scentivaid mycapturer thelightindonesia

Angku Tabiang dan Mati Makrifat

Minangkabau memang negeri para ulama sufi. Hampir seluruh penjuru negeri Rumah Gadang ini diisi oleh ulama-ulama sufi yang istiqamah menjalankan tradisi bertarekat. Salah satu di antaranya adalah Angku Tabiang. Nama dan kiprahnya begitu jarang disebut-sebut dalam lintasan sejarah ulama Minangkabau, tapi di kalangan jamaah tarekat di Minangkabau, kealiman dan kesufiannya sudah bukan lagi jadi cerita langka.

Nama aslinya adalah Boyok. Biasa disebut oleh masyarakat sekitar makamnya dengan Angku Nan Batampaik di Tabiang (Ulama yang bermakam di Tabiang), atau Angku Tabiang. Begitu tak lazimnya menyebut nama asli seorang ulama bagi masyarakat Minangkabau. Beliau diperkirakan hidup di rentang abad ke-17 sampai 18 M. Beliau adalah seorang pengamal dan mursyid tarekat Syattariyah. Sayang sekali tidak ada catatan sejarah terkait waktu hidup dan waktu kiprahnya. Pun tidak ada catatan lengkap terkait jaringan guru dan murid Angku Tabiang. Tapi yang jelas, menurut sejarah oral masyarakat, Angku Tabiang adalah murid dari Angku Santua yang maqamnya tak jauh dari Angku Tabiang.

Objek ziarah Angku Tabiang yang ditepati banyak orang hari ini adalah sebuah gobah (maqam) yang berada di Jorong Pintu Rayo, Nagari Aripan, Kec. X Koto Singkarang, Kabupaten Solok. Sebuah desa wisata yang indah di daratan tinggi Sumatera Barat. Berjarak kurang lebih 80 Km dari pusat Kota Padang. Gobah Angku Tabiang diyakini sebagai tempat keramat, tempat banyak masyarakat bertawassul untuk berdoa agar hajatnya dikabulkan Allah. Gobah Angku Tabiang berbeda dengan lazimnya objek ziarah ulama. Biasanya, objek ziarah ulama adalah tempat di mana Sang Ulama dikuburkan saat meninggal dunia. Namun hal itu berbeda dengan Angku Tabiang.

Jasad Angku Tabiang tidak pernah dikuburkan di manapun. Beliau dinyatakan meninggal dunia saat jasadnya sudah dinyatakan menghilang dari permukaan bumi. Hilangnya jasad Angku Tabiang bukan musabab suatu kejadian yang tidak diinginkan, namun jasadnya menghilang atas kehendak dan usahanya sendiri. Terdengar aneh, namun ini lazim terjadi bagi para ulama sufi.

Pada suatu waktu di masa hidupnya, beliau meminta murid dan koleganya untuk menggalikan lubang lebar sedalam kurang lebih 12 anak tangga. Lubang itu beliau jadikan sebagai tempat berkhalwat (menyendiri) untuk beribadah kepada Allah Swt. Setiap sebelum masuk lubang beliau menggantungkan satu ujung tali ke sebuah pohon sikaduduak (Senggani/Senduduk) yang tak jauh dari permukaan lubang, sedangkan ujungnya yang lain beliau bawa ke dalam lubang untuk diikatkan ke biji tasbihnya. Sesaat sebelum masuk lubang, beliau berpesan kepada koleganya untuk memperhatikan pohon Sikaduduak ini barang seminggu sekali selama beliau di dalam. “Jika pohon itu sudah tidak bergerak lagi, itu artinya burung sudah tak lagi di sangkarnya” begitu pesan beliau. Sebuah lafaz filosofis dari; jika pohon itu sudah tak bergerak lagi, artinya Saya sudah tidak lagi berzikir di dalamnya, atau Saya sudah meninggal dunia. Dan hal itu pun terjadi. Angku Tabiang dinyatakan oleh koleganya telah meninggal dunia saat jasad beliau sudah menghilang bersamaan dengan zikirnya.

Dalam nomenklatur jamaah tarekat, hilang seperti itu biasa disebut “Mati Makrifat”. Sebagai antitesis dari klausul “Mati Jasad” yang jamak terjadi. Mati jasad adalah berpulangnya ruh ke sisi Allah, sedangkan jasad tetap di dunia sehingga harus dikuburkan dalam tanah. Adapun Mati Makrifat adalah berpulangnya ruh sekaligus dengan jasadnya ke sisi Allah sehingga tak ada lagi tubuh yang akan dikuburkan ke dalam tanah. Hal seperti ini juga terjadi pada beberapa ulama lain seperti Syekh Burhanuddin Ulakan.

Bagi pengamal tarekat Syattariyah, Mati Makrifat adalah aktualisasi dari zikir لا اله الا الله أفني بها عمري (Tiada tuhan selain Allah, yang melenyapkan umurku dalam kalimatNya). Kalimat itu tidak hanya sebagai zikir yang terlafalkan oleh lidah. Lebih dari itu, prosesinya melibatkan cara penghayatan dari sebuah makna yang jauh lebih dalam dan esoteris dari sekedar makna harfiyahnya saja. Yakni penghayatan makna yang terdapat dalam doktrin ajaran tarekat Syattariyah. Saya tidak punya cukup ilmu dan keberanian untuk menuliskan hal tersebut. Namun ada logika sederhana yang pernah dijelaskan, bahwa Mati Makrifat itu terjadi, karena Allah tidak hanya ingin menerima ruh si manusia ini saja, lebih dari itu, Allah juga ingin jasad orang nan bersih dan suci ini juga berada di sisiNya.

Secara terjemah harfiyah dari lafal zikir di atas, tampak di sana memang sudah menyiratkan pemahaman bahwa setelah meyakini Allah adalah satu-satunya zat yang layak dipertuhan, maka sudah seharusnya tak ada lagi dari urusan dunia yang terbalut umur ini yang akan jadi penghalang untuk mengenal Tuhan. Artinya, mau mati pun saat itu juga, tak akan jadi masalah. Karena kematian adalah satu-satunya cara agar semakin dekat kepada mengenal Allah.

“Dipertuhan” di sini maksudnya bukan hanya dijadikan Tuhan yang disembah, tapi lebih luas kepada “dibutuhkan”. Coba ingat, betapa banyak kita membutuhkan hal-hal yang menurut kita akan mencukupi kehidupan kita, padahal seperti yang sama-sama kita ketahui bahwa Allah lah yang Maha Mencukupi. Dalam artian radikal, kita telah mempertuhan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, untuk melenyapkan sikap mempertuhan yang selain Allah ini, dibutuhkan zikir kalimat tahlil tersebut. Kalimat yang bagian pertamanya menegasikan tuhan-tuhan selain Allah, dan bagian keduanya memantapkan bahwa yang layak dipertuhan hanyalah Allah. Lalu kalau sudah seperti itu, maka umur yang notabene merupakan bungkus dari kehidupan dunia ini pun akan bisa dilenyapkan. Dan bagi ulama tarekat seperti Angku Tabiang, bahkan sampai ke jasad-jasadnya pun juga akan lenyap bersama dengan zikir tersebut. Domain tasawuf yang menegasikan selain Allah ini banyak dijumpai dalam ajarannya Ibnu Arabi.

Jika Angku Tabiang dan ulama tarekat lainnya telah mendapatkan Mati Makrifat, dan orang-orang umumnya juga telah mendapatkan Mati Jasad, maka biarkan lah Saya saat ini mendapatkan Mati Mengingat. Mengingat mantan yang telah minggat.

Shafwatul Bary
Alumni PP Nurul Yaqin Ringan-ringan