Nahdlatul Islam Indonesia Agenda Nahdlatul Islam Indonesia
Dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang saya pahami, tema khilafah digariskan sebagai fungsi ibadah seorang manusia kualifikasi ulil albaab yang dengan prinsip tauhid melakukan sinergi nilai hablun min allah (ketuhanan), hablun min an-naas (kemanusiaan) dan hablun min al-alam (kejagadan). Ujung dari sinergisitas nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kejagadan berbasis tauhid dan berorientasi ibadah itu adalah kebaikan bersama (maslahah).
Dengan kesadaran ini, tatakelola lingkungan, mulai dari mikro sampai makro, mulai dari keluarga sampai negara, sejatinya dapat berlangsung dengan sehat, dengan mudah dan mencapai situasi selamat plus mendatangkan manfaat. Keberkatan akan muncul karena aura dan energi positif dari segenap penjuru lingkungan bersangkutan bertaburan sebab tatakelolanya atau tatalaksananya yang sehat, mudah dan manfaat.
Praktik salah tatakelola dan salah tata laksana atau sederhanaya salah urus tentu tidak akan berkembang marak sebagaimana yang kita rasakan saat ini. Dan musibah demi musibah baik yang disebabkan langsung oleh “human error” seperti rakyat semakin miskin dan terjepit karena semakin tak punya akses untuk bisa sejahtera dan kecelakaan-kecelakaan moda transportasi karena kondisinya yang sudah tua plus kurang perawatan atau yang tidak langsung seperti tsunami, gempa dan gunung berapi.
Parahnya, di tengah maraknya praktik salah urus berikut dampaknya tersebut, terma khilafah yang diedarkan ke publik adalah terma khilafah yang berat dan tidak praktis. Jauh dari realita kebutuhan dasar warga bangsa Indonesia. Wajar saja, karena masih terlalu menggunakan perspektif pemikir dan ilmuwan Arab.
Hasilnya bisa diduga, meski berangkat dari kasus-kasus yang aktual dan faktual seperti korupsi dan sejenisnya, produk atau solusi yang ditawarkan oleh pendekatan khilafah model ini menjadi tidak membumi. Terlalu bermimpi sebagaimana mimpi-mimpi kedatangan Ratu Adil, Mesiah atau Imam Mahdi. Tentu, hal ini menuai kontroversi dan resistensi atau reaksi negatif bahkan alergi dan antipati dari publik terutama dari semangat, corak dan watak Islam pribumi (nasionalis).
Baca Juga: Dialektika Teologi NU Pergeseran dari Kanan ke Kiri
Formulasi Teologi Kebangsaan Indonesia
Perbincangan mengenai khilafah, sebagaimana paparan di atas, mau tidak mau menyinggung soal pendekatan atau metodologi yang itu berkaitan erat dengan paradigma, kerangka pemikiran atau sudut pandang. Yang pangkalnya tentu berkaitan dengan urusan ideologi dan hal ihwal teologi. Praktisnya, pendekatan diproduksi oleh sudut pandang dan sudut pandang dikontruksi oleh basis nilai baik yang bernama ideologi maupun yang berupa teologi.
Dalam kasus, lokus dan fokus Indonesia, perbincangan bahkan pertarungan mengenai ideologi atau teologi dalam sejarah nasional berlangsung sangat dinamis bahkan tragis. Mulai dari epik sekadar pertarungan wacana di media masa hingga aksi saling kudeta. Mulai dari sekadar aksi culik menculik hingga tindakan pemusnahan massal (genocide). Lakon sejarah konsepsi ideologi dan teologi kebangsaan Indonesia itu memiliki babak-babak atau episode-episode yang bagi saya sangat hebat dan begitu khas Indonesia.
Di antara babak-babak itu yang paling pokok dalam pandangan saya adalah babak, yang oleh Abdurrahman Wahid (Presiden RI IV yang dipanggil Gus Dur), disebut pribumisasi agama. Dimana seperti Islam dengan teologi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)-nya berhasil membudaya dengan gemilang di Nusantara. Prosesi artikulasi nilai-nilai kebijakan (wisdom) dari luar secara arif disebarkan ke dalam masyarakat. Agama dan adat, sebagaimana yang dipraktikan oleh Sunan Kalijaga, Walisango atau semisalnya di luar Jawa, bukanlah dua entitas konflik. Tetapi justru menjadi kekuatan konstruktif dalam membina dan membangun masyarakat.
Proses yang dalam komunitas seperti Nahdlatul Ulama dikenal dengan al muhaafadzhatu ‘ala al qadiim as shaalih wa al akhdzu bi al jadiid al ashlah yang berarti memelihara nilai-nilai lama yang bijak sembari mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih bijak. Yang dalam bahasa majalah Suara Muhammadiyah disebut dengan upaya “meneguhkan (tradisi) dan mencerahkan (lewat proses liberasi)”. Yang diformulasikan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah, adat basandi syarak, syarak basandi kitaabullaah. Syarak mangato adat mamakai.
Formulasi teologi kebangsaan Indonesia menurut Syafi’i Maarif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) disebut dengan proses dimana agama menjadi tenda kultural bangsa. Yang diungkap oleh YB. Mangunwijaya (Romo Katolik karismatik paling populer di Indonesia) diistilahkan dengan 100% Katolik 100% Indonesia. Atau seperti formulasi Gus Dur sendiri yang menempatkan agama secara subtantif dan fungsional dalam pencarian batas-batas kepantasan hidup sebuah bangsa.
Baca Juga: Satu Muara Dua Sungai Perti dan NU Penjaga Aswaja di Indonesia
Konsep Negara Republik Indonesia
Episode yang menurut saya juga penting adalah episode Menuju Republik Indonesia yang konsep formalnya disusun dalam sebuah buku berjudul Naar de Republiek Indonesia oleh Ibrahim Datuk Tan Malaka. Dalam konsep Bapak Republik Indonesia yang hafal al-Qur’an dan mampu mendialogkan ideologi Palu Arit dan ideologi Bulan Sabit serta mahir dalam revolusi ini, selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Indonesia juga bukan dimaksud bebas untuk menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Prinsipnya, bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain.
Selain itu, etika dan nilai musyawarah sebagaimana yang ia hayati dalam kehidupan masyarakat Nusantara baik dari model “Karapatan Adat Nagari” di Minangkabau maupun model Kesultanan Demak yang diorganisir oleh Walisango, juga menjadi bagian yang penting. Kenapa, karena nilai luhur dan kebenaran yang diperoleh melalui praktik musyawarah yang bisa jadi dilakukan sekelompok kecil orang ini dapat bermanfaat untuk sebagian besar bahkan mayoritas warga.
Itulah sebabnya Datuk (pemimpin adat dalam tradisi Minangkabau) yang telah menjelajahi 2 benua dan 11 negara dengan jarak tempuh setara dengan 2 kali keliling bumi ini menolak demokrasi yang mensyaratkan parlemen dan partai. Mengingat yang dihitung dalam kerangka demokrasi seperti ini adalah kuantitas suara yang memilih, bukan kualitas pilihan yang disediakan.
Menyoal negara, secara tegas, pria yang memulai karier sebagai guru, sama dengan karib sehaluan dan mengikuti garis perjuangannya, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Tan bukan memilih republik yang menganut asas trias politika ala Montesqiu dengan parlemen dan partai sebagai ujung tombaknya dimana demokrasi menjadi rule of the game-nya. Tetapi republik dalam bentuk negara yang efisien dan fungsional yang dikelola oleh sebuah organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Lebih lanjut, untuk bisa cerdas membangun bangsa dan republik yang bernama Indonesia itu, Tan Malaka menyusun dan menyiapkan sintesis pemikiran yang sistematis yang bernama “MADILOG” (singkatan dari MAterialisme, DIalektika dan LOGika) dengan prinsip bahwa republik itu harus dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, bersifat Indonesia sentris dan futuristik serta mandiri, konsekuwen dan konsisten.[]
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Agenda Nahdlatul Islam Indonesia Agenda Nahdlatul Islam Indonesia
Leave a Review