Tentu sesuatu yang sangat terpuji ketika seorang muslim berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani setiap sisi kehidupan Rasulullah Saw. Tapi hal itu tidaklah mungkin. Bukan hanya karena kesempurnaan tasharruf (tindak-tanduk) Baginda Nabi, melainkan juga ada hal yang bersifat khusushiyyah Nabi yang tidak untuk dicontoh oleh umatnya. Contoh sederhana, Nabi Saw menikahi lebih dari empat wanita. Apakah kalau ada orang yang melakukan hal tersebut berarti ia mengikuti sunnah? Tentu tidak, karena ini adalah khusushiyyah Nabi. Adapun umatnya hanya dibolehkan menikahi maksimal empat wanita.
Hal yang menjadi problem adalah ketika sebagian orang mengkampanyekan bahwa setiap yang Nabi lakukan adalah Sunnah, dan karena itu mesti diikuti. Kalau tidak diikuti berarti dinilai telah menyalahi Sunnah. Dan vonis selanjutnya sudah dapat diterka.
***
Para ulama dari mazhab Malikiyyah termasuk yang sangat berjasa mengklasifikasikan tasharrufat (tindak-tanduk) Rasulullah Saw. Ada yang tasharruf yang bersifat jibilliy (fitrah kemanusiaan), ‘adiy (kebiasaan), irsyadi (arahan) dan sebagainya.
Ada juga yang mengklasifikasikannya menjadi tasharruf dalam konteks Nabi sebagai seorang Imam, Qadhi, atau Mufti. Setiap perbuatan Nabi yang muncul dari fungsi-fungsi tersebut memiliki implikasi yang berbeda. Untuk lebih dalam, silahkan merujuk karya-karya Imam Syihabuddin al-Qarrafi tentang hal ini, khususnya dua kitab fenomenal beliau; al-Furuq dan al-Ihkam.
Baca Juga: Tidak Selalu, “Kalau Tidak Sunnah Berarti Bid’ah…”
***
Para pecinta ilmu tentu tidak asing dengan perbedaan sudut pandang antara ulama hadis dan ulama ushul dalam mendefinisikan sunnah.
Sebagian besar ulama hadis memang menyamakan antara sunnah dan hadis karena yang menjadi pokok kajian mereka adalah verifikasi sumber. Berbeda dengan ulama ushul yang pokok kajian mereka adalah hukum. Maka ulama ushul mendefinsikan sunnah sebagai ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
Imam Abu Bakar al-Jashshash mengatakan:
سُنَّةُ النَّبِيِّ مَا فَعَلَهُ أَوْ قَالَهُ لِيُقْتَدَى بِهِ فِيْهِ وَيُدَاوَمُ عَلَيْهِ
“Sunnah Nabi adalah apa yang beliau lakukan atau ucapkan untuk diikuti dan diteladani.”
Imam a-Razi menyebutkan bahwa kata ‘sunnah’ lebih banyak digunakan untuk sesuatu yang dirutinkan oleh Nabi Saw.
Imam Abu Hilal al-‘Askari menjelaskan hal ini secara lebih gamblang. Ia berkata:
إِذَا قُلْنَا سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَالْمُرَادُ بِهَا طَرِيْقَتُهُ وَعَادَتُهُ الَّتِي دَامَ عَلَيْهَا وَأَمَرَ بِهَا
“Ketika kita mengatakan ‘Sunnah Rasulullah Saw’ maka yang dimaksud adalah metode dan kebiasaan yang beliau rutinkan dan diperintahkannya.”
Artinya, sunnah dalam pandangan ulama ushul adalah sesuatu yang dibiasakan oleh Nabi Saw untuk dijadikan sebagai teladan dan ikutan. Maka, tidak termasuk ke dalam sunnah yang mesti diikuti perbuatan Nabi Saw yang bersifat jibilliy, khushushiy, ‘adiy dan sebagainya.
Karena itu, Imam Shafiyyuddin al-Hanbali menegaskan:
السُّنَّةُ هِيَ الطَّرِيْقَةُ وَالسِّيْرَةُ لَكِنْ تَخْتَصُّ بِمَا فُعِلَ لِلْمُتَابَعَةِ فَقَطْ
“Sunnah adalah cara atau jalan hidup, namun khusus yang dilakukan untuk diikuti saja.”
Dari hal ini juga bisa disimpulkan bahwa ternyata tidak sama antara sunnah dengan hadis. Sunnah lebih spesifik (khusus) daripada hadis. Setiap sunnah adalah hadis, tapi tidak setiap hadis adalah sunnah.
Apakah pembedaan ini hanya dimunculkan oleh ulama ushul saja? Ternyata tidak.
Imam Abdurrahman bin Mahdi, rujukan utama dalam jarh wa ta’dil, mengatakan:
الثوري إمام فى الحديث وليس بإمام فى السنة ، والأوزاعي إمام فى السنة وليس بإمام فى الحديث ، ومالك إمام فيهما
“Sufyan ats-Tsauri adalah imam dalam hadis, tapi tidak imam dalam sunnah. Al-Awza’i adalah imam dalam sunnah tapi tidak imam dalam hadis. Adapun Malik (bin Anas), ia imam dalam keduanya.”
***
Kesimpulan sementara yang bisa diambil adalah tidak setiap perbuatan Nabi adalah sunnah yang wajib diikuti. Bahkan, kalau pun dikatakan bahwa setiap perbuatan Nabi adalah sunnah maka sunnah itupun terbagi dua. Ada yang disebut dengan sunnah mashdar (السنة المصدر) dan ada yang disebut dengan sunnah hukm (السنة الحكم). Sunnah mashdar adalah sunnah sebagai sebuah sumber. Dalam hal ini ia sama dengan hadis. Adapun sunnah hukm adalah sunnah yang bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Jadi tidak semua sunnah juga yang bisa dijadikan sumber hukum.
***
Apakah pemahaman para ulama yang tersebut di atas ada dasarnya dari para sahabat, ataukah mereka hanya ngarang –hasyahum– ?
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya:
عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ قَالَ : قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: يزعمُ قومُك أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلم قَدْ رَمَلَ بِالْبَيْتِ، وَأَنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ، قَالَ: صَدَقُوْا وَكَذبُوْا، قُلْتُ: وَمَا صَدَقُوْا وَمَا كَذَبُوْا؟ قَالَ: صَدَقُوْا: قَدْ رَمَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وكَذَبُوا: لَيْسَ بِسُنَّةٍ، إِنَّ قُرَيْشاً قَالَتْ زَمَنَ الحُدَيِبِيَّةِ: دَعُوْا مُحَمَّداً وَأَصْحَابَهُ حتى يموتوا موتَ النَّغَفِ، فلما صالحُوه على أن يجيئوا مِن العامِ المقبل، فيُقِيمُوا بمكةَ ثلاثةَ أيامٍ، فَقَدِمَ رسولُ الله صلَّى الله عليه وسلم والمشركون مِن قِبَل قُعَيْقِعَان، فقال رسولُ الله صلَّى الله عليه وسلم لأصحابه: “ارمُلُوا بالبيتِ ثلاثاً ” وليس بسنةٍ .
Dari Abu Thufail, ia berkata: “Aku berkata pada Ibnu Abbas, “Kaummu mengatakan bahwa Rasulullah Saw melakukan raml (berlari-lari kecil) saat thawaf di baitullah, dan hal itu adalah sunnah.” Ibnu Abbas berkata, “Ada benarnya dan ada salahnya.” Aku bertanya, “Mana yang benar dan mana yang salah?” Ia berkata, “Benar bahwa Nabi Saw melakukan raml. Tapi mereka salah (ketika mengatakan itu sunnah). Itu tidaklah sunnah.
Ketika perjanjian Hudaibiyyah, orang-orang Quraisy berkata, “Biarkan Muhammad dan sahabat-sahabatnya mati seperti ulat.” Maka ketika dilakukan kesepakatan bahwa mereka (Nabi dan para sahabat) boleh kembali di tahun berikut, Nabi dan para sahabat bermukim di Makah selama tiga hari. Ketika Nabi datang, orang-orang musyrik melihat dari balik bukit Qu’aiqi’an, Nabi Saw berkata kepada para sahabat, “Lakukanlah raml di baitullah sebanyak tiga kali.” Tapi hal itu tidaklah sunnah.
قلتُ : يزعمُ قومُك أن رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلم طافَ بين الصفا والمروةِ على بعيرٍ وأن ذلك سنةٌ، قال: صدقوا وكذبوا، قلت: ما صدقوا وما كذبوا؟ قال: صدقوا: قد طافَ رسولُ الله صلَّى الله عليه وسلم بين الصفا والمروةِ على بعير، وكذبوا: ليست بسنة، كان الناسُ لا يُدْفعون عن رسولِ الله صلَّى الله عليه وسلم ولا يُصرفون عنه، فطاف على بعيرٍ، ليسمعوا كلامه، وليروا مكانه، ولا تنالُه أيديهم.
Aku berkata lagi, “Kaummu berkata bahwa Rasulullah Saw melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah sambil menunggang onta, dan hal itu adalah sunnah.” Ibnu Abbas berkata, “Ada benarnya dan ada salahnya.” Aku bertanya, “Mana yang benar dan mana yang salah?” Ia berkata, “Benar bahwa Nabi Saw sa’i di antara Shafa dan Marwah sambil menunggang onta. Salahnya ketika mereka mengatakan itu sunnah. Itu tidak sunnah. Rasulullah Saw tidak menghalangi orang-orang untuk mendekat padanya. Karena itulah ia sa’i di atas onta agar mereka bisa mendengar perkataannya dan mengetahui posisinya tanpa harus terganggu oleh sesaknya mereka.”
Baca Juga: Diazab Karena Tidak Sesuai Sunnah?
***
Ternyata untuk mengetahui mana dari perbuatan (tasharruf) Nabi Saw yang dikategorikan sebagai sunnah untuk diikuti dan diteladani tidaklah semudah yang dibayangkan.
Disinilah kita perlu panduan para ulama dalam memahami tasharrufat Rasulullah Saw karena mereka yang telah menginfakkan usia mereka untuk mengkaji detail kehidupan Baginda.
Kalau Abu Thufail saja yang juga sahabat Nabi, perlu bertanya kepada Ibnu Abbas yang dinilainya lebih paham dari dirinya tentang mana yang sunnah dan mana yang tidak, apalagi kita. Tentu rujukan kita adalah para ulama yang pendapat dan pandangan mereka dapat dijadikan pegangan.
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]
“hal yang menjadi problem adalah ketika sebagian orang mengkampanyekan bahwa setiap yang nabi lakukan adalah sunnah, dan karena itu mesti diikuti. kalau tidak diikuti berarti dinilai telah menyalahi sunnah. vonis selanjutnya sudah dapat diterka.”
saya tahu yg anda maksud kemungkinan adalah salafi dan pasti vonis yg bapak maksud adalah bid’ah.
tapi dari statement bapak tersebut bapak sepertinya salah konsep deh. yg bidah itu bukan yg belum melakukan semua amalan yg dicontohkan rasullullah, tapi yang melakukan apa yg tidak dicontohkan rasulullah. beda lho pak maknanya. gak mampu melakukan semua amalan yg dilakukan rasulullah alias cuma beberapa saja bukan bid’ah, ya itu memang hakikatnya manusia yg penuh kekurangan. tapi melakukan sesuatu amalan yg tidak dicontohkan alias membikin2 yg baru itu lho yg disebut bid’ah.
Gak ada kok yg mewajibkan mengikuti apa2 yg dicontohkan nabi 100%.