Keislaman di Minangkabau
Beberapa hari lagi Minangkabau akan didatangi oleh ulama-ulama besar dari tanah Jawa. Kebanyakan ulama di tanah Jawa biasanya dipanggil dengan sebutan kiai haji (K.H.). Pada kesempatan kali ini Minangkabau akan menyambut kedatangan K.H. Ma’ruf Khozin dan K.H. Idrus Ramli. Sebagian besar anak siak pasti sudah mengetahui dari selebaran pamflet yang difasilitasi tim Kaji Surau TV dan redaksi tarbiyahislamiyah.id. Kedatangan mereka adalah dalam rangka “Safari Dakwah Singa Aswaja” yaitu sebuah tabligh akbar dengan kali ini mengusung tema ‘Seni Cerdas Mengenali dan Menangkal Ajaran Sesat’.
Sebelum kedatangan kiai-kiai ini pada tanggal 16 November mendatang, saya (Ilham Arrasulian) dan Inyiak Ridwan Muzir berkesempatan mewawancarai dari jarak jauh K.H. Ginanjar Sya’ban. Beliau adalah seorang kiai muda dari Jawa Barat yang mengatur lancarnya perjalanan/rihlah dua kiai di atas.
Berikut tanya-jawab kami dengan K.H. Ahmad Ginanjar Sya’ban:
Redaksi (R): Bagaimana latar belakang kegiatan ini terlaksana, mungkin Kiai Ginanjar bisa ceritakan bagaimana awal mulanya?
K.H. Ahmad Ginanjar Sya’ban (AGS): Terkait kegiatan ini, kiai-kiai tersebut ingin menjalin silaturahmi dengan saudara-saudara ahlus sunnah wal jamah(aswaja) yang ada di indonesia. Kebetulan Minangkabau adalah salah satu negeri aswaja yang kuat dari dulu kala. Di Minangkabau juga ada ormasnya yaitu Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Hal yang paling utama sekali bagi kiai-kiai kita ini adalah adanya silaturahim termasuk dengan para jamaah pula. Karena kita satu haluan, sama-sama Aswaja, banyak berkah yang akan didapati. Selanjutnya kenapa kegiatan ini ada, karena tradisi ulama-ulama kita dahulu. Para ulama dulu saling bertemu dan belajar pada satu majelis ke majelis lain, walau negeri asalnya berbeda-beda. Seperti Syekh Burhanuddin Ulakan dari Minangkabau yang berteman dengan Syekh Abdul Muhyi dari Priangan, Jawa Barat . Mereka satu guru di Aceh dulu, sama-sama berguru dengan Syekh Abdura’uf as-Singkili Aceh.
R: Kapan kegiatan ini dicetuskan?
AGS: Sulit dibilang kegiatan kita ini direncanakan secara sistematis. Awalnya kami hanya ingin silaturahmi dengan kaum muslimin di berbagai tempat, terutama sesama kalangan Aswaja. Kebetulan dua orang kiai ini memang memiliki agenda tahunan keluar Jawa. Seperti K.H. Idrus memiliki agenda tahunan ke Aceh dan K.H. Ma’ruf juga tiap tahunnya ke Pontianak. Pada satu kesempatan kiai-kiai ini berkata bahwa mereka belum pernah ke Minangkabau dan ingin sekali berkunjung. Lalu setelah itu langsung diagendakan perjalanan ke Minangkabau.
R: Bagaimana pandangan K.H. Ginanjar terhadap sosok K.H. Idrus yang sering berdebat dengan kaum wahabi?
AGS: Terkait masalah munazharah/debat, dinamika pemikiran beliau (K.H. Idrus) dengan orang-orang demikian tentu beliau sendiri yang lebih paham. Tapi, pada dasarnya gambaran kita mengunjungi Minangkabau tentunya hanya dengan niat silaturahmi serta dialog dengan jamaah yang hadir. Kalau masalah seperti munazharah tadi, tentu K.H. Idrus pasti paham dan mengerti. Bagaimanapun beliau orang yang memilki ilmu dan paham akan pengamalannya. Urusan seperti ini, yakni debat panas dan berjilid-jilid, sebenarnya bersifat temporal, seperti halnya politik. Semua masalah itu akan selesai cukup dengan duduk bersama sambil meminum kopi. Hehehe.
R: Mengapa harus ke Minangkabau, ada apa di Minangkabau sehingga relevan untuk dikunjungi?
AGS: Ada 3 alasan. Pertama, Minangkabau mempunyai tradisi keilmuan Islam dan Aswaja yang kuat. Dari abad 16 dan 17 Minangkabau sudah memilki tradisi keilmuan Islamnya sendiri. Seperti kami dulu pergi ke Sulawesi, ternyata salah satu yang membawa Islam adalah orang Minangkabau yang bergelar Datuak Ribandang namanya aslinya Abdul Makmur Khatib Tunggal. Artinya sejarah mengatakan bahwa Minangkabau dan nusantara sudah kosmopolit dari dulu.
Kedua, Minangkabau banyak melahirkan ulama-ulama besar yang kaya akan ilmu. Seperti Syekh Burhanuddin, Syekh Ismail al-Khalidi, dan yang paling masyhur Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi. Hal seperti ini tidak boleh dilupakan, kita sebagai generasi penerus jangan sampai meninggalkan warisan intelektual seperti karya-karya kitab dan amaliyah-amaliyah peninggalan mereka.
Lalu yang ketiga, bukan hanya sosok ulama-ulama besar seperti di atas saja yang dijadikan contoh. Tapi, banyak dari ulama dari Minangkabau pandai menulis. Nah, kita ingin tulisan serta karya-karya ulama-ulama yang berbasis di pedalaman Minangkabau dahulunya itu juga bisa dinikmati dan dibaca secara luas. Bahwa orang-orang luar Minangkabau seperti orang Jawa harus juga mengenal karya-karya dan tulisan ulama-ulama Minangkabau.
R: Menurut K.H. Ginanjar apa akibatnya jika warisan khazanah peninggalan ulama-ulama itu tidak dirawat/ditinggalkan?
Pertama, kita akan menjadi generasi yang tidak memilki identitas dan jati diri. Kedua, kita menjadi generasi yang tidak mempunyai fondasi beragama. Sebagaimana pohon, walau tumbuh besar dan tinggi jika akar tidak kuat, ia akan roboh dan mudah digoyang-goyangkan angin. Warisan dari ulama-ulama kita terdahulu itu adalah ibarat akar pohon tadi. Harus dijaga, kalau kita tidak ingin roboh oleh angin.
Terakhir, K.H. Ginanjar memberikan nasihat untuk anak siak saat ini yang bertebaran pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan madrasah serta surau-surau di Minangkabau. “Guru-guru kita, para ulama, sudah menjadi teladan bagi kehidupan. Menjadi bahan-bahan rujukan dalam keilmuan Islam. Mudah-mudahan kita bisa berusaha menjadi sosok. Semoga sosok seperti mereka bisa terlahir kembali di tanah Nusantara ini. Bagaimanapun mereka adalah cerminan kita“.[]
Baca Juga: Tarbiyah Islamiyah, Otak Minangkabau, dan Buya Syafi’i Ma’arif
Baca Juga: Ranah Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau
Leave a Review