Ahli Naqsyabandi di Pedalaman Minangkabau ini hidup dalam kesederhanaan dan keistiqamahan ilmu yang dipakai. Mereka berupaya tidak menampilkan “kesufiannya” dalam setiap tindak laku zahir, serta berusaha tidak memperlihatkan bentuk kesufiannya kepada khalayak ramai.
Lagi-lagi saya akan berbagi perasaan perihal hidup di kampung, jauh dari keramaian, informasi, dan hal-hal lainnya; hening dan senyap. Yaitu pengalaman bersama dengan mereka yang dikenal tapi tak ingin dikenal, mereka yang diketahui namun tidak mau memperkenalkan diri, mereka yang hidup beralas sajadah, ditemani bebunyian gemericik air, dan dihiasi oleh hijaunya sesawahan dan selimut perbukitan; apapun yang berdetak, pasti bunyi detak itu ialah kulimah Allah, Allah.
Saya sudah cukup banyak bergaul dengan ahli tarekat dan memperhatikan kehidupan mereka, baik di darek maupun di rantau. Namun saya mempunyai kedekatan yang begitu sangat dengan ahli Naqsyabandi, entah karena kecenderungan perasaan sebab kampung saya adalah salah satu pusat ilmu Naqsyabandi, atau karena keluarga saya mempunyai hubungan erat dengan Naqsyabandi, ataukah karena kenyataan bahwa Naqsyabandi adalah amalan ulama-ulama Minangkabau sejak Islam mengakar kuat di ranah ini. Jelasnya, Naqsyabandi sangat mengakar dalam hati saya. Itu pulalah yang menyebabkan saya memakai Naqsyabandi, dan saya perkokoh betul supaya ia menjadi pakaian zahir dan batin sampai ajal menjelang.
Baca Juga: Bertarekat, Perlukah?
Hal yang menjadi penarik hati saya ialah seputar kesederhanaan hidup dan keistiqamahan ilmu yang dipakai oleh orang-orang Naqsyabandi di kampung saya. Mungkin kita mengenal adanya sufisme perkotaan, yang berupaya menampilkan “sufi” dalam setiap tindak laku zahir, serta berusaha memperlihatkan bentuk kesufian kepada khalayak ramai. Berbeda dengan hal itu, Naqsyabandi di kampung saya hidup dengan kesederhanaan yang sangat, begitu meresap ke setiap lini kehidupan tanpa tampak di permukaan. Mereka tidak memperlihatkan diri dengan serban dan jubah, putih maupun hijau. Bahkan bila mereka duduk di atas surau, tidak terbedakan mana yang guru dan murid, namun adab tetap kokoh terpasang. Sang guru tidak ingin ia dipuji, dijunjung, dan ditandu ke mana pun; mereka seperti orang biasa saja meski masyarakat sangat menghormati. Mereka ke sawah ke ladang, atau menunggui surau kayu jauh di pedalaman dan ditempat yang sepi, dalam keadaan bersiap diri dengan seduan teh dan kopi bila ada yang hendak berkunjung. Apa yang saya lihat dari beberapa syekh yang saya temui, mereka sangat pendiam sekali, tidak banyak berbicara, termasuk membicarakan “kaji”. Bila berbicara mereka selalu senyum simpul, berbicara seakan-akan kepada saudara kandung atau anak sendiri. Kata dipilih demikian tepat, sederhana dan mendalam. Tuturnya pun mengalir perlahan, seolah-olah hendak menyesuaikan irama dengan bunyi pencuran di seberang surau.
Hidup jauh dari keramaian, itulah yang mereka pilih. Sebab jauh di pedalaman mengandung hikmah kesunyian dan ketenangan, supaya hidup zikir itu. Pemandangan sekeliling juga menyejukkan mata batin.
***
Pagi itu saya bermaksud mengunjungi salah seorang ulama Naqsyabandi tertua di kampung saya. Nun jauh di pedalaman. Niat hati ingin bertamu, namun disuguhkan dengan sesuatu hal yang menarik mata dan hati. Sepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan yang begitu enak dipandang. Hamparan bukit hijau dengan pinus. Sesawahan yang menguning. Ladang limau. Hening dan senyap. Yang tampak hanya beberapa rumah gadang dengan ukiran beraneka ragam.
Surau Tuan Syekh itu berada di atas bukit dengan hamparan sawah yang luas sejauh mata memandang. Seperti benteng alam, surau itu dikelilingi bukit-bukit hijau. Sampai di surau, letih dan penat sudah terobati dengan sendirinya. Di belakang surau terdapat ruangan dimana Tuan Syekh duduk bersama beberapa tetamu. Sedang jendela ruangan itu menghadap ke arah pemandangan yang begitu indah, bukit dan sawah menghampar. Tuan Syekh menyambut dengan senyum. Adalah Tuan Syekh itu sudah sangat sepuh sekali, namun air wajahnya masih menyisakan rona gagah masa muda. Ia masih terlihat sehat dan kokoh. Ketika itu ia sudah berusia 95 tahun.
Saya masuk ruangan itu sambil mengucapkan salam. Tuan Syekh menyambut dengan gembira dan riang, seolah-olah tetamu tadi ialah orang yang ditunggu lama. Saya sambut tangannya, saya cium, kemudian saya peluk sosok sepuh itu dengan haru. Setelah itu kami berbicara cukup lama, dan beliau tidak henti-hentinya tersenyum.
Beliau bertutur dengan lembut berbagai hal, mulai dari PERTI, surau, silek, hingga Naqsyabandiyah. Beliau sendiri ialah murid langsung Syekh Sulaiman Arrasuli Candung (w. 1970) dan Syekh Mukhtar Engku Tanjuang Belubus. Dengan rendah hati beliau mengatakan “kaji lah banyak nan indak ba baco”, ciri khas Naqsyabandi. Beliau begitu tawadhu’ mengatakan diri sudah begitu “tua”, namun beliau sangat fasih sekali melantunkan bait-bait Alfiyah. Tetamu tadi sudah seperti anak sendiri, diperlakukan sedemikian rupa, sampai-sampai tetamu itu berat kakinya beranjak pulang.
Banyak hal yang dituturkan, namun pertemuan mesti disudahi sebab sebuah keperluan. Saya memohon pamit pulang. Beliaupun melepas dengan senyuman yang merekah sambil berucap, “Kan lai indak ka sakali iko ka siko”, dengan logat mudiak yang kental dan mendayu. Saya bersiap keluar, namun beliau menahan. “Iko untuak pamboli minyak.” Mencengangkan, beliau mengulurkan beberapa lembar uang puluhan ribu, alangkah mengejutkan. Saya mencoba menolak, sebagaimana bentuk basa basi, sebab sayalah yang mesti bersedekah. Namun beliau tetap menyuguhkan dengan mata berbinar. Padahal hati gembira, sebab apa? Pemberian guru adalah anugerah. Pemberian guru tidak boleh ditolak. Begitu adab mengajarkan.
Pertemuan pagi itu sungguh berkesan dalam. Tutur kata, nasihat, dan rupa wajah beliau terbayang-bayang hingga kini.
Baca Juga: Ijazah dan Surat Ijazah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah
****
Tidak semua dapat diceritakan. Tidak semua dapat dikabarkan. Penapun terasa tak kuasa menulis apa-apa yang terasa. Apapun itu, saya kembali mengutip kata-kata yang pernah diucapkan pada tahun lalu, “Negeri kami bukanlah lagi negeri yang dihuni oleh orang-orang yang pintar membaca Tuhfah dan Nihayah. Bukan pula dihuni oleh mereka berserban besar dan berjubah besar, sebagaimana dulu di kala ulama-ulama “rasikhin” mengisi negeri ini. Negeri kami, saat ini, diisi oleh mereka yang tidak mau dikenal, tidak ingin memperkenalkan diri; yaitu mereka yang “menggenggam” hati. Pada hati ini berbunyi suatu yang halus, dan sangat halus, yaitu kalimah ALLAH. Kalimah itu “tersurat” pada air wajahnya.”
Ditulis di Padangjopang,
24 Shafar 1439/13 November 2017
ahli Naqsyabandi ahli Naqsyabandi ahli Naqsyabandi
Mohon Buya, telusuri tareqat NAQSABANDI qubah tanah dingin buayan Lubuak aluang, syekh yusuf
Sangat menyentuh .hati