scentivaid mycapturer thelightindonesia

Apakah Selamanya Politik Itu Kejam?

Sebuah mural politik iu kejamt
portalarjuna.net

Survey politik tentang elektabilitas calon Gubernur Jakarta berdasarkan beberapa hasil lembaga survey menyatakan bahwa Ahok masih belum memiliki rival yang cukup greget. Hasil ini barangkali membuat pendukung lawan politik Ahok nyut-nyutan. Apalagi oknum yang sudah dari sononya tidak suka sama gubernur yang berkarakter keras ini. Oknum tersebut tentunya mereka yang menemukan berbagai alasan untuk membenci. Meskipun demikian, seperti yang disiarkan oleh beberapa televisi swasta hasil survey menandaskan bahwa Ahok masih seksi layaknya artis papan atas lainnya di mata masyarakat. Khususnya masyarakat ibukota. Haji Lulung yang belah rambutnya ngartis banget masih kalah di atas kertas, apalagi Tantowi Yahya yang dalam pikiran saya masih “Who wants to be a Millionare”.

Saya hanya ingin menyampaikan hasil survey yang beberapa hari lalu disiarkan oleh beberapa televisi swasta. Pernyataan saya di atas bukannya menunjukkan keberpihakan, apalagi menakut-nakuti seperti film horror bahwa kemungkinan besar Ibukota akan dipimpin lagi oleh Ahok, yang katanya adalah orang Cina, kafir, tidak mampu mempimpin secara syariah dan lain-lain. Lagian tidak ada yang perlu ditakuti dengan hasil survey. Sebab hasil survey bisa saja dilacurkan dan berbanding terbalik dengan yang akan terjadi. Jadi bagi anda yang tidak suka dengan calon tertentu, untuk sementara waktu jangan cemas dulu hingga pemilihan benar-benar selesai. Karena hasil politik terkadang unpredictable (tidak dapat diprediksi).

Baca Juga: Lebaran Harus Megah

Menjelang pemilukada serentak 9 Desember 2015 nanti media sepertinya akan segera dipenuhi dengan berita-berita politik. Pengamat politik akan dibuat sibuk memperhatikan manuver-manuver politik. Lembaga-lembaga survey kian gencar mencari data preferensi (kecendrungan) politik masyarakat. Media yang lacur, juga akan sibuk “mengharumkan kentut” dari calon tertentu. Apalagi para calon, mereka juga tak kalah sibuknya berkampanye dan mencari dukungan suara, tentunya agar perjuangan mereka tak sia-sia. Sebab politik memang layaknya judi. Jika menang beruntung, kalah masuk karung.

Oh iya, saya lupa, dalam pertarungan memang harus ada yang menang dan ada yang kalah. Tapi dalam hal politik kalah dan menang tidak sama dengan kalahnya saya main playstation. Kalah dalam politik bisa membuat yang waras jadi mendekam dalam rumah sakit jiwa, yang hidup bisa terjun ke jurang atau gantung diri. Pasalnya jelas, dana yang dikucurkan untuk mencari dukungan suara tidak sedikit. Dana kampanye bisa menembus angka yang fantastis, belum lagi jika harus menggelontorkan dana lebih untuk serangan fajar, atau money politic (politik uang).

Politik uang ditengarai menjadi solusi efektif hari ini. Sebab salah satu masalah besar Indonesia adalah persoalan ekonomi. Meskipun secara garis besar persoalan hukum dan politik masuk nominasi, tapi masalah ekonomi sepertinya lebih unggul. Kebutuhan akan uang menjulang tinggi. Sehingga serangan fajar mestinya ditambah lagi dengan serangan siang, serangan senja, dan serangan malam. Saya menyarankan calon-calon anggota legislatif lebih giat menaburkan uang kepada masyarakat. Karena memang uang lah yang dibutuhkan hari ini untuk membeli bahan pokok. Solusi efektif lainnya adalah dekati bermacam-macam Ormas, beri mereka uang. Dengan kondisi se”kering” ini, tidak begitu susah kok untuk meminta mereka menyatakan dukungan terhadap tuan-tuan.

Baca Juga: Janji Bi(n)asa Mungkir

Apapun itu, yang jelas saya sepakat dengan “virtu”-nya Machiavelli, dalam politik jangan bicara moral. Mari bicara soal kejantanan, kegesitan, keberanian, kegarangan, dan kelicikan. Layaknya Harimau dan Kucing memperebutkan daging, saya kira Harimau lah yang menang, kecuali Kucingnya cerdas. Tapi biasanya Kucing memang lebih cerdas dari pada Harimau. Semua akan menjadi salah kalau kita ukur dengan moralitas. Apapun bisa menjadi komoditas dalam politik, jual menjual dalam politik adalah keniscayaan. Semua soal perut, perut, dan perut. Satu lagi deh “perut”, bukan moral. Dalam hal ini, yang garang lah berjaya. Begitulah kira-kira, salah dan benar dalam politik itu sepertinya tidak ada, yang ada hanya seni bermanuver.

Jadi saya mendukung tuan-tuan yang kerjanya “menjual” demi politik, maksud saya tuan-tuan yang menjual demi kepentingan perut, saya akan anggap tuan lapar. Lapar tentu butuh makan, kalau tak ada yang halal yang haram pun bisa. Itung-itung rukhsah. Ah sepertinya saya sentimentil. Begini saja, berdasarkan wawancara yang saya lakukan beberapa waktu yang lalu di salah satu daerah di Jawa Tengah, hampir seluruh responden menyatakan bahwa mereka akan menerima jika diberi uang ketika kampanye, kapan perlu dengan jumlah yang besar. Hanya saja tuan perlu sedikit hati-hati, sebab tidak seluruhnya menjamin akan memilih tuan. Karena menerima dan memilih bagi sebagian orang adalah dua hal yang berbeda.

Baca Juga: Tarbiyah-Islamiyah dan Sejarah Politiknya

Saya sering tertawa kecut ketika mendengar jawaban dari responden. Tapi dibalik itu saya menangkap ada semacam kecerdikan dari masyarakat. Kalau tuan licik masyarakat cerdik ya impas toh. Jadi tuan jangan bangga dulu dengan pernyataan dukungan yang diberikan oleh perseorangan, apalagi dukungan yang dinyatakan oleh kelompok. Bisa jadi dalam kelompok tersebut yang mendukung tuan-tuan hanya sebagian kecil dari mereka. Siapa? Ya mereka yang lapar juga seperti tuan-tuan. Ah sudahlah, saya hanya berharap pada tuan-tuan yang berada pada level elit. Garanglah, liciklah, dan jantanlah jika tidak ingin berakhir tragis. Saya teringat sebuah petuah Ayahanda Iwan Fals “Jadilah kau bajingan yang berkedok jagoan, agar semua bilang kau pahlawan”.[]

Mhd Yazid
Alumni MTI Canduang, saat ini kuliah Pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.