Untuk tetap dapat mengikuti pilkada serentak, parpol yang tengah berkonflik bukannya serius menggarap proposal islah, melainkan justru menempuh berbagai manuver guna menekan KPU agar mengakomodir keikutsertaannya. Manuver dimaksud tidak hanya sekedar menebar wacana penundaan pilkada, melainkan juga melahirkan konsensus keikutsertaan parpol berkonflik dalam pilkada. Agenda yang disebut terakhir dilakukan melalui rapat konsultasi antara pimpinan DPR, fraksi, dan Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu dan Kemendagri beberapa hari lalu.
Dalam rapat tersebut disepakati, parpol yang tengah terbelah dua dapat mengikuti pilkada dengan syarat pasangan calon yang diusung mesti diajukan secara bersama oleh pengurus ganda dalam dokumen pencalonan terpisah kepada KPU (Kompas, 10/7). Hasil kesepakatan dimaksud direkomendasikan untuk diintroduksi ke dalam Peraturan KPU terkait pencalonan.
Sekilas, konsensus tersebut tampak akan jadi penawar bagi panasnya suasana politik menjelang tahapan pencalonan Pilkada serentak 2015. Akan tetapi, jika diamati lebih jauh, kesepakatan dimaksud justru akan menjadi bom waktu yang dapat meledakkan tatanan hukum penyelenggaraan pilkada. Sebab, kesepakatan yang ada nyata-nyata telah menabrak limitasi pencalonan yang secara tegas ditentukan undang-undang.
Tiga Catatan
Setidaknya, tiga catatan hukum berikut merupakan fakta yang dapat memberi terang betapa kesepakatan yang dibangun sama sekali tidak boleh diacu dalam proses pencalonan. Pertama, norma utama yang mengharuskan pencalonan diajukan oleh pengurus partai politik yang disahkan Menteri Hukum dan HAM bukanlah Peraturan KPU, melainkan UU Pilkada dan UU Partai Politik. Peraturan KPU hanya peraturan pelaksana UU. Dalam konteks itu, sesuai Pasal 42 UU No 8/2015, pengajuan pasangan calon kepala daerah dilakukan oleh partai politik, yaitu partai politik sebagaimana diatur dalam UU No 2/2008.
Sesuai Pasal 23 UU Parpol, subjek yang dapat bertindak secara sah mengatasnamakan parpol adalah kepengurusan yang telah disahkan atau ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Atas dasar ketentuan itulah KPU kemudian mengatur, pengajuan calon kepala daerah-wakil kepala daerah mesti dilakukan oleh kepengurusan yang disahkan Menkumham. Dengan demikian, sekalipun konsensus yang terbangun mengharuskan KPU mengubah peraturan yang ada, namun KPU terikat untuk tidak mengubah peraturannya secara menyimpang dari apa yang secara tegas diatur UU Pilkada maupun UU Partai Politik.
Kedua, perubahan terhadap norma undang-undang memiliki mekanisme baku, sehingga tidak dapat diubah sekenanya, apalagi sekedar suatu kesepakatan dalam sebuah forum yang tidak memiliki mandat mengubah undang-undang. Bagaimanapun, konsensus yang dibangun pemerintah dan DPR terkait mekanisme pencalonan kepala daerah bukanlah produk hukum yang dapat mengenyampingkan undang-undang. Sehingga, ia pun tidak dapat dijadikan dasar mengubah mekanisme dan persyaratan pencalonan kepala daerah. Jika tetap hendak melakukan perubahan, harus dilakukan melalui perubahan UU.
Ketiga, salah satu syarat sahnya suatu kesepakatan adalah tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang berlaku merupakan payung bagi perumusan dan kesahihan sebuah kesepakatan. Kesepakatan tidak boleh dibangun diluar apa yang diatur UU. Dalam hal ini, validitas kesepakatan tidak hanya bergantung pada kehendak bersama para pihak, melainkan juga menuntut kesesuainnya dengan norma hukum yang ada.
Tiga catatan di atas akan berdampak hukum terhadap batalnya konsensus demi hukum. Konsekuensinya, kesepakatan dimaksud tidak sah untuk dijadikan dasar bertindak oleh KPU dalam melaksanakan tahapan pencalonan.
Tuntutan Hukum
Sekalipun konsensus dinilai sebagai jalan tengah, namun jika ia ditindaklanjuti dengan mengubah peraturan KPU, KPU tidak saja akan dituduh tunduk pada intervensi kekuatan politik, melainkan juga akan rawan menghadapi tuntutan hukum di kemudian hari. Dengan menerima pendaftaran satu pasangan calon dari dua kepengurusan berbeda, sama artinya KPU melaksanakan tahapan pilkada tanpa kepastian hukum sebagai salah satu asas penyelenggara pemilu.
Pada saat yang sama, Pasal 43 ayat (4) dan ayat (5) UU No 8/2015 secara limitatif menentukan, pendaftaran kepala daerah-wakil kepala daerah ditandatangani oleh ketua dan sekretaris parpol tingkat propinsi atau kabupaten/kota disertai keputusan pengurus parpol tingkat pusat terkait persetujuan pencalonan. Ketentuan tersebut sama sekali tidak memberi ruang adanya pengajuan calon oleh dua kepengurusan berbeda ataupun persetujuan pencalonan dari dua kepengurusan pusat partai politik tingkat pusat yang berbeda. Dengan demikian, menerapkan mekanisme pengajuan calon oleh dua kepengurusan berbeda dapat dikualifikasi sebagai pembangkangan terhadap norma UU Pilkada.
Berpedoman pada keharusan KPU menerapkan prinsip kepastian hukum serta kepatuhan KPU pada norma UU Pilkada, maka pelanggaran atas keduanya akan menjadi senjata yang suatu saat dapat menyerang balik KPU. Dengan begitu, menabrak keduanya demi menindaklanjuti konsensus yang inkonstitusional sama artinya KPU menggali kuburnya sendiri.
Oleh karena itu, sebagai komisi negara yang mandiri, tidak selayaknya KPU tunduk pada konsensus semacam itu. Memilih bertahan pada Peraturan KPU yang tidak bertentangan dengan UU jauh lebih baik dibanding tunduk pada praktik penyerobotan hukum oleh arogansi partai politik. Sikap demikian setidaknya juga akan dapat menyelamatkan pilkada dari bahaya konsensus akal-akalan pencalonan kepala daerah-wakil kepala daerah [.]
Leave a Review