Etika Menegur
Ketika melihat seseorang melakukan kesalahan, atau hal yang tak wajar dalam pandangan kita, spontan kita ingin menegurnya. Apalagi kalau kesalahan itu menyangkut masalah agama. Tentu ini sesuatu yang positif. Karena memang substansi dari ajaran Islam adalah amar ma’ruf dan nahi mungkar; mengajak pada yang baik dan mencegah dari yang tidak baik. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara kita menegur? Bagaimana etika menegur? Apakah dengan mempermalukan orang yang ditegur di depan orang ramai? Apakah dengan menyakiti perasaannya? Apakah dengan bahasa yang bisa memancing emosinya? Apakah dengan cara yang tidak membuatnya menyadari kesalahan lalu berusaha memperbaikinya, malah ingin membela diri dan membalas orang yang menegur dengan cara yang lebih kasar?
☆☆☆
Dalam masyarakat Minangkabau, ada satu peribahasa yang tak jarang disalahpahami oleh sebagian orang; “Syara’ batilanjang, Adaik basisampiang.” Peribahasa ini berarti bahwa syara’ atau agama mesti disampaikan secara terbuka, transparan dan apa adanya. Sementara adat disampaikan dengan bahasa-bahasa kiasan; tahu jo nan ampek, tau ereang jo gendeang. Sesuatu yang aib dalam budaya Minang kalau seseorang tidak tahu “kato mandaki, kato manurun, kata melereang, dan kato mandata”.
Hanya saja ada yang menjadikan peribahasa ini sebagai salah satu dalih untuk menegur orang lain dengan bahasa yang kasar dan kalimat yang tajam. Kalau ada yang mengingatkannya untuk menggunakan bahasa yang lebih lunak, ia akan berkata: “Syara’ batilanjang…”.
Akhirnya muncul kesan bahwa dakwah agama itu memang harus keras, tidak menenggang rasa, buka kulit tampak isi. Sehingga tak salah kalau ada yang kemudian menilai bahwa adat lebih sopan daripada agama. Adat menenggang rasa, sementara agama tidak. Adat tahu “jo nan ampek”, sementara agama tidak.
Tapi benarkah demikian adanya?
Baca Juga: Dakwah Kelembutan Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi Batuhampar
☆☆☆
Dalam banyak hadis disebutkan, ketika Rasulullah Saw menegur kesalahan orang lain, beliau lebih sering menggunakan kalimat:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ …
“Kenapa ada yang melakukan ini dan ini…”.
Misalnya ketika beliau tahu ada sahabat yang melihat ke atas ketika salat, beliau menegur hal itu dengan keras dan bersabda:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلاَتِهِمْ
“Kenapa ada yang mengangkat pandangan mereka ke langit di dalam salat?”
Saking kerasnya teguran Nabi, beliau melanjutkan dengan kalimat yang lebih tajam:
لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
“Mereka mesti berhenti dari hal itu, atau penglihatan mereka akan dicabut.”
Ancaman kerasnya disampaikan tapi siapa pelakunya dirahasiakan. Pesan utamanya masuk tapi harga diri mereka yang ditegur tetap terjaga.
Suatu ketika, Rasulullah Saw melihat ada bekas (maaf) dahak di masjid. Beliau tidak mencari tahu siapa pelakunya. Beliau langsung saja membersihkan bekas itu dengan tangannya yang mulia, lalu bersabda:
مَا بَالُ أَحَدِكُمْ يَقُومُ مُسْتَقْبِلَ رَبِّهِ فَيَتَنَخَّعُ أَمَامَهُ، أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يُسْتَقْبَلَ فَيُتَنَخَّعَ فِي وَجْهِهِ؟ فَإِذَا تَنَخَّعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَنَخَّعْ عَنْ يَسَارِهِ، تَحْتَ قَدَمِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَقُلْ هَكَذَا ، وَوَصَفَ الْقَاسِمُ فَتَفَلَ فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ مَسَحَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْض
“Kenapa ada diantaramu yang menghadap Rabb-nya lalu ia meludah ke arah depan? Apakah ia mau kalau ada orang yang meludah di depannya? Kalau diantaramu ada yang ingin meludah ketika salat maka meludahlah ke arah kiri bawah. Kalau tidak bisa maka lakukan seperti ini.” Al-Qasim -sang perawi hadis- menjelaskan dengan cara meludah di tepi baju lalu dilapkan kedua sisinya.
Di saat yang lain ada seorang wanita datang pada Rasulullah Saw bertanya tentang haid. Rasulullah Saw sudah menjelaskan dengan bahasa-bahasa kiasan. Tapi tampaknya wanita itu belum juga paham. Rasul pun malu untuk menjelaskannya dengan bahasa yang lebih vulgar. Akhirnya datanglah Sayyidah Aisyah. Ia lalu menarik tangan wanita itu ke belakang dan menjelaskan padanya secara lebih detail.
Saking pemalunya Baginda, Abu Sa’id al-Khudri mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا، فَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
“Nabi Saw itu lebih pemalu dari gadis di sudut kamarnya. Apabila beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya kami dapat menangkap itu dari mimik wajahnya.”
Ketidaksukaan Nabi Saw tampak pada wajahnya, bukan pada kata-katanya.
☆☆☆
Ada seorang laki-laki yang dijuluki dengan Himar (keledai). Nama aslinya Abdullah. Ia sudah sekian kali dicambuk oleh Nabi Saw karena minum khamar. Tapi ia adalah seorang yang humoris. Tak jarang ia membuat Nabi tertawa.
Suatu ketika ia kembali dibawa ke hadapan Nabi karena telah meminum khamar. Diantara yang hadir menyaksikan itu ada seseorang yang tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya pada Abdullah alias Himar. Orang ini berkata:
اللَّهُمَّ العَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ
“Ya Allah, kutuklah ia. Begitu sering ia dibawa kesini untuk dicambuk.”
Mendengar itu Rasulullah Saw bersabda:
لاَ تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Jangan kutuk ia. Demi Allah, yang aku tahu ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا وحبيبنا ومولانا وشفيعنا وقرة أعيننا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا
[YJ]
Etika Menegur?
Leave a Review