scentivaid mycapturer thelightindonesia

Anjing Penjaga Surau

Anjing Penjaga Surau
Judul: Gustii, Ijinkan pendosa ini lelap di hamparan kitab cintamu. Karya: Mohammad Marzuki (Zuk)

Anjing penjaga surau mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk mengambarkan dua ekor anjing sedang tidur bergelung di teras surau yang terlihat itu.


Sebelumnya Baca: Menulis dari Kampung (6): Spritualitas Durian

Oleh: Raudal Tanjung Banua

Sebelum masuk ke sebuah objek wisata alam di Painan, ibukota Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, saya dan istri mencari masjid atau surau. Kami mau menunaikan sembahyang asar dulu, sebelum berendam di sungai. Alhamdulillah, di ujung kampung dekat gerbang wisata itu terdapat sebuah surau kecil.

Tapi sebelum turun kendaraan, dari balik kaca kami lihat dua ekor anjing sedang tidur bergelung di teras, di atas sejuknya keramik surau. Istri saya kaget dan saya mencoba menjelaskan bahwa anjing, sebagaimana hewan peliharaan lain seperti ayam atau kambing, sangat mungkin naik ke tempat ibadah karena keberadaannya bebas berkeliaran di dalam kampung. Toh itu sudah diantisipasi dengan membuat pagar kayu, hanya saja saat itu bagian gerbangnya terbuka. Jadi itu lebih karena kelalaian, jelas saya.

Benar, tetapi ini anjing, bukan ayam atau kambing, katanya, antara paham dan protes. Lebih karena bukan tak memahami penjelasan saya atas apa yang ia lihat secara nyata, reaksinya tampak lebih terbebani oleh sesuatu yang besar di dalam kepala: image atau citra Ranah Minang yang islami. Menyadari kemungkinan itu, sekarang sayalah yang balik memahami reaksinya.

Sungguh pun begitu, saya mesti merumuskan satu landasan yang membuat pemandangan “anjing tidur di surau” itu tidak bikin “gegar budaya”. Sebab bagaimanapun, secara agama situasi itu tak dapat dibenarkan. Tapi kenapa itu bisa terjadi, barangkali dapat dimengerti dari hubungan alamiah orang Minang dengan hewan piaraan. Di sinilah ada titik temu yang diharapkan memunculkan antisipasi yang lebih ketat sebagai tindakan fiqih sehari-hari.

Jamak diketahui bahwa kehidupan beragama (Islam) orang Minang itu amat kuat. Soal halal dan haram, termasuk soal najis, seolah khatam. Dan lewat pencitraan yang terus-menerus, nyaris semasif pencitraan Bali atas pariwisata, image itu menggelembung sehingga seolah tak ada celah yang membuat kita sedikit merenung. Padahal bukankah de facto amat banyak orang Minang gemar memelihara anjing, sejak dulu hingga sekarang? Ada untuk penunggu pondok ladang, penjaga rumah atau kebun, atau untuk kesenangan belaka sehingga jangan heran di kampung-kampung Minangkabau, lazim ditemui anjing berkeliaran sebagaimana di banjar-banjar di Bali atau daerah lain.

Tak kalah heroik dan fenomenal tentu saja kegemaran “urang awak” memelihara anjing pemburu yang digunakan untuk berburu babi hutan. Ini jenis anjing yang disebut “mau” (berani) dengan perawatan tak sembarangan dan tak jarang mendatangkan ironi. Bayangkan, biaya perawatan anjing mengalahkan biaya hidup sehari-hari. Dalam karya sastra dan film berlatar Minang, persoalan ini cukup sering diangkat.

Aktivitas berburu babi sendiri merupakan hal menarik dilihat dari fungsi-fungsi sosial dan kulturalnya. Babi hutan diburu bukan untuk diambil dagingnya, tapi dianggap tindakan memusnahkan hama. Populasi babi yang tinggi di kawasan Bukit Barisan kerap merusak tanaman petani, dan karena itulah harus dibasmi. Maka di Sumatera Barat dan sekitarnya ada organisasi PORBI (Persatuan Olah raga Buru Babi). Di samping membantu petani, aktivitas berburu digolongkan sebagai olah raga. Kapan masa tanding atau laganya? Jadwalnya sudah lengkap di tangan pengurus. Termasuk jadwal buru massal atau gabungan yang mendatangkan seluruh cabang PORBI di Riau, Bengkulu dan Jambi. Seru!

Berdasarkan hal-hal di atas, jelas hubungan orang Minang dengan segala jenis hewan bukan perkara kemarin sore, termasuk dengan hewan yang dinajiskan atau diharamkan. Karena itu pula saya kira, bentuk hubungannya lebih cair, fleksibel jika bukan pragmatis.

Hubungan dengan anjing misalnya, tidak dibuat tegang sekalipun Islam punya larangan terkait potensi najis pada anjing. Salah satunya adalah jilatannya. Namun, Islam juga punya cara menghadapi potensi najis itu, dengan aturan fiqih yang rinci. Islam pun punya kisah-kisah inspiratif yang memuliakan anjing. Misalnya dalam kisah Ashabul Khafi, seekor anjing tinggal belulang karena setia menunggui tuannya, tujuh pemuda beriman yang sembunyi di dalam gua. Juga perihal perempuan lacur masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan dengan sepatunya. Sejalan dengan itu, secara kultural, anjing dengan segala kelebihannya dapat dijadikan sahabat, dan sisi inilah yang diambil untuk pemanfaatan: kesetiaan, kepekaan, kegesitan dan kecerdikannya dapat diolah. Maka jadilah anjing sebagai hewan piaraan favorit, selain kucing dan burung.

Bukankah pula orang Minang punya hewan historis jika bukan mitologis, yakni kerbau yang menang dalam pertarungan menghadapi kerbau dari Majapahit, dan konon di sini asal-usul nama Minangkabau? Ada juga kerbau Sibinuang milik panglima Cindurmato yang berjasa membebaskan Puti Bungsu dari kerkapan Tiang Bungkuk. Meski banyak landasan, bentuk dan motif keseharian Minang diambil dari kerbau, tapi kerbau tidak dilarang dipotong sebagaimana orang Kudus menolak memotong sapi untuk menghormati leluhur mereka dari kalangan Hindu yang menyucikan sapi. Belum lagi petatah-petitih dan pameo yang banyak mengamsal binatang semisal meminta sisik ke limbek, bangau pulang ke kubangan, ayam bertelur satu bikin heboh satu kampung, itik naik ke surau atau berbisik ke telinga kerbau, dua yang terakhir ini pernah diulas secara menarik oleh Heru Joni Putra.

Sebagaimana kerbau yang jadi hewan investasi bagi keluarga petani di kampung, sapi juga begitu. Hampir tiap keluarga punya kerbau atau sapi gembalaan, baik milik sendiri maupun dengan sistem paroan (milik orang lain yang anaknya nanti dibagi). Itu ibarat tabungan yang bisa dimanfaatkan diwaktu sulit: menyekolahkan anak, menikahkan anak atau perlu biaya saat sakit. Itu dulu. Kini, meski masih ada, tapi tak sebanyak dulu. Orang lebih suka berinvestasi ke kebun kelapa sawit yang harganya kadang tak cukup membantu di kala sakit. Komoditi massal selalu lebih rawan sebab nasibnya tergantung gonjang-ganjing “pasar global”.

Dulu, daerah saya, Kabupaten Pesisir Selatan dianggap sebagai penghasil sapi terbaik di Sumatera Barat. Entah dari mana data itu, saya tidak tahu, yang jelas pada masa Orde Baru, itulah salah satu kebanggaan orang kabupaten saya. Meski sejujurnya sampai kini pun konsumsi daging sapi di Pessel berani saya katakan rendah. Buktikan saja dengan cara mudah. Cari bakso sapi di Surantih dan sekitarnya, sebagai contoh, tak gampang. Hanya ada satu-dua yang jualan karena mencari daging sapi mesti ke Painan, itu pun tak selalu ada aktivitas “menjagal”. Atau, jika anda memesan rendang di rumah makan dari Tarusan hingga Tapan, pastikan anda tidak terkejut karena yang dimaksud rendang itu adalah rendang ayam atau lokan. Rendang sapi sesekali saja ada untuk tidak mengatakan ibarat minta sisik ke limbek.

Untuk mendapat asupan protein hewani dari sapi, salah satunya pada hari raya Qurban. Namun ternyata itu tak selalu menggembirakan. Betapa tidak. Dalam pembagian daging qurban, banyak keluarga yang kantong kresek jatahnya hanya berisi jeroan. Dagingnya entah ke mana. Saya kira itu hanya kebetulan. Tapi kata adik saya di rumah, tiap hari raya Qurban, jatah “daging” yang mereka terima, ya, jeroan. Saya jadi teringat di tempat saya tinggal di Yogya. Biasanya setelah memotong sapi atau kambing, mereka akan mengumpulkan masing-masing bagian: jeroan, daging, bahkan hati. Lalu saat ditimbang, semua bagian dimasukkan, sehingga dalam kresek itu setiap keluarga rata dapat bagian hewan qurban. Aturan ini saya kira perlu ditinjau dan jadi perhatian demi kemaslahatan.

Demikianlah, hubungan orang Minang dengan hewan atau satwa sebenarnya dapat terbaca dari rumusan Mohammad Hatta tentang pertalian kultur manusia dengan natur ciptaan Tuhan. Dr. Hamka mencatat pandangan Hatta yang disampaikan dalam Kongres Kebudayaan di Bandung (1952) itu, dan mengakui bahwa kebudayaan (kultur) memanglah usaha dan hasil-usaha manusia menyelesaikan kehendaknya buat hidup dengan alam yang ada di sekelilingnya. Dalam Kongres di Solo tahun 1954, diterima rumusan bahwa kebudayaan itu meliputi ilmu pengetahuan, filsafat dan seni (lihat Hamka, Pandangan Hidup Muslim, 1992: 266-267).

Meski dalam upaya hidup dengan alam itu, baik Hatta maupun Hamka lebih banyak mencontohkan dengan alam-fisik, seperti bukit, gunung, sungai dengan airnya dan padang yang luas, tapi kita bisa membawanya juga ke dunia hewan atau satwa. Dan itulah yang tersua di Minangkabau. Perangai dan rupa hewan bisa jadi pepatah, pantun atau sekadar pameo sebagaimana dicontohkan di atas. Itulah kekayaan falsafah kita.

Dalam ilmu pengetahuan dapat dicontohkan bagaimana orang melatih beruk untuk mengambil kelapa sampai-sampai ada sekolah beruk di Pariaman; sapi-kerbau untuk membajak dan menghela pedati, termasuk memutar gilingan tebu seperti di kampung-kampung lereng Singgalang. Meski ilmu melatih itu kini sudah tergantikan mesin dan cara lain yang lebih praktis, namun spirit capaian itu telah tercatat di satu zaman. Dalam seni rakyat kita biasa melihat penjual obat menghibur penonton dengan ular atau lutungnya. Sejumlah jurus silek mengambil gerak lentur dan elegan inyiak balang, nama penghormatan pada harimau. Dan betapa banyak hikayat dan cerita lisan yang bersumber dari dunia hewan.

Belakangan di masjid kampung saya sering terjadi pencurian kotak amal. Ada kaca jendela yang dipecah. Pengurus akhirnya memutuskan pakai CCTV, dan seseorang dengan santai berkata,”Sebenarnya ketimbang CCTV, lebih bagus kalau sebuah tempat itu dijaga anjing terlatih. Suaranya akan membangunkan kita, dan keganasannya menciutkan nyali pencuri. CCTV dalam banyak kasus penting, malah rusak atau mati.”

Tentu, ini bisa dianggap setengah bergurau. Yang pasti serius itu adalah pesan saya untuk lebih rileks menghadapi promosi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Sebab dalam prakteknya, “tidak satu jalan ke Roma” dan apa yang dibayangkan belum tentu “persis warna aslinya.”

Selanjutnya Baca Menulis dari Kampung (8): Menghidupkan Garis Pantai Bandar Sepuluh

Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang, kemudian merantau ke Denpasar, dan kini menetap di Yogyakarta. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu dan Api Bawah Tanah. Sejumlah puisi di atas dipilih dari manuskrip buku puisinya yang sedang dalam persiapan terbit.