scentivaid mycapturer thelightindonesia

Al-Madzhab; Kitab yang Merekam Perdebatan “Kaum Tua” Vis a Vis “Kaum Muda” di Nusantara di Awal Abad ke-20 M

Al-Madzhab Karya Syekh ‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Muthalib al-Mandailî
Ilustrasi/Dok. http://allangkati.blogspot.com/2010/09/syeikh-abdul-qadir-bin-tolib.html

Kitab berjudul “al-Madzhab atau Tiada Haram Bermadzhab” karangan Syekh ‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Muthalib al-Mandailî (w. 1385 H/ 1965 M), seorang ulama besar hadis dunia Islam asal Mandailing (Sumatra) yang juga pengajar di Masjid al-Haram, Mekah.

Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama filenya adalah image-3.png
Al-Madzhab atau Tiada Haram Bermadzhab” Karya Syekh ‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Muthalib al-Mandailî

Kitab ini ditulis di Mekah dalam bahasa Melayu beraksara Arab (Jawi/ Pegon), dengan titimangsa 19 Rajab 1378 H (29 Januari 1959 M), dan diterbitkan di Kairo oleh Mathba’ah al-Anwâr dua bulan kemudian (Ramadhân 1479 H/ Maret 1959 M). Kitab ini dikoreksi terlebih dahulu dan di-taqrîzh (endorsement) oleh Syekh Mahmûd Yûnus, ulama-intelektual Nusantara asal Semenanjung (Malaysia) yang berkarier di Al-Azhar Kairo pada masa itu.

Kitab ini dikarang untuk merespons isu “tidak wajibnya bermadzhab atau mengikuti madzhab tertentu” yang saat itu mengemuka di dunia Islam.

Baca Juga: “Ahli Ilmu”; Orang Nusantara di Makkah dalam Catatan Sejarawan Arab di Akhir Abad ke-19 M M

Isu “tidak wajibnya bermadzhab” mulai menyeruak dalam belantika pemikiran dunia Islam di awal abad ke-19 M, yang saat itu digaungkan oleh kalangan puritan (muncul di Nejd dan dipelopori oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb, pendiri sekte Wahhabiyyah atau Lâ Madzhabiyyah), juga oleh kalangan pembaharu (muncul di Mesir dan dipelopori oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha). Kemunculan isu tersebut membuat atmosfir pemikiran dunia Islam menjadi hangat, bahkan panas. Perdebatan antar kedua kelompok pun tak bisa dielakkan.Isu tersebut pada akhirnya sampai juga ke Nusantara. Kelompok yang menyokong pandangan ini disebut juga dengan “kaum muda” yang minoritas, sementara kelompok tradisionalis yang mayoritas disebut dengan “kaum tua”. Di Nusantara, para penyokong arus “kaum muda” ini diwakili oleh beberapa tokoh seperti Ahmad Surkati Sudan-Batavia (pendiri Al-Irsyad), Ahmad Hassan Singapura-Bandung (pendiri PERSIS), Ahmad Dahlan Yogyakarta (pendiri Muhammadiyyah), dan lain-lain.

Ahmad Hassan PERSIS pernah menulis buku berjudul “Halalkah Bermadzhab” (al-Madzhab, Wajibkah atau Haramkan Bermazhab?). Saya belum menelaah isi buku tersebut. Namun, Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Mandailî mengarang kitab “al-Madzhab Atau Tiada Haram Bermadzhab” ini untuk merespons buku yang sebelumnya ditulis oleh Ahmad Hassan PERSIS tersebut. Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Mandailî sendiri mewakili kelompok tradisionalis atau “kaum tua”.

Tertulis dalam halaman pengantar (muqaddimah) kitab tersebut;

“Amma ba’du, maka ini sebuah kitab yang kecil, yang mengandung ia akan hukum bermazhab dan taqlid, hamba susunkan dia karana permintaan tuan guru Haji Hasan Ahmad Fathoni, yang memberi ia akan hamba akan sebuah risalah (al-Madzhab, Wajibkah atau Haramkan Bermazhab?) yang terbangsa kepada al-Fadil Tuan Hasan Ahmad Bandung, dan menyuruh ia akan hamba dengan menerangkan barang yang di dalamnya daripada segala yang menyalah. Maka karana tiada dapat hamba menyalahi permintaan itu terpaksalah hamba menyusun akan ini risalah, sekalipun hamba tiada ada ahli bagi yang demikian itu. Dan hamba namakan dia dengan (al-Madzhab) atau tiada haram bermadzhab, mudah-mudahan menjadikan dia oleh Allah Ta’ala ikhlash, serta memberi manfaat ia bagi hamba sendiri dan bagi sekalian saudara yang beragama Islam, innahu ‘ala kulli sya’in qadiir”.

Penyusun ‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Muthollib al-Indûnîsî al-Mandaili (Pelayan para penuntut ilmu di al-Haram Mekah). Mekah al-Mukarromah pada 19 Rajab tahun 1378 H.

Baca Juga: Polemik Hukum Jilbab Oleh-komunitas Nusantara di Makah Tahun 1341 H/ 1922 M

*****

Kitab “al-Madzhab Atau Tiada Haram Bermadzhab” terdiri dari 58 halaman, memuat empat (4) bab utama dengan delapan belas (18) pasal kajian. Al-Mandailî mengupas panjang lebar tentang argument-argumen kebolehan bermadzhab dan bahkan diharuskannya bagi mereka yang awam.

Syekh ‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Muthallib al-Mandîlî al-Jâwî (1904-1965 M) tercatat sebagai seorang ulama besar fikih dan hadis yang berkarier dan berkiprah di Mekah al-Mukarramah asal Nusantara, tepatnya dari Mandailing, Sumatera Utara. Nisbat “al-Mandailî” di belakang nama pengarang merujuk pada daerah asalnya; Mandailing.

Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Mandailî lahir pada tahun 1322 H (1904 M). Saat usianya menanjak remaja, ia pun pergi haji ke Mekah dan bermukim di sana untuk menuntut ilmu—hingga tak pulang kampung dan negeri lagi.

Di Mekah, ia belajar di al-Madrasah al-Shaulatiyyah dan Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyyah, satu generasi dengan ulama-ulama besar Nusantara lainnya seperti Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), Syekh Abdullah Azhari (Palembang), Syekh Muhammad Manshur al-Batawi (Betawi, buyut KH. Yusuf Manshur), Syekh Sa’id al-Banjari (Banjar, cicit Syekh Arsyad Banjar), Syekh Ali Abdul Hamid Quds (Semarang), Syekh Abdul Hamid al-Khatib (Mekah, putra Syekh Ahmad Khatib Minang), Syekh Abdul Karim Amrullah (Padang), dan lain sebagainya.

Para ulama di atas belajar dan mengambil sanad dari Syekh Sayyid Bakrî Syathâ (pengarang Hâsyiah I’ânah al-Thâlibin), Syekh ‘Abd al-Karîm al-Dagestânî, Syekh ‘Umar Hamdân al-Mahrasî (ulama besar hadis), Syekh Sa’îd Bâ Bashîl (mufti madzhab Syâfi’i), Syekh ‘Abbâs al-Makkî (qadhi Mekah dan kakek Syekh Muhammad Alawi al-Mâlikî), dan lain sebagainya.

Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Mandailî kemudian mendapatkan lisensi untuk mengajar di Masjid al-Haram dan beberapa institusi pendidikan lainnya di Mekah. Ia dikenal sebagai pakar ilmu fikih dan hadis. Ia juga produktif mengarang kitab, tercatat lebih dari 7 buah kitab, dan yang terpenting adalah kitab “al-Khazâin al-Saniyyah min Masyâhir al-Kutub al-Fiqhiyyah li Aimmatinâ al-Fuqahâ al-Syâfi’iyyah” ini.

*****

Yang menarik lagi di luar itu semua adalah, meski sejatinya kitab “al-Madzhab Atau Tiada Haram Bermadzhab” ini dikarang untuk merespons buku yang “berseberangan”, namun iklim dialog dan dialektika dalam kitab ini hadir dengan sangat santun dan baik.

Al-Mandailî menyanggah pemikiran Ahmad Hassan PERSIS yang berbeda dengannya dengan sangat ilmiah, “muhajjajah”, juga dengan penuh etika luhur dan akhlakul karimah. Al-Mandailî menulis kitab ini dengan penuh penghayatan atas “adab al-munâzharah” (etika berdebat) yang baik.

Inilah sejatinya salah satu aspek lain warisan ulama Nusantara kita yang luar biasa; “adab”! Warisan inilah yang sudah seharusnya dijaga dan dipegang teguh oleh para generasi penerusnya kini.[]

Jakarta, Oktober 2016

*Tulisan Ini pernah dimuat di halam facebook penulis

Ahmad Ginanjar Sya'ban
Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta