scentivaid mycapturer thelightindonesia

Baburu: Pergulatan Identitas dan Resistensi

Baburu Pergulatan Identitas dan Resistensi
Ilustrasi/dok.silontong.com

Berburu (Bhs. Minang: baburu) dan meramu merupakan fase paling awal perkembangan budaya manusia. Setelahnya berkembang budaya menetap dan bercocok tanam. Budaya dagang, budaya industri, dan sekarang kita katanya dalam budaya informasi. Dihimpit oleh berbagai budaya lanjut di atasnya bukan berarti budaya berburu hilang, habis ditelan zaman. Di ranah Minang hingaan sekarang berburu, terutama berburu babi dengan menggunakan jasa anjing, masih dipraktikkan secara massif. Meski telah mengalami perubahan seperti akan diuraikan di bawah, tapi dari praktik yang tersisa masih bisa dilihat makna penting berburu bagi masyarakat Minang.

Kalau dalam masyarakat lain berburu mungkin hanya memiliki makna praktis sebagai media untuk membasmi hama babi, berolahraga atau sekedar memuaskan hobi, maka tidak begitu di Minangkabau. Bagi masyarakat Minang baburu babi adalah bagian dari tradisi yang di dalamnya identitas dirundingkan dan perlawanan dijalankan. Oleh karena itu Alek (pesta) baburu melibatkan ritual, aktor dan kelengkapan-kelengkapan khusus.

Baburu sebagai Arena

Alek baburu biasanya dilaksanakan dalam beberapa tahun sekali di rimba-rimba yang diketahui menyimpan banyak babi. Dalam sebuah Alek baburu yang besar, pesertanya bisa mencapai ribuan orang yang berasal dari daerah Minang dan luar Minang. Alek baburu, dimulai dengan melakukan ritual inisiasi mamaga rimbo (memagar rimba), yang tujuannya adalah untuk membuat perburuan berjalan lancar dan babi tidak lari dari sekitar arena perburuan. Biasanya ritual itu dilakukan pada malam menjelang perburuan dilakukan. Aktor utama ritual ini adalah Muncak Tuo atau Induak Buru (pemimpin perburuan) yang dibantu beberapa Muncak  Tuo lainnya. Muncak Tuo ini adalah paburu senior yang diangkat oleh kaum paburu karena kualitas-kualitas keberanian seperti keberanian, keahlian beladiri, kesaktian (baisi lua dalam) dan pemahaman terhadap seluk beluk rimba di mana perburuan dilakukan. Sebagai identitas biasanya Muncak Tuo ini menggunakan pakaian hitam-hitam dengan senjata khusus, yaitu Piarik (semacam tombak khas Minang).

Muncak Tuo bertanggungjawab sepenuhnya atas keberhasilan alek baburu. Kalau perburuan tidak menghasilkan korban babi yang banyak maka kredibilitas akan turun karena dia dianggap tidak berhasil mamaga rimbo sehingga babi bisa lari atau bersembunyi. Muncak Tuo akan turun tangan apabila ada babi besar dan ganas yang tidak mampu ditaklukkan oleh anjing dan senjata para peburu biasa. Dengan menggunakan piarik dan pisau bada-nya (pisau khusus perburuan yang bentuknya melengkung seperti perut ikan) tidak jarang si Muncak Tuo harus bergulat melawan babi ganas. Kalau si babi ganas mati, nama si Muncak Tuo akan jadi legenda perburuan.

Dalam alek baburu ini juga ada tokoh antagonis yang kerjanya menghalangi kesuksesan berburu, dengan cara memondokkan (menyembunyikan) babi melalui kesaktian yang dimilikinya. Tokoh antagonis ini biasanya tidak diketahui identitas persisnya. Kaum paburu hanya mengira-ira siapa urang santiang yang telah mengalahkan si Muncak Tuo dengan menyembunyikan babi dari pandangan anjing dan para peburu. Dan para peburu meyakini bahwa perburuan sebetulnya adalah arena persaingan antara Muncak Tuo dengan urang santiang tersebut.

Kelengkapan utama baburu tentu saja adalah anjing. Anjing dewasa yang bagus untuk berburu dinilai berdasarkan kekuatannya untuk berlari dan keberaniannya bergumul melawan babi. Sementara anjing kecil berdasarkan keturunannya. Kalau induknya adalah anjing paburu maka diyakini anaknya pun akan bagus untuk berburu. Arena perburuan ini sekaligus juga menjadi pasar untuk mencari anjing yang bagus. Anjing yang berhasil membunuh babi biasanya akan diincar oleh para peburu, bukan saja untuk dibeli tapi juga untuk dicuri. Hal itu lazim karena secara ekonomi, harga seekor anjing yang telah hebat berburu biasanya mencapai jutaan.

Baca Juga: Hukum Memelihara dan Melatih Anjing

Anjing-anjing hebat ini selalu mendapatkan perawatan ekstra dari tuannya. Saking istimewanya perawatan itu sehingga ada pameo yang mengatakan bahwa peburu lebih sayang anjingnya ketimbang anaknya sendiri. Sebagai alat baburu, anjing juga memiliki kelengkapan-kelengkapan semisal tali/rantai dan kala (kalung) yang ketika alek baburu biasanya dipakai yang terbagus dari koleksi si peburu.

Di samping anjing ada kelengkapan-kelengkapan lain yang selalu ada pada setiap peburu. Di pinggang paburu biasanya selalu terselip sebilah pisau yang panjangnya kira-kira 30 cm. bentuk pisau itu khas, yaitu melengkung menyerupai perut ikan sehingga lazim disebut pisau paruk bada atau pisai kulu alang (menyerupai kuku elang). Gagangnya diukir dengan indah, menyerupai kepala burung, kepala singa atau kepala ular. Di leher mereka terikat selembar kain deta (destar) yang terkadang diikatkan di kepala. Sementara topi yang lazim digunakan adalah topi turbus, seperti topi yang biasa dipakai oleh koboi-koboi texas. Tampilan seperti itu membuat mereka nampak gagah.

Baburu Identitas dalam Baburu.

Bagi sebagian paburu, mungkin baburu hanya untuk melepaskan hobi. Tapi bagi dalam konteks kebudayaan Minang ia adalah media untuk menegosiasikan identitas sekaligus perlawanan. Dalam budaya Minang yang matrilineal, di mana secara tradisi segala sumberdaya dikuasai oleh perempuan, keberadaan laki-laki ibarat abu diateh tunggua (abu di atas pokok kayu), ringan, tak berarti dan mudah diterbangkan angin. Posisinya rentan dan tak memiliki tempat yang jelas. Di rumah isterinya ia adalah tamu yang kedatangannya hanya diharapkan di malam hari dan sebelum ayam jantan berkokok di waktu subuh ia pun sudah harus minggat, atau orang kampung akan bergunjing, “dasar menantu pemalas”. Sementara di rumah orang tuanya, ia hanya pekerja di ladang dan sawah saudara perempuannya. Yang ada pada dirinya hanyalah kewajiban dan tidak hak.

Bahkan atas anaknya sendiri ia tidak memiliki hak. Dalam tradisi Minang, seorang anak tidak dirujukkan kepada bapaknya, tapi kepada mamaknya (paman dari pihak ibu). Ketika si anak berhasil maka yang ditanya adalah kemenakan siapa itu? dan sebaliknya ketika si anak nakal yang ditanya adalah “siapa mamaknya”. Saat akan menikah, pinangan tidak dilayangkan kepada bapaknya tapi pada mamaknya. Orang minang dahulu tidak peduli bapaknya siapa, karena si bapak hanya pejantan di rumah isterinya.

Dalam kebudayaan seperti itu lazim kalau laki-laki merasa tertekan, tak berarti dan kemudian melarikan diri. Mereka merantau ke mana-mana, mencari dunia baru, kebebasan baru dan terutama identitas baru. Tapi tak semua laki-laki Minang berani dan bisa merantau. Bagi yang tak bisa pergi, solusi lain harus dicari agar kehidupan tidak selalu terasa sempit dan menekan. Dengan berburu, mereka menemuka wahana baru untuk mengespresikan diri mereka, kejantanan mereka dan hasrat berkuasa mereka. Menggiring anjing, yang terkadang jumlahnya lebih dari satu, dengan pisau paruik bada di pinggang dan topi trubus di kepala mereka berlari mengejar babi. Ketika si babi terjatuh dipagut si anjing kesayangan, pisau dicabut dari sarungnya dan disorongkan ke tubuh babi, dan orangpun bertany; ”siapa itu” atau anjing siapa itu”.

Dalam momen berburu seperti itu kejantanan mereka kembali direbut dan harga diri sebagai laki-laki kembali dipulihkan. Apa yang mereka dan anjing mereka lakukan langsung merujuk kepada dirinya sebagai subjek yang mandiri. Tidak ada mamak yang mensubversi dan tak ada istri atau saudari yang menguasai pundi-pundi.

Dalam tradisi baburu tidak hanya ada pengukugan identitas diri sebagai laki-laki dan perlawanan atas dominasi perempuan dan klan matrilinial, tapi juga perlawanan terhadap Islam sebagai agama formal. Dengan menjadikan anjing sebagai ikon perburuan mereka mengangkangi keharuman status anjing. Dan biasanya para pemburu ini juga adalah orang-orang yang dalam kategori Geertz adalah abangan. Dalam kasus ini-dan sebetulnya juga dalam banyak kasus lainnya-terlihat bahwa penetrasi Islam ke Minangkabau tidak persis seperti digambarkan oleh falsafah adat Minang: adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Akulturasi Islam dengan budaya Minang dalam falsafah itu adalah politis, oleh sebab itu ia tidak pernah lekang dari resistensi.

*** Tulisan ini diketikulang oleh Devi Adriyanti

Muhammad Syukri
Warga Surau Tuo, Alumni MTI Canduang, dan PhD Student; Anthropology and Sociology, The University of Western Australia, Perth