“Ummi, Ummi, sebenarnya ayam Autal kemana? Sudah beberapa hari ini tidak keliatan”. Terdengar putraku bertanya pada istriku, Mel.
Sudah tak terhitung berapa kali Autal menanyakan hal yang sama kepada kami. Ia sendiri pun telah mencoba mencari ke areal persawahan di belakang rumah kami dan bertanya pada tetangga. Bahkan kemaren Autal meminta kami menelpon Ibuku. Pasalnya, ayam tersebut adalah pemberian Ibuku ketika kami sekeluarga menghadiri acara khitanan dan aqiqahan anak saudaraku di Sumpur Kudus. Dengan lugunya ia bertanya pada Ibuku, apakah ayamnya pulang ke rumah Nenek. Kalau iya, Nenek antarkan kembali ayamnya ke Talang.
Selain selimut sedari bayi, sejak empat bulan ini bertambah satu lagi kesayangannya, yaitu ayam betina pemberian Ibuku itu. Hendak makan dan selesai makan menanyakan ayam. Sebelum tidur dan bangun tidur bertanya soal ayam. Ketika menangis pun menanyakan ayam. Begitulah Autal, meski masih kecil selalu ingat dengan barang-barang kesayangannya. Bila ada maunya, tidak bisa diganti dengan yang lain. Bila tidak dikabulkan atau terlambat mengabulkan permintaannya, jorong Pandan Permai tempat kami tinggal bakal heboh. Sebab ia akan menangis sejadi-jadinya dan lama sekali redanya.
Untuk ayam warna abu-abu ini tak dapat dihitung dengan jari Autal menangis sejadi-jadinya sampai capek sendiri. Waktunya bisa kapan saja. Begitu pun tempatnya, bisa dimana saja. Bila sudah menanyakan ayam, kami pun tidak bisa menjawab. Ia pun akan menangis sejadi-jadinya. Pernah tengah malam ia terbangun dan langsung menanyakan ayam kesayangannya. Karena tidak bisa memuaskan tanya kanak-kanaknya, kontan saja ia menangis sejadi-jadinya. Tetangga depan dan samping rumah ikut terbangun. Bertandang ke rumah kami di malam buta menanyakan penyebab anak kami menangis. Setelah kami jelaskan, berderai juga gelak tawa mereka di pekat malam itu.
***
Ayam. Ya, hewan pemberian nenek kepada cucunya itu menyita perhatian keluarga kecil kami. Sebagai suami dan ayah, aku merasa paling bertanggung jawab mencari ayam kesayangan putraku, Autal. Aku sudah bertekad mencari sampai tapal batas kemampuanku. Bila perlu, akan kutapaki seantero jorong Pandan Permai ini. Mula-mula kucari ke Damapipo. Kutanyakan pada siapa saja yang pantas untuk ditanya. Tak lupa kusebutkan ciri-ciri ayam yang dicari. Namun nihil. Malahan jawaban yang didapat membuatku cemas. Ada yang bilang, mungkin saja ayamnya sudah dimakan anjing. Masuk akal juga karena memang di jorong kami banyak anjing berkeliaran bebas. Belum lagi anjing dari jorong dan nagari tetangga yang kerap datang mencari makan ke jorong kami. Ada yang mengatakan, bisa saja ayamnya dimamah bintira—sejenis binatang pemangsa ayam—yang biasa beraksi pada siang hari. Apalagi Pak Siri pernah menemukan bulu ayam berserakan di pinggir semak-belukar belakang rumahnya ketika mencari obat untuk istrinya tempo hari. Bulu yang berserakan itu berwarna abu-abu.
Pada kesempatan lain, aku mengayunkan langkah ke Sawah Dalam. Pertama aku telusuri daerah yang berada di belakang Mushola Baitul Amal. Kutanyakan pada sejumlah orang yang kutemui. Hasilnya nol besar. Berikutnya ku arahkan langkah menuju lokasi bibit benih ikan yang terlihat banyak kolamnya yang kosong dan tak terurus. Kutanyakan pada anak-anak yang sedang main layangan di sana, namun tidak ada yang tahu. Banda Kelok tujuanku berikutnya. Meski sudah agak berjarak dari rumah kami, aku tetap menggantungkan asa. Tanpa pikir panjang, kupergegas langkah ke sana karena senja akan segera mengurung jorong yang dianugerahi air melimpah ini. Bertanya ke sejumlah orang, jawaban yang kupanen juga jauh panggang dari api. Sebelum berbalik arah, aku beroleh kabar yang kurang mengenakan dari Gaek Parmato. Beliau mengatakan bahwa belakangan ini ayam-ayam di sekitar tempat tinggalnya banyak yang hilang. Selidik punya selidik, terangnya, ternyata ular yang jadi biang keroknya. Katanya lagi, siapa tahu ayam yang saya cari itu termasuk yang dimangsa ular tersebut.
Dengan sisa-sisa asa, keesokan harinya dilanjutkan mencari keberadaan si abu-abu kesayangan putraku. Harapan terakhir ada di Labuah yang terletak di sebelah utara jorong kami. Kali ini kami pergi bertiga: aku, istriku, dan putra kami Autal. Kami telah sepakat, apapun hasil yang diraih, ini adalah pencarian terakhir. Rumah demi rumah kami datangi. Kami tanyakan kepada siapa saja yang kami temui. Pencarian kami berakhir di jembatan Labuah, yang baru satu tahun ini kembali dapat dilalui kendaraan setelah hampir tiga tahun lamanya tidak bisa dilewati karena diterjang galodo. Di sini kami bersua Tek Mai yang baru pulang bersama anaknya dari kawasan Aia Angek Bukik Gadang. Ketika kami utarakan maksud kami, ia timpali sambil bercanda. Jangan-jangan ayam kami sudah dibakar preman kampung yang suka pesta dekat jembatan Labuah ini. Kami bertiga hanya menghela napas dalam-dalam sambil melayangkan pandangan ke sekitar jembatan.
***
“Oi Mel. Mel! Autal, Autal! Kata Ibu Siyur, terdengar suara ayam di surau Damapipo. Lihatlah ke sana, siapa tahu itu ayam yang kalian cari”, terdengar orang memanggil-manggil dari arah pintu depan. Kami sekeluarga sangat akrab dengan suara itu. Ya, suara Nek Popik. Aku segera membuka pintu.
“Ibu Siyur mendengar suara ayam di surau Damapipo. Beliau pulang dari menambatkan sapinya di belakang surau. Lihatlah ke situ”, terang Nek Popik.
Tanpa banyak pikir, aku pun memanggil istri dan putraku. Kami bertiga bergegas menuju surau dimaksud. Ketika membuka pintu surau, kami disambut bau apek merasuk ke indra penciuman. Sarang laba-laba tampak menghias langit-langit surau. Ketika kami layangkan pandangan ke mihrab surau, terlihat ayam kesayangan putra kami, Autal. Setelah didekati, rupanya si abu-abu sudah beranak.[]
Sungai Janiah, Juni 2014
Leave a Review