Tanpa disadari perilaku [sebagian] elit Pengurus Besar Tarbiyah Islamiyah yang suka membenarkan perilaku berpolitik, sembari berlindung dibalik tafsir atas khittah, adalah perilaku yang driven atau lahir dari semangat kebinatangan (animal spirit).
Khittah diartikan sebagai sebuah jalan lurus atau a straight line.[1] Makna sederhana itu menandaskan bahwa munculnya khittah didasarkan pada fakta-fakta sosio-politik. Khittah tak begitu saja muncul tanpa ada faktor-faktor sosial dan politik yang mendorongnya. Dihubungkan dengan khittah Tarbiyah Islamiyah, maka dapat ditarik satu benang merah bahwa khittah yang dikeluarkan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasully pada tanggal 1 Maret 1969 seutuhnya adalah respon terhadap perilaku elit Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang lebih ‘gemar’ berpolitik dan melupakan misi utama Tarbiyah Islamiyah, yakni pendidikan, dakwah dan sosial serta gemar bertengkar. Bagaimana asumsi tersebut dirasionalisasikan?
Menenggok kembali ke masa silam, masa dimana Tarbiyah Islamiyah didirikan adalah keniscayaan untuk menjelaskan bahwa khittah Tarbiyah Islamiyah adalah bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Namun penerapan dan interpretasi terhadapnya mengalami pasang-surut—menyimpang dan bahkan melanggar dengan sangat terang-terangan. Hal itu ditandai dengan perilaku elit Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang gemar mencari dukungan finansial dengan cara menjual ‘nama’; kekuatan; dan massa jamaah Tarbiyah Islamiyah. Membawa-bawa tokoh politik dan gemar melakukan dukung-mendukung atas satu partai politik adalah perilaku elit Persatuan Tarbiyah Islamiyah pasca-khittah 1969.
Melampaui kenyataan di atas, secara historis kelahiran Tarbiyah Islamiyah didorong oleh keinginan Kaum Tuo untuk membentengi mazhab Syafi’iyah di wilayah Barat Indonesia dengan komitmen yang kuat pada i’tikad ahlussunnah wal jama’ah.[2] Tentu saja misi tersebut berkembang mengikuti dinamika zaman, hingga akhirnya Tarbiyah Islamiyah menjadi satu organisasi yang bergerak pada bidang pendidikan, sosial dan dakwah. Organisasi ini sesungguhnya diinspirasi dari sistem pendidikan surau tradisional yang dijalankan oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuly pada tahun 1907. Kemudian diikuti oleh surau-surau tradisional yang diasuh oleh Syekh Ahmad Baruh Gunung (50 Koto), Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Wahid Shalihi Tabek Gadang, Syekh Muhammad Arifin Batu Hampar, Syekh Alwi Koto Nan Ampek, Syekh Jalaluddin Sicincin, Syekh Abdul Majid Koto Nan Gadang, dan Syekh HMS Sulaiman Bukittinggi menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah.[3]
Merespon kecenderungan itu, Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas mengemukakan gagasan tentang perlunya ulama Syafi’iyah Minangkabau menyatukan langkah dalam satu forum yang dapat menjalin kebersamaan dalam mengelola sekolah masing-masing dan menyepakati kesamaan kurikulum dan kitab-kitab yang digunakan dalam berbagai keilmuan Islam. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1930, Syekh Sulaiman Ar-Rasuly menggagas pertemuan ulama-ulama syafi’iyah Minangkabau. Hasil dari pertemuan itu kemudian disepakati untuk mendirikan satu organisasi sosial kemasyarakatan dan pendidikan yang kemudian diberi nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (saat itu disingkat dengan PTI).[4] Seiring waktu, organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah semangkin eksis. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kian menguatnya basis-basis massa Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang berada pada madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah yang tersebar di berbagai daerah, bahkan berkembang ke luar pulau Sumatera seperti Jawa; Kalimantan; Sulawesi hingga Malaysia.
Baca Juga: 87 Tahun Quo Vadis Tarbiyah Islamiyah
Perkembangan basis-basis Jama’ah Tarbiyah Islamiyah tersebut menyeret Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang kemudian pada kongres ke-2 di Bukittingi disingkat menjadi PERTI, ke dalam “liar-nya” arus politik. Pada bulan Oktober tahun 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X disusul Maklumat tanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta. Maklumat ini berupa anjuran dari Badan Pekerja KNIP untuk mendirikan sebanyak-banyaknya partai dalam rangka menyambut pemilihan umum 1946. Untuk menyambut Maklumat pemerintah ini, maka tokoh-tokoh PERTI berinisiatif untuk menjadikan PERTI sebagai partai politik. Ini diputuskan melalui Kongres Persatuan Tarbiyah Islamiyah tanggal 22 Nopember 1945.[5] PERTI saat itu menjadi salah satu lokomotif, atau gerbong politik Jama’ah Tarbiyah Islamiyah dalam ikut dan berpartisapasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kondisi seperti itu, benturan kepentingan dalam tubuh PERTI tak dapat dihindari. Agaknya semua hal itu bermula dari hasrat untuk memperebutkan kekuasaan. Sehingga kepentingan organisasi takluk di bawah kepentingan pribadi, atau sesuai dengan apa yang diujarkan oleh Anthony Giddens ketika kepentingan takluk oleh hasrat pada saat itu perilaku-perilaku elit menjadi sangat aneh.[6]
Khittah: Sebuah Ranah Interpretasi
Merespon perkembangan PERTI yang semakin penuh chaos, dan mengarah pada disintegrasi, Syekh Sulaiman ar-Rasuly mengambil langkah penyelamatan organisasi ini dengan mengeluarkan dektrit untuk kembali ke khittah 1928 pada 1 Maret 1969. Nama PERTI pun kemudian dikembalikan lagi menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau disingkat dengan Tarbiyah.[7] Saat itu kemudian dektrit kembali ke-khittah yang dikeluarkan oleh Syekh Sulaiman ar-Rasully oleh generasi-generasi selanjutnya menjadi wilayah-wilayah ikhtilafiah, atau menjadi ranah interpretasi.
Setidaknya ada dua kelompok yang muncul dalam memahami khittah Tarbiyah Islamiyah. Pertama, kelompok yang konsisten dengan semangat Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1928, yang sejatinya menjadi tujuan hakiki dari dekrit 1 Maret 1969. Kelompok ini didominasi oleh generasi muda yang tumbuh dan berkembang pada lingkungan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Mereka hanya mengerti bahwa Tarbiyah Islamiyah adalah satu organisasi ideologis yang membentengi mazhab syafi’iyah dan jauh dari praktik-praktik ‘culas’ politik praktis. Kelompok ini memiliki karakter yang suka dan gemar pada gerakan-gerakan kultural, yang fokus untuk melakoni khittah: sebuah garis lurus untuk mengamalkan, mengembangkan pendidikan, bergerak di bidang sosial dan sembari berdakwah.
Kedua, kelompok yang menafsirkan bahwa dektrit 1 Maret 1969 hanyalah himbauan normatif agar Persatuan Tarbiyah Islamiyah tak lagi menjadi partai politik, tetapi bukan berarti tak perlu berpolitik. Kelompok-kelompok ini tumbuh, dan hidup dalam organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah untuk kemudian mereka disebut dengan kelas elit. Mengapa disebut dengan kelas elit? Mengacu pada pemaknaan C. Wright Mills, bahwa elit adalah kelompok yang memiliki posisi yang kuat untuk menentukan arah; kebijakan; dan dua hal itu memiliki konsekuensi yang sangat penting bagi struktur sosial. Dalam hubungannya dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, kata ‘elit’ Persatuan Tarbiyah Islamiyah mengacu pada pemangku organisasi, terutama pada tingkat Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Mereka yang selama ini menentukan arah; rona; dan kebijakan organisasi Tarbiyah.
Elit Tarbiyah Islamiyah, seperti yang dikategorikan di atas, telah terlanjur untuk tidak dikatakan ‘lacur’ memahami bahwa khittah adalah sesuatu yang bukan berarti larangan untuk berpolitik. Maka dalam pemaknaan seperti ini, bagi elit-elit semacam itu bukanlah hal tabu jika kemudian Pengurus Besar Tarbiyah Islamiyah membangun hubungan politik-transaksional dengan tokoh-tokoh politik untuk kemudian dari hubungan itu organisasi mendapatkan keuntungan cash berupa uang tunai atau jabatan politik. Akhirnya Madrasah Tarbiyah Islamiyah bagi elit-elit Tarbiyah Islamiyah hanya dijadikan “komoditas” yang menjanjikan secara politik—suara. Bahkan satu ketika salah seorang elit di Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dalam satu debat virtual, dengan tanpa ragu membuka warna dirinya bahwa bersikap pragmatis-opportunis bukanlah hal yang buruk bagi organisasi. Sikap itu dibutuhkan agar dapat membantu jalannya organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan menyelamatkan dari kematian. Meskipun harus melakukan langkah-langkah pragmatis, dan nir-kehormatan. Beginilah kemudian khittah diartikan, dan akhirnya menjadi hal yang sangat politis. Bagaimana perilaku ini dimaknai?
Jika hanya untuk bertahan hidup, lantas manusia dibolehkan mencuri dan membunuh, lalu apa bedanya manusia dengan ular; harimau; dan binatang lainnya? Pertanyaan semacam itu mengingatkan akan satu buku yang ditulis oleh George A. Akerlof & Robert J. Shiller bahwa spirit kebinatangan tanpa disadari telah menjadi pendorong bertahan, dan tumbuh bahkan runtuhnya satu perekonomian.[8] Mengapa terkadang manusia membutuhkan dan sangat tergantung pada sisi kebinatangannya untuk sekadar bertahan hidup? Kata kunci nya ada pada pola berpikir manusia dan mentalitasnya. Meski banyak ilmuwan tak terlalu sepakat dengan penjelasan itu. Tapi hal tersebut sesungguhnya lebih mungkin dan sangat membantu menjelaskan mengapa kemudian orang atau sekelompok orang lebih suka membelot dari norma; atau khittah. Bahkan mencari dalil bahwa perilaku melanggar itu sangatlah rasional, karena ditopang oleh nalar-nalar instrumental seperti “demi survive”; atau “agar organisasi tidak mati.” Perilaku seperti ini kemudian yang disebut oleh George A. Akerlof & Robert J. Shiller sebagai perilaku dikondisikan oleh animal spirit atau perilaku kebinatangan.
Tanpa disadari perilaku [sebagian] elit Pengurus Besar Tarbiyah
Islamiyah yang suka membenarkan perilaku berpolitik, sembari berlindung dibalik
tafsir atas khittah, adalah perilaku yang driven atau
lahir dari semangat kebinatangan atau animal spirit.
Mengapa dinilai seperti itu, karena perilaku tersebut memuat dua hal yang
sejatinya bergaris lurus dengan semangat kebinatangan, yakni: mencari-cari
argumentasi atas perilaku melanggar khittah absah serta menganggap legimet,
absahnya melanggar khittah demi organisasi. Inilah ironinya khittah yang
dibalut dengan penafsiran-penafsiran yang tendensius serta dibalut oleh
kepentingan politik dan ekonomi. Demikian.[]
Baca Juga: Tarbiyah Islamiyah Kembali pada Khittah
[1] Anzar Abdullah. Nahdatul Ulama and The Khittah Revitalization: A Futuristic Critical Refelection for the Largest Islamic Organization in Indonesia. Tawarikh-International Journal for Historicak Studies, Vol. 2. No. 1: 2011., hlm. 96.
[2] Lihat dalam Irhash A. Shamad. Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat. Retrived from http://www.irhash.com/2009/07/persatuan-tarbiyah-islamiyah-di.html| Pukul 9:21, Tanggal 30 Juni 2015.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Lihat dalam Alex Callinicos. 2004. Making History: Agency, Structure, and Change in Social Theory. (Leiden: Brill)., hlm. 139.
[7] Lihat dalam Irhash A. Shamad. Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat. Retrived from http://www.irhash.com/2009/07/persatuan-tarbiyah-islamiyah-di.html| Pukul 9:21, Tanggal 30 Juni 2015.
[8] George A. Akerlof & Robert J. Shiller. 2009. Animal Spirit: How Human Psychology Drives the Economy, and Why It Matters for Global Capitalism. (New Jersey: Princenton University Press)., hlm. ix.
Leave a Review