scentivaid mycapturer thelightindonesia

Adat dan Hukum Syara’ dalam Perspektif Masyarakat Aceh dan Minang

Adat dan Hukum Syara’ dalam Perspektif Masyarakat Aceh dan Minang
Foto Rozal Nawafil

Adat dan Hukum Syara’ Adat dan Hukum Syara’ Adat dan Hukum Syara’ Adat dan Hukum Syara’ Adat dan Hukum Syara’ Adat dan Hukum Syara’

Oleh: Rozal Nawafil

Jika menyebut Aceh dan Minang maka kalimat pertama yang muncul dalam benak kita adalah Islam. Hal ini memang tidak mengherankan sebab mayoritas masyarakat di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Barat adalah Muslim dengan presentase bahkan di atas 98%. Sejarah juga mencatat Aceh dan Sumatra Barat memiliki garis penyebaran risalah Islam yang saling terhubung.

Di masa kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1514, wilayah Kerajaan Islam Aceh sudah meliputi daerah-daerah di Minangkabau seperti Tiku, Pariaman, Padang dan Salido. Pada awal abad ke-15, para ulama dan saudagar Aceh dengan gencar menyebarkan Dakwah Islam disekitar pesisir barat Minangkabau dan berhasil membuat banyaknya masyarakat dan raja Kerajaan Pagaruyuang memeluk agama Islam khususnya saat kepemimpinan Raja Alam Alif pada tahun 1600-an.

Dari pesisir (rantau) Minangkabau para murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan seorang ulama Tariqat Syattariyah yang pernah berguru kepada mufti Kerajaan Aceh Syekh Abdurrauf Assingkili (Teungku Syiah Kuala) menyebarkan Dakwah Islam ke daerah dataran tinggi (Darek) Minangkabau. Proses pergerakan dakwah dari pesisir ke pedalaman ini tersirat dengan ungkapan “Syara’ mandaki, adat manurun” yang berarti proses pertalian antara syara’ dalam dakwah Islam dari pesisir dengan adat dari Darek.

Di masa-masa setelahnya ureung Aceh dan urang Minang terus terhubung dalam proses Tarbiyah Islamiyah. Bahkan menurut sebagian sejarawan, kaum Paderi sebenarnya adalah para Ulama yang pernah belajar agama Islam kepada ulama-ulama yang berasal Pedir, sebuah daerah di Aceh yang kini bernama Pidie. Ulama-ulama Pedir saat itu diberi tugas oleh Sultan Ali Mughayatsyah untuk mengembangkan Islam ke pesisir barat Sumatra mulai dari daerah yang disebut Blang Pedir atau kini disebut Blangpidie hingga ke Minangkabau. Murid dari ulama-ulama Pedir inilah yang kemudian pergi ke Tanah Suci untuk berhaji dan sempat berlabuh atau singgah di daerah Labuhan Haji, Aceh untuk menyiapkan bekal ilmu agama sehingga disebut Jamee atau Tetamu dari Minang yang berhaji dan akhirnya kembali ke Minangkabau dan membentuk aliansi Harimau Nan Salapan yang kemudian menjadi Kaum Paderi yang memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Di akhir masa kolonial dan di awal kemerdekaan, hubungan erat ke-tarbiyah islamiyah-an antara masyarakat Aceh dan masyarakat Minang tidak dapat dilepaskan dari peran Syekh Tgk. Muhammad Waly al-Khalidy yang masyhur di masyarakat Aceh dengan sebutan Abuya Muda Waly dan dikenal oleh masyarakat Minang dengan sebutan Angku Mudo Waly. Abuya Muda Waly yang sempat belajar agama di Minangkabau akhirnya menikah dengan putri Syekh Muhammad Jamil Jaho salah seorang tokoh utama dalam pendirian Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), organisasi yang didirikan oleh sahabatnya Syekh Sulaiman Arrasuli atau disebut Inyiak Canduang. Abuya Muda Waly membawa jam’iyyah PERTI ke Aceh dan disambut baik oleh gurunya yaitu Tgk. Muhammad Hasan Krueng Kalee yang selanjutnya menjadi Ketua PERTI Aceh pertama. Tgk. Hasan Krueng Kalee dan Tgk. Muda Waly dapat disebut sebagai Syekh Masyaikh (Gurunya para guru) bagi para ulama Aceh dan pimpinan-pimpinan Dayah (Pesantren Tradisional di Aceh) setelah masanya.

Garis risalah Islam yang saling terhubung antara Aceh dan Minangkabau ini menjadi salah satu penyebab adanya kemiripan paradigma masyarakat Aceh dan Minang terkait Adat dan Hukum Syara’.

Bagi masyarakat Aceh, adat dan syari’at Islam memiliki hubungan tegak lurus. Dalam Hadih Maja (Pepatah pepitihnya orang Aceh) disebutkan bahwa “Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut” (hukum syariat dengan adat, seperti zat dan sifatnya). Narasi tersebut dapat juga dimaknai bahwa “adat adalah wujud manifestasi dari esensi syariat Islam”. Sehingga ada “hadih maja” lain yang berbunyi “adat ngon hukom hanjeut cre” (adat dan hukum syariat tidak boleh berpisah) atau ungkapannya “adat melawan hukom bateu” (adat melawan hukum syari’at maka batal).

Bagi Aceh dewasa ini, adat memiliki definisi operasional sebagaimana tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, “Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan syariat Islam, yang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup”. Kemudian di dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Pasal 16 ayat (2) huruf b, menegaskan salah satu urusan wajib lainnya pemerintahan Aceh dalam pelaksanaan keistimewaan Aceh adalah “Penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam”. Hal ini juga menjadi urusan wajib lainnya pemerintahan kabupaten/kota di Aceh sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UUPA.

Ketika menyebut hukum (hukom) dalam konteks Aceh khususnya dalam sejarahnya, maka kita akan tertuju pada sosok Syekh Abdurrauf as-Singkili atau yang dikenal dengan sebutan Tgk. Syiah Kuala. Hal ini dikarenakan adanya adagium dalam hadih maja sejak masa Kerajaan Aceh yaitu, “Adat bak Poteumeuruhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana.”

Ada banyak makna yang terkandung dalam adagium tersebut. Namun, makna resmi pernah disepakati oleh para Pemangku Adat di Aceh yang dituangkan dalam keputusan Rapat Kerja Lembaga Adat Kebudayaan Aceh (LAKA, sekarang berganti nama menjadi Majelis Adat Aceh, MAA) di Banda Aceh pada 8-11 Oktober 1990. Keputusan tersebut salah satunya menjelaskan bahwa adagium “hadih maja” tersebut mengandung makna dalam nama-nama yang tersebut dalam “hadih maja”, yaitu:

Poteumeureuhom (Sultan), bermakna pemegang kekuasaan Eksekutif dan kebesaran Nanggroe (Negeri) Aceh. Syiah Kuala, bermakna ulama sebagai pemegang yudikatif. Putroe Phang, bermakna cendekiawan-Legislatif. dan Laksamana, bermakna keperkasaan dan kearifan dalam keragaman adat kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat.

Adat bak Poteumeuruhom ini terbatasi oleh hadih maja “adat melawan hukom bateu” (adat melawan hukum syari’at maka batal). Dengan demikian, jika ada ketentuan adat yang tidak selaras (harmoni) dengan hukom Tuhan, alam semesta (merusak/fasad) dan sesama manusia (tidak adil dan ekploitatif/zalim), maka ketentuan tersebut tidak dapat disebut adat (mungkin tabiat yang sudah jadi kebiasaan). Ini sesuai dengan syair yang dipopulerkan oleh Syah Luthan, Bukonlah hukom, bukonlah adat, mungken tabiat jeut keu biasa (bukan hukum-syariat, bukan adat, mungkin tabiat yang jadi kebiasaan).

Baca Juga: Ranah Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau

Poteumeuruhom atau Sultan harus menjadi uswah hasanah dalam penegakan adat dan hukum. Hal ini dapat kita lihat saat Sultan Iskandar Muda dengan tegas memerintahkan hukum rajam kepada dan anak laki-laki satu-satunya sekaligus Putra Mahkotanya Meurah Pupok yang disangkakan berbuat zina. Sehingga muncullah kalimat yang sangat terkenal dari Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam yaitu “Mate aneuk meupat jirat, mate adat pat tamita” (mati anak bisa dicari kuburnya, mati adat di mana mencarinya).

Hukom bak Syiah Kuala dapat ditinjau dari narasi tulisan Syekh Abdurrauf as-Singkili (Tgk. Syiah Kuala). Salah satu kitab Tgk. Syiah Kuala yang penting dirujuk adalah kitab Miratuth Thullab fii Tashili Ma’rifati Ahkaamisy Syar’iyati lil Malikil Wahhab (Cermin Segala Mereka yang Menuntut Ilmu Fikih pada Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syara’ Allah).

Berdasarkan pengelompokan isinya, kitab Miratuth Thullab membahas tiga pokok permasalahan hukom, yaitu muamalah, munakah, dan jinayah. Secara umum, disiplin Ilmu Fikih membahas tentang ibadah (fikih ibadah), muamalah (fikih ibadah), munakahah (fikih munakahah), jinayah (fikih jinayah), dan siyasah (fikih siyasah).

Sehingga kebudayaan Aceh bersangga pada dua pilar yakni hukom (merujuk pada aturan agama atau syara’) dan adat (merujuk pada tradisi). Hukom dan adat ini menjadi hukum yang hidup di masyarakat Aceh, sesuatu yang tak terpisahkan. Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut (hukum dan adat seperti zat dengan sifatnya). “Rutinitas kehidupan, dari kelahiran sampai ajal, dibingkai oleh norma agama dan tradisi tersebut.

Kebudayaan Aceh itu terjaga dan terawat oleh tiga institusi tradisional yang memainkan peranan penting, yakni meunasah (bangunan publik multifungsi di sebuah kampung atau gampong, konstruksinya bertiang, terbuka, dengan hanya dinding di sebelah barat (kiblat), seringnya dipakai untuk salat khususnya bagi ibu-ibu dalam satu kampung), meuseujid (masjid, melingkupi 5 kampung atau lebih), dan dayah (institusi pendidikan agama, pesantren tradisional).

Bagi masyarakat Minang, adat dan syara’ menyatu dalam satu ranah pertalian. Dalam pepatah petitih disebutkan “Agamo Mangato, Adaik Mamakai” (agama menyatakan, adat menerapkan). Kerangka kehidupan sosial baik horizontal – vertikal (hablumminallah) maupun horizontal – horizontal (hablumminannas) disatukan dalam prinsip Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (adat bersendi syariat dan syariat bersendi kitab Allah SWT).

Masyarakat Minang membagi adat Minangkabau dalam empat bentuk yaitu Adat nan sabana adat (Nan indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan), Adat nan diadatkan, Adat nan teradat dan Adat istiadat. Adat Minangkabau tersebut dipertalikan dengan syara’ dalam adagium Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai konsensus Piagam Bukit Marapalam. Piagam atau Sumpah Setia yang disepakati oleh tigo tungku sajarangan (tiga unsur pemegang kekuasaan tradisional dalam masyarakat Minangkabau) yaitu  niniak mamak (pemuka adat), alim ulama, dan cadiak pandai (cendekiawan). Piagam tersebut lahir  pasca terjadinya konflik antara kaum paderi dengan kaum adat di wilayah Pagaruyuang karena adu domba Belanda.

Menurut Syekh Sulaiman Arrasuli atau Inyiak Canduang dalam Buku Ayah Kita karya KH. Bahruddin Rusli, “Syara’” pada adagium adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah bermakna agama Islam dengan I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah (mengikut paham Syekh Abu Hasan `Ali al-Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al-Maturidi), sedangkan dari segi fikih bermazhabkan kepada al-Imam al-Syafi’i atau Syafi’iyyah. Inyiak Canduang menjelaskan mazhab Syafii telah berurat berakar dan mendarah daging pada bangsa ini. Karenanya upaya mendongkel-dongkel syafi’iyyah adalah merupakan suatu pelanggaran dalam hukum adat, sesuai pepatah yang berbunyi: “mangguntiang nan lah bunta, manyumbiang nan lah rato (menggunting barang yang bundar, menyumbing barang rata).

Syara’ berperan penting dalam menyusun adat dengan jalan mufakat. Hal ini menjadi nilai positif serta kekuatan besar bagi syara’ sebab, hukum-hukum yang dikatakan oleh syara’ tadi akan menjadi undang-undang adat yang harus dilaksanakan. Sederhananya, adat Minangkabau disusun, dipakai dan dijadikan alat untuk mengatur masyarakat Minangkabau dengan sesuai terhadap syari’at Islam.

Dalam proses penyusunan undang-undang adat itu, Islam tidak menerima adat secara total atau menolaknya seratus persen. Mana adat yang sesuai dengan ajaran Islam serta memiliki nilai-nilai baik maka diterima oleh Islam (upaya seperti ini bisa disebut dengan “‘urf” dalam istilah ushul fikih), sedangkan adat yang jelas bertentangan dengan syariat Islam maka dengan tegas Islam menolaknya. Dengan pengecualian terhadap beberapa perkara seperti larangan kawin sapasukuan, pembagian harta pusako, dan garis kesukuan menurut garis ibu (matrilineal).

Tentunya proses pertalian adat dan syara’ ini tidak selalu berjalan mulus. Pertentangan terutama datang dari kaum Muda yang gerakannya mengarah kepada penghilangan ruh kebudayaan dan mengesernya dengan dasar kembali kepada sumber yang menurut mereka autentik.  Ranah pertalian adat dan syara’ ini sejatinya dibentengi oleh perjuangan Inyiak Canduang dan ulama-ulama kaum tuo yang umumnya tergabung dalam PERTI yang bersatu membangun diskursus Islam tanpa mesti membuang kemaslahatan adat didalamnya. Para ulama Kaum Tua dalam konferensinya menyatakan kebulatan tekat untuk melanjutkan perjuangan atas nama mazhab Syafi’i dan mendasarkan pendidikannya pada pelestarian dan penguatan harmoni antara adaik nan kawi, syara’ nan lazim.

Baca Juga: Syekh Muda Waly: Syekhul Masyayikh Ulama Dayah Aceh Kontemporer

Para ulama kaum tuo dengan tegas menentang orang yang suka memperadukkan mazhab apalagi menghina atau mengkafirkan orang bermazhab. Namun, walau mereka tegas dalam “kaji” tapi tetap terbuka dalam ranah sosial dan perkembangan zaman. Inyiak Canduang pernah berwasiat kepada jamaa’ah Ahlussunnah wal Jama’ah Asysyafi’iyyah “Jalan jan diasak urang lalu, cupak jan dipapek rang manggaleh, kaji jan diubah pakiah singgah” (Jalan jangan digeser oleh pemakai yang lewat, takaran jangan dikurangi oleh pedagang, agama jangan sampai dirobah oleh musafir kemalaman/orang yang baru paham agama). Tentunya wasiat Inyiak Canduang tersebut dapat kita lakukan dengan bersatu, dengan kaji dan kembali ke surau (lembaga transformasi pengetahuan sekaligus wadah pembelajaran Islam dan adat). Karenanya, seharusnya kesadaran Jama’ah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah-PERTI) didasarkan pada pemahaman adat adalah tubuh dan syara’ adalah jiwa.[]

Rozal Nawafil bin Nawawi
Rozal Nawafil Penulis merupakan ASN alumni Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) asal Blangpidie yang diamanahkan menjadi Ketua Bidang Dakwah, Sosial dan Ekonomi Kreatif Pengurus Besar Kesatuan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (PB KMTI), Wakil Ketua PD OPI Aceh, Sekretaris Balitbang Aceh Culture and Education dan anggota Bidang Informasi, Komunikasi dan Penerbitan PC PERTI Aceh Barat Daya