Kafe dan Masjid
Oleh: Dr. H. Johar Arifin, Lc., MA
Makan minum adalah kebutuhan dasar manusia, bahkan saking pentingnya ia menjadi tradisi dan budaya yang mengakar di suatu daerah, darinya lahir berjuta jenis varian makanan dan minuman, lahir pula tempat-tempat yang disediakan secara khusus. Harga makanan dan minuman tidak hanya ditentukan oleh kualitas saja tetapi Anda makan dan minum dimana. Dulu orang cukup makan minum di rumah, paling ke kedai kopi sederhana, kini sudah ketinggalan, beralih ke gerai makan minum zaman now, bermunculanlah kafe-kafe bak jamur di musim hujan. Di persimpangan hingga jalan protokol, di kota besar, kota sedang bahkan di kampungpun juga ada.
Lalu siapa yang memenuhi kafe-kafe itu? Jika dilakukan penelitian kecil-kecilan saya bisa memastikan hasilnya mencapai 85 % dipukul rata dari usia 17 tahun sampai 40 tahun. Artinya mayoritas di isi kaula muda dan kaula mudi, kaum milenial. Jika merujuk terma anak muda untuk masyarakat Indonesia itu dipahami mereka yang memiliki batasan usia antara 11 hingga 24 tahun dan belum menikah, [Sarwono, 2013,11-14].
Kafe bagi anak muda dijadikan sarana kongkau-kongkau, makan minum sambil menikmati wifi gratis, hingga waktu berlalu habis bahkan mereka sambung kembali di kafé yang lain untuk suasana lain pula. Mereka yang tidak cukup koceknya ke kafé cari tempat lebih murah bahkan bisa nongkrong tanpa keluar uang sepersenpun. Masa habis, umur soak terpakai ibarat lampu sudah redup.
Lalu apa yang mereka cari nongkrong di kafé? Ada yang menjawab; menghilangkan kejenuhan, mereka sudah bosan dengan lingkungan sekitar. Ada lagi menjawab; kafé adalah tempat yang menyenangkan, nyaman dan banyak lagi lainnya [dikutip dari balipost.com/23.10-2020]. Hingga saat ini budaya nongkrong di kafé tidak hanya sekadar minum secangkir kopi, ngobrol santai, mengerjakan tugas sekolah atau tugas kuliah, urusan bisnis tapi bergeser menjadi gaya hidup, [hasil Penelitian Ahmad Fauzi: Budaya Nongkrong Anak Muda di Kafé, ojs.unud.ac.id].
Data Kominfo RI memperkirakan pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang, dan lebih di angka 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia menggunakan internet dan media digital lainnya, [riset Kominfo Unicef mengenai perilaku anak dan remaja dalam penggunaan internet, kominfo.go.id]. Tentu ini berdampak positif dan sudah dipastikan dampak negatifnya terus dirasakan.
Baca Juga: Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat, Simbol Cinta Rakyat kepada Sultan dan Islam
Beralih ke Masjid di era milenial, Ia tumbuh bak jamur di musim hujan. Jika kita lihat data statistik Masjid Musala di Riau berdasarkan pemutakhiran data Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2014 berjumlah 12. 862. Bayangkan 6 tahun kemudian di tahun 2020 ini, tentu jumlahnya lebih fantastis lagi.
Satu sisi kita boleh bangga, Masjid banyak dan megah, bahkan Masjid Provinsi dan Kab./Kota dibiayai oleh Pemerintah. Lebih bangga lagi Masyarakat Muslim berpartisipasi membangun dan mengurusi Masjid. Tidak ada istilah Masjid insyaallah yang ada hanya insyallah Masjid terbangun sekalipun tidak sesuai target. Lalu pertanyaannya; adakah anak muda nongkrong ibadah di Masjid? Sudahkah Masjid ramah bagi anak muda? Sudahkah mereka mendapatkan ketenangan dan kenyamanan di Masjid? Ada lagi deretan pertanyaan lain: kenapa Masjid hanya dipenuhi jamaah usia diatas 50 tahun saja? Ke mana anak-anak muda kita? Ketika waktu salat, mereka dimana? Inilah beberapa fenomena yang di alami pengurus Masjid saat ini.
Peradaban Islam membuktikan betapa Masjid sebagai tempat ramah bagi siapa saja, bagi anak-anak, anak muda apalagi yang tua. Tidak hanya untuk ibadah, dakwah dan pendidikan, dari Masjid lahir generasi tangguh bahkan pemimpin dunia. Masjid juga tempat menyelesaikan problem sosial masyarkat.
Di tangan Rasulullah Saw lahir anak-anak muda tangguh, sebut saja Usamah bin Zaid umur 18 tahun diangkat menjadi komandan pasukan menaklukkan Syam. Zaid bin Tsabit dengan gagah berani berjihad di usia 13 tahun, diperintah mengumpulkan al-Qur’an pada usia 21 tahun. Imam Syafi’i hafal al-Qur’an umur 9 tahun. Ibnu Sina, bapak kedokteran dunia mampu menghafal al-Qur’an umur 5 tahun. Ada lagi kisah heroik Muhammad al-Fatih sang penakluk Konstantinopel menjadi Sultan di usia muda. Itulah sedikit contoh generasi muda menoreh tinta emas kegemilangan sejarah bahkan harum semerbak hingga kini.
Pertanyaan di atas menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pengurus Masjid dan Dewan Kemakmuran Masjid. Saatnya di era milenial, di bulan Maulid -(28 Oktober 2020)- bulan Oktober hari Sumpah Pemuda, pengurus Masjid mengubah mindsite pola pikir monoton, minus inovasi dan kreasi menuju Masjid Paripurna. Pengamatan di lapangan membuktikan banyak Masjid megah, infrastruktur, wah! Namun minim aktivitas dakwah dan ruang bagi anak muda. Banyak pengurus Masjid mengurusi fisik interior, lupa sumber daya Masjid (SDM) yang menjadi basis roh Masjid. Ada lagi yang menyedihkan, Masjidnya megah, pendingin ruangan bak mall, namun perangkat Imam dan Muazzinnya para generasi tua. Bila menjadi imam lebih banyak batuknya, bisa azan nafasnya tak sampai. Sedih mendengarnya.
Banyak Pengurus yang belum melibatkan anak muda dan mengambil peran di Masjid. Banyak Masjid yang belum ada Remaja Masjidnya, banyak Masjid minim aktivitas dakwah anak muda, bahkan masih banyak Masjid yang belum menjadi Masjid yang ramah bagi anak-anak dan anak muda.
Ibarat di persimpangan, jangan biarkan anak muda berdiri lama, bisa jadi mereka menabrak atau ditabrak, dihipnotis dan sejenisnya. Jangan biarkan mereka ragu memilih, jangan biarkan mereka galau. Jika mereka memilih simpang ke kafe, saatnya pemilik kafe berfikir menjadikan usaha kafenya sebagai sarana dakwah bagi konsumen anak-anak muda. Jika malu disebut kafe syari’ah, tidak apa-apa yang penting nama boleh beda, nama boleh gaul, nama boleh milenial tapi isi dan kualitasnya tetap syar’i. Bila anak muda nongkrong, ia berpikir suatu saat saya akan menjadi entrepreneur memiliki ratusan kafe-kafe halal di tengah geliat wisata halal (halal tourism).
Tiba pulalah saatnya mereka di persimpangan jalan, waktu salat telah masuk, azan dikumandangkan. Saatnya pengurus Masjid-Musala memberikan pelayanan ke jamaah dan terkhusus bagi anak muda seperti mereka dilayani di kafe-kafe itu. Disambut ramah oleh toilet yang bersih, ruang masjid yang wangi bak kasturi, karpetnya harum bak kiswah Ka’bah, disediakan minuman dan cemilan gratis, ada parfum di setiap pintu Masjid. Semua jamaah satu kesatuan wewangian melebihi anak muda berwangi-wangi ketika hendak ke kafé-kafé itu. Panggilan muazin dan imamnya melebihi merdu suara penyanyi kafe-kafe itu. Begitu pula pengurus Masjid yang ramah dan humanis. Selama di Masjid mereka nyaman dan mendapatkan ketenangan melebihi yang mereka dapatkan di cefe-cefe itu. Saatnya bagi Masjid yang memiliki keuangan yang sehat dan berlebih, melayani jamaah terutama anak-anak muda bak pelayanan hotel bintang 5, bahkan sesungguhnya rumah Allah itu melebihi hotel bintang 5.
Baca Juga: Masjid Ramah Lingkungan
Kita pasti bangga dengan anak-anak muda yang menjadikan Masjid sebagai rumahnya setelah rumah orang tuanya, mereka ramai memenuhi Masjid dengan aktivitas ibadah dan dakwah kaum milenial. Anak muda yang taat dan terpaut jatuh cinta ke Masjid akan mengalahkan kehendak nafsu duniawinya. Mereka akan mendapat naungan Allah kemudian kelak. [HR. Al-Bukhari, no. 660, 1423, Muslim, no. 1031]. Kita bangga anak-anak muda berjiwa Masjid yang entrepreneur, kreatif melahirkan inovasi produk-produk unggul lokal, regional bahkan internasional. Indonesia memerlukan anak-anak Muda yang hijrah, kreatif berjiwa Qurani. Inilah bukti Mencintai Baginda Nabi Saw. Semoga![]
*Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau
“Sempena 12 Rabiul Awal 1442 H dan Hari Sumpah Pemuda 28-10-2020”
Leave a Review