Wajarkah kalau hari gini masih membahas tentang bid’ah? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Iya, kalau motivasinya untuk mendiskusikannya secara objektif, argumentatif dan saling menghargai. Tidak, kalau tujuannya untuk menjelek-jelekkan dan menyerang tokoh tertentu atau sekadar meluapkan emosi pada pihak yang berbeda.
Beberapa orang berhusnuzhan pada saya dan berharap mendapat sedikit pencerahan tentang banyak amalan yang oleh ikhwah ‘salafi’ dicap sebagai sesuatu yang bid’ah, seperti masalah qunut, melafazkan niat, sampai membaca shadaqallahul ‘azhim selesai tilawah al-Quran. Itulah kenapa saya menulis tentang ini.
Cukup banyak amalan yang dicap oleh tokoh-tokoh salafi sebagai sesuatu yang bid’ah. Sampai-sampai salah seorang tokoh tersebut menulis sebuah buku berjudul: Kamus Bid’ah (قاموس البدع) setebal 838 halaman.
☆☆☆
Terkadang saya bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apa yang membuat saya ‘keberatan’ dengan label-label bid’ah yang disematkan tokoh-tokoh salafi terhadap amalan-amalan tertentu? Saya kira, saya tidak sendiri dalam hal ini. Ada banyak orang yang juga ‘keberatan’ (bahkan menolak dan membantah) cap-cap bid’ah yang sangat sering keluar dari tokoh dan pengikut manhaj salafi.
Tapi kenapa saya mesti keberatan? Bukankah pernyataan ‘amalan ini bid’ah’ merupakan statement syar’iy yang ‘wajar’ dipasangkan pada sebuah amalan? Bukankah para sahabat, para imam mazhab dan banyak ulama juga biasa menyatakan perbuatan A atau B adalah bid’ah?
Sahabat mulia Abdullah bin Umar –رضي الله عنه- pernah mengatakan bahwa salat Dhuha adalah bid’ah (Shahih Bukhari nomor hadis 1775). Imam Abu Hanifah pernah mengatakan bahwa meninggikan suara dalam takbir ‘id adalah bid’ah (Badai’ Shanai’ 1/196). Ia juga pernah mengatakan bahwa salat istisqa` juga bid’ah (al-Majmu’ 4/6). Imam Malik pernah mengatakan bahwa menempelkan pipi dan dahi di hajar aswad adalah bid’ah (al-Mudawwanah 1/419).
Masih banyak lagi pernyataan para imam dan ulama lintas mazhab dan generasi bahwa perbuatan A adalah bid’ah. Berarti pernyataan atau statement: “Perbuatan ini bid’ah” adalah sesuatu yang sudah biasa keluar dari mulut para sahabat, imam mazhab dan ulama berbagai mazhab, bukan hanya ‘hegemoni’ kalangan salafi semata? Jadi, kenapa saya harus keberatan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut?
Saya mencoba menganalisa apa sebenarnya yang menjadi penyebab ketidaksetujuan dan ketidaknyamanan saya (dan mungkin juga banyak orang selain saya) terhadap vonis-vonis bid’ah yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh salafi.
Akhirnya saya menyimpulkan, ada beberapa faktor yang membuat vonis-vonis tersebut tidak mendapatkan penerimaan yang baik dari banyak orang, diantaranya:
Pertama, statement tersebut muncul dari mereka yang terlihat sangat boros dan berlebihan (إسراف) dalam mengeluarkannya. Mereka terlalu mudah untuk mengatakan perbuatan A adalah bid’ah hanya dengan merujuk pada tokoh-tokoh yang sudah jadi referensi standar bagi mereka. Saking boros dan mudahnya mereka memberikan label terhadap sebuah perbuatan sebagai sesuatu yang bid’ah sehingga tak heran kalau stigma ‘suka membid’ahkan’ sudah melekat pada mereka.
Baca Juga: Qunut Terus Menerus Adalah Bid’ah
Kedua, mereka tidak menerima pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah (seperti yang ditegaskan Imam Syafi’i; lihat Fathul Bari 13/253) , apalagi menjadi lima; wajib, mandub, haram, makruh dan mubah (seperti yang dijelaskan Imam al-‘Izz bin Abdussalam dan ditegaskan lagi oleh Imam Nawawi dalam Tahdzibul Asma` wal Lughat). Bagi mereka setiap bid’ah adalah buruk dan sesat. Setiap yang sesat tempatnya di neraka. Ini diperparah dengan pandangan mereka bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan bid’ah berarti ia pelaku bid’ah (مبتدع).
Ini yang sangat ‘mengerikan’. Dengan pemahaman seperti ini maka, menurut mereka, orang-orang yang mengamalkan qunut subuh secara terus-menerus berarti pelaku bid’ah. Dan karena itu, ia telah sesat, dan tempatnya nanti –jika ia tidak bertaubat- adalah di neraka.
Ketiga, pernyataan bahwa ‘perbuatan ini adalah bid’ah’ –seperti dalam masalah membaca shadaqallahul ‘azhim selesai tiwalah Quran- disampaikan oleh mereka secara mutlak (lepas) begitu saja. Seolah-olah ini sesuatu yang sudah pasti (hatmiy), dan muttafaqun ‘alaih (disepakati oleh semua atau sebagian besar ulama).
Padahal vonis tersebut datang dari ‘segelintir’ ulama saja. Itu pun ulama yang sudah biasa menjadi rujukan mereka, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Abdul Aziz bin Baz, Muhammad bin ‘Utsaimin, Nashir al-Albani –رحمهم الله جميعا- dan sebagainya.
Dengan pernyataan dan vonis ‘lepas’ seperti itu, muncul kesan bahwa apa yang mereka sebut sebagai bid’ah adalah sesuatu yang sangat buruk dan tercela. Padahal masalah itu bersifat ijtihadi. Bahkan tidak jarang, sebenarnya mereka-lah yang berseberangan dengan sebagian besar ulama dalam menetapkan status amal-amal tersebut.
Barangkali, resistensi vonis ‘bid’ah’ ini tidak akan terlalu tinggi kalau mereka menyebutkan siapa tokoh yang mengatakan perbuatan A itu bid’ah; artinya: bid’ah menurut siapa?
Dalam masalah membaca shadaqallahul ‘azhim ini misalnya, mereka bisa menyebutkan bahwa ini bid’ah menurut Ibnu Taimiyyah, atau menurut Ibnu Qayyim. Atau bahkan menurut Syekh Albani. Sah-sah saja kalau mereka memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat banyak ulama yang lain. Karena pada akhirnya masalah ini masuk dalam ranah ijtihad sehingga wajar jika memunculkan perbedaan pendapat.
Imam Nawawi –رحمه الله- mengatakan:
مَذْهَبُ وَاحِدٍ مِنْ النَّاسِ لَا يَكُونُ حُجَّةً عَلَى مُجْتَهِدٍ آخَرَ فَكَيْفَ يَكُونُ حُجَّةً عَلَى الْأَكْثَرِينَ
“Pendapat satu orang tidak bisa menjadi hujjah terhadap mujtahid yang lain (membuat kita mengabaikan pendapat mujtahid yang lain), apalagi menjadi hujjah bagi banyak orang?”
Inilah bedanya vonis-vonis mereka yang dibiarkan ‘lepas-bebas’ seperti itu dengan ‘vonis’ para ulama tentang sebuah perbuatan. Mereka lebih sering menggunakan kalimat: أستحبه “Saya menganjurkannya…”أكرهه “Saya tidak menyukainya…” , لم أجد فيه خلافا “Saya tidak menemukan ada perbedaan pendapat di dalam hal ini…”, dan sebagainya.
Mereka menisbahkan penilaian itu kepada diri mereka. Seolah-olah mereka mengatakan, “Ini yang saya tahu, dan ia tidak bersifat mutlak.” Sehingga kalau ada orang yang memiliki pendapat yang berbeda, ya tidak apa-apa.
Imam Syathibi –رحمه الله- mengatakan:
ليس من شأن العلماء إطلاق لفظ البدعة على الفروع
“Bukan kebiasaan ulama menggunakan vonis ‘bid’ah’ untuk masalah-masalah furu’”.
Maka ketika ada tokoh atau pengikut manhaj salafi mengatakan, “Perbuatan ini bid’ah”, kita tinggal bertanya: عِنْدَ مَنْ؟ “menurut siapa?”. Kalau ia mengatakan, “Menurut Syekh Bin Baz”, kita mengatakan, “Pendapat Syekh bin Baz kami hormati. Tapi dalam masalah ini kami lebih memilih pendapat Imam Nawawi”, misalnya.
Dengan demikian, ketegangan perdebatan dalam masalah-masalah furu’ seperti ini diharapkan relatif bisa berkurang. Semoga.
☆☆☆
Kapan Sebuah Amalan Boleh Dikatakan ‘Bid’ah’?
Pembahasan tentang ini tentu tidak sederhana. Kita bisa merujuk kitab-kitab Ushul untuk mengkajinya secara mendalam.
Namun kutayyib (buku kecil) yang ditulis Dr. Muhammad bin Husein al-Jizani, seorang Dosen Universitas Islam Madinah berjudul: حكم التبديع فى مسائل الاجتهاد mungkin bisa menjadi salah satu bacaan awal, khususnya bagi ikhwah salafi.
Diantara poin penting yang beliau sampaikan adalah sebuah kaidah pokok:
لا إنكار فى مسائل الاجتهاد
“Tidak boleh mengingkari dalam masalah masalah-masalah ijtihad.”
Lalu ia mengomentarinya:
التبديع نوع من الإنكار بل التبديع من أعلى درجات الإنكار
“Tabdi’ (menyatakan sebuah perbuatan adalah bid’ah) merupakan salah satu bentuk pengingkaran, bahkan ia termasuk pengingkaran dalam level tinggi.”
Jadi, menurutnya, selama masalah itu berada dalam wilayah ijtihad tidak boleh ada vonis bid’ah terhadapnya, karena vonis bid’ah adalah sebuah bentuk pengingkaran, dan pengingkaran tidak boleh dilakukan terhadap masalah-masalah ijtihad.
Lalu apa standar (dhabith) sebuah masalah dikategorikan sebagai masalah ijtihad?
ضابط المسائل الاجتهادية ألا يوجد فى المسألة إجماع أو نص قاطع ، وإنما يكون النص الوارد فى المسألة –إن ورد فيها نص- محتملا قابلا للتأويل
“Standar masalah-masalah ijtihad itu adalah ketika tidak ada ijma’ (konsensus para ulama) atau nash yang bersifat qath’iy (pasti dan valid) dalam masalah tersebut. Kalau pun ada nash, maka nash itu sangat mungkin untuk ditakwilkan.”
Ia juga menukil pendapat Ibnu Taimiyah –رحمه الله- :
فمن ترجح عنده تقليد الشافعي لم ينكر على من ترجح عنده تقليد مالك ، ومن ترجح عنده تقليد أحمد لم ينكر على من ترجح عنده تقليد الشافعي ونحو ذلك
“Siapa yang lebih memilih bertaqlid pada Syafi’i, ia tidak boleh mengingkari orang yang lebih memilih bertaqlid pada Malik. Demikian juga, siapa yang lebih memilih bertaqlid kepada Ahmad, tidak boleh mengingkari orang yang lebih memilih bertaqlid kepada Syafi’i.”
أما آن الأوان أن نضيق دائرة الاختلاف ونوسع دائرة الاتفاق ؟
نتعاون فيما اتفقنا عليه ويعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا فيه
Leave a Review