiri mereka, “Sudah, sudah. Kalian tidak usah kesini lagi,” ucap Mak Pono garang. “Tapi Mak, kami cuma mau ajak mereka ke surau Mak,” ucap Amir sedikit lantang. Mak Pono semakin geram, “Sudah, Aku bilang sudah. Balik kaliaan sana!!” Bentak Mak Pono.
Setelah kejadian itu, Amir dan Hamzah tidak pernah lagi melihatkan batang tubuhnya di depan Mak Pono. Mereka sudah berusaha sekuat tenaga. Dan tetap dengan apa yang mereka rencanakan dari awal. Mereka akan menyemarakkan Ramadhan kali ini. Meskipun, generasi muda yang terlibat hanya sedikit. Dengan jumlah orang yang tidak seberapa itu, Amir dan Hamzah mempersiapkan segala kebutuhan kegiatan semarak Ramadhan. Buya Pakiah turut bergembira, meskipun generasi mudanya tidak seberapa. Buya Pakiah yang sudah tua dan sakit-sakitan itu senang dengan surau yang diisi lagi dengan rutinitas adat dan agama. Di dalam surau belajar agama dan mengaji, di luar surau belajar adat dan bersilat. Rutinitas itu hadir kembali pada hari-hari persiapan kegiatan semarak Ramadhan yang akan diadakan oleh mereka, generasi muda Desa Asri.
Namun, sayang beribu sayang. Buya Pakiah yang menjadi panutan tidak berumur panjang. Setelah tarawih di malam yang ke 17, Buya Pakiah menutup usianya. Saat ini beliau memimpin sholat untuk terakhir kalinya. Selesai salam, beliau dipanggil Allah S.W.T dengan terpuji. “Ee..e..eh, kenapa Buya?” Jamaah saat itu bergegas menuju mihrab melihat Buya yang terjatuh dari duduknya sambil berzikir. Dalam pangkuan Amir, Buya Pakiah mengucapkan lafaz tahlil. Dipenghujung nafas terakhirnya, beliau menyampaikan sesuatu pada Amir, “Tugasku sudah selesai, saatnya kalian yang menggantikan, la ilaha illallah,” tutup Buya. Seketika malam itu jadi riuh dengan tangisan. Buya yang mereka cintai sudah pergi meninggalkan.
Setelah wafatnya Buya, surau semakin bersemangat. Sepertinya, kepergian Buya yang mereka saksikan secara langsung, ditambah dengan wasiat yang juga didengar langsung, membuat hati mereka bergerak. Meskipun sedikit, tapi tidak apa-apa.
Persiapan untuk semarak Ramadhan sudah mulai sempurna. Amir dan Hamzah sudah optimis bahwa akan ada kebangkitan di desa Asri. Mereka bahagia, bahwa hari yang dinanti-nanti akan tiba. Namun, terdengar kabar bahwa pada hari yang kegiatan semarak Ramadhan, Sudah Mak Pono juga mengadakan pesta besar-besaran untuk warga desa. Kabar itupun membuat kekhawatiran Amir dan Hamzah memuncak. Khawatir dengan kurangnya antusias warga untuk menghadiri semarak Ramadhan di surau nantinya. Mengenai hal ini, Amir dan Hamzah menemui Mak Pono untuk mencari solusi.
“Mak, kami mendengar kabar bahwa akan ada pesta di rumah Mak Pono ya Mak?” Tanya Amir lembut. Mak Pono dengan wajah sungkan menjawab, “Iya, Kenapa?” Tuturnya singkat. “Begini Mak, kebetulan acara pesta disini, bertabrakan dengan acara kami di surau Mak. Jadi kami mau mengusulkan, bagaimana kalau pesta Mak Pono diubah jadwalnya Mak?” Tanya Amir lembut lagi. Tanpa pikir panjang dan mempertimbangkan, “Oo ga bisa doong, kita adakan acara kan beda tempat, biarkan saja, kemana orang mau pergi, JANGAN SOK BAIK, WAHAI ANAK MUDA, itu urusan mereka. Sanaa pergi, saya masih sibuk,” tutup Mak Pono lekas.
Amir dan Hamzah yang saat itu ditinggal pergi, tidak bisa apa-apa lagi. Mereka hanya terdiam dan pasrah. Tidak tau lagi mau mengusahakan apa. Mereka sudah mencoba segala cara. Hari ini, mereka akan tetap mengadakan semarak Ramadhan itu. Meskipun, mayoritas warga desa ikut pesta rumah Mak Pono dan hanya sedikit warga yang ikut memeriahkan acara di surau.
Hari-hari yang ditunggu sudah tiba, Amir dan Hamzah serta rekan-rekan yang lain berada di surau. Acara mereka tetap dilaksanakan, dimulai dengan pertunjukan silat, setelah itu satu persatu tampil membaca Al-Qur’an, berceramah, dan berkhotbah. Seperti yang sudah mereka duga, acara itu akan sepi, karena Mak Pono juga mengadakan pesta.
Tiba-tiba dari arah kejauhan, Amir dan teman-temannya di surau dikagetkan oleh sirine polisi. Entah apa yang terjadi, mereka bergegas keluar karena penasaran. Melihat mobil melaju kencang ke dalam desa. Mereka ikut serta mengejar. Tak lama kemudian, para polisi melakukan penggerebekan di rumah Mak Pono. Semua warga lari amburadul. Beberapa dari mereka ada yang lepas dan selainnya ditahan untuk dimintai keterangan.
Amir dan Hamzah kaget, saat melihat Mak Pono dan dua anak laki-lakinya diborgol polisi. Mereka ditangkap karena tuduhan melakukan perdagangan barang haram. Selain itu, Mak Pono sebagai pemangku adat juga terindikasi melakukan korupsi dalam lembaga adat
kemasyarakatan. Malam itu juga, Mak Pono dan dua orang putranya dibawa ke kantor polisi. Dan warga yang ikut pesta dan sudah dimintai keterangan oleh polisi dibebaskan ke rumah masing-masing.
Hari-hari pun berlalu, kedai Mak Pono sudah ditutup. Beberapa generasi muda sudah mulai kembali lagi ke surau. Perlahan, mereka mulai kembali dengan rutinitas yang membuat desa Asri kembali hidup. Sudah tidak terasa, masa libur Amir sudah selesai, saatnya dia harus balik ke rantau, melanjutkan pendidikan.
Sebelum kembali ke rantau, Amir bersilaturahmi ke rumah Bu Rohana, istrinya Buya Pakiah. Tadi ibu Amir berpesan demikian, “Mir, nanti sebelum berangkat, kamu ketemu Bu Rohana dulu ya, beliau ingin ketemu kamu katanya,” ungkap Ibu Amir. Amir pun sedikit heran, kenapa Bu Rohana ingin bertemu dengannya, dengan spontan Amir pun mengiyakan, “Baik, Bu” jawab Amir.
Sesampainya disana, Bu Rohana memberikan Amir kain sarung, katanya itu peninggalan Buya. “Nak, ini ada sarung Buya, sepertinya cocok buat kamu,” Bu Rohana memberikan sarung. “Wah, iya buk, kain sarungnya baguss, terima kasih buk,” timpal Amir.
Selanjutnya, Bu Rohana mulai bercerita pada Amir. “Nak, ibu mau berterimakasih padamu nak. Sebab, Alhamdulillah Buya meninggal dengan tenang. Dia tidak khawatir lagi siapa yang akan mengisi surau, dia sudah tidak khawatir lagi saat menjelang wafatnya siapa yang akan menggerakkan generasi muda desa untuk seperti dulu lagi. Nak, Buya sering cerita dulu, kalau dia berharap padamu nak. Semoga kelak kamu menjadi orang yang hebat. Dia melihat kegigihanmu adalah hal yang luar biasa Nak,” Harap Bu Rohana.
“Sebelum kamu balik ke rumah, Buya sudah sering didatangi anak-anak Mak Pono. Buya sudah tau jauh-jauh hari kalau Mak Pono melakukan perdagangan barang haram di kedainya. Mak Pono sangat jelas melihatkan ketidaksukaannya pada Buya. Bahkan pernah suatu hari, saat rapat pemangku adat dan agama di balai desa, Mak Pono adalah sosok yang paling lantang menolak kegiatan kepemudaan dan keagamaan di desa. Beliau takut, kalau kedainya sepi dan perdagangannya tidak lancar,” lanjut Bu Rohana.
“Nak, sekali lagi ibu ucapkan terimakasih ya. Kamu belajar baik-baik, dan kembalilah bangun kampung halaman suatu saat nanti,” tutup Bu Rohana.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Amir bertanya-tanya dalam pikiranya. Bagaimana seharusnya generasi muda? Bagaimana seharusnya generasi tua? Bagaimana seharusnya pemangku adat dan pemangku agama? Bagaimana seharusnya kita menjaga moral dan budaya
dalam beragama? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Amir. Mengawali misi panjangnya untuk meneruskan perjuangan Buya.
[1] Adaik Basandi Syara Adalah falsafah yang dijadikan masyarakat Minangkabau sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Adaik Basandi Syarak Memiliki arti adat berlandaskan syariat. Artinya masyarakat Minangkabau hidup dengan norma-norma adat yang berlandaskan pada syariat Islam. Sehingga Adaik Basandi Syara’ adalah standar moralitas yang harus dipertahankan dan dilestarikan dalam kehidupan berbudaya, beragama, dan berbangsa di Bumi Minangkabau tersebut. Dalam kalimat yang lebih lengkapnya, Adaik Basandi Syara’, Syara Basandi Kitabullah. Artinya, “Adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan kitab Allah (Al-Qur’an).”
[2] Minuman khas Minangkabau, biasanya disediakan di warung-warung kopi. Dibuat dari kuning telur yang diaduk rata dan diseduh dengan hangatnya air teh.
[3] Kaum adalah istilah bagi kelompok atau suku dalam adat Minangkabau.
[4] Ikat kepala yang dibuat dari kain berbentuk persegi. Deta sering dipakai oleh lelaki Minang pada zaman dahulu, apalagi ketika berlatih silat.
[5] Ambo artinya saya. Bahasa halus Minangkabau, biasanya digunakan untuk berbicara dengan orang yang disegani atau lebih tua.
BIODATA
Ramadhanur Putra, Pria kelahiran Matur, Agam, Sumatera Baarat. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Jika ingin berteman, bisa mutualan di Instagram dan twitter @ramadp__
NB: Naskah Cerpen ini adalah naskah yang dilombakan pada tahun 2022 dalam Lomba Menulis Cerpen Islami Nasional yang diadakan oleh Lembanga Pengembangan dan Pengkajian Islam UMY melalui panitia Ramadan UMY pada tahun 2022 dengan tema Islam, Ketahanan Moral dan Budaya. Naskah ini mendapat Juara 2.
Leave a Review