Melanjutkan pembahasan tentang MTI (Madrasah Tarbiyah Islamiyah) dan bahasa dalam tulisan sebelumnya, kali ini akan dikemukakan suatu pokok soalan yang bertumpu pada pertanyaan Bahasa Arab seperti apa yang dipakai di MTI? Di sini istilah MTI dipakai untuk membatasi diri pada sekolah-sekolah agama yang mulai berdiri sejak dasawarsa kedua abad 20 atas inisiatif beberapa ulama tua Minangkabau kala itu dengan menamakan diri Gerakan Tarbiyah Islamiyah. Pembatasan ini dilakukan karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan tentang sekolah-sekolah lain yang sejenis. Walaupun tujuannya untuk menghindari generalisasi yang gegabah, namun pembatasan ini tetap membayangkan kondisi-kondisi yang berkembang di sekolah-sekolah lain tersebut meski tanpa didukung dengan data dan dalil yang akurat.
Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis
Pertanyaan Bahasa Arab seperti apa yang dipakai di MTI dapat dijawab dengan melihat atau mengingat kembali apa yang terjadi di ruang-ruang kelas saat pelajaran agama berlangsung. Bagi yang pernah belajar atau menyaksikan proses belajar-mengajar di MTI tentu akan segera tahu bahwa bahasa Arab yang dipakai adalah bahasa Arab sebagaimana yang dipakai oleh para pengarang kitab-kitab yang dipelajari. Betapa tidak? Metode belajar yang mengandalkan pembacaan atas teks, dalam hal ini adalah kitab-kitab kuning, tentu harus mengikuti bahasa teks tersebut, artinya bahasa yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan pendapatnya. Hal ini akan berbeda dari metode belajar yang mengandalkan eksperimen atau praktik. Mustahil proses belajar yang berbasis pada pembacaan teks mengabaikan bahasa yang dipakai dalam teks tersebut.
Sebagai contoh ketika mempelajari perbandingan mazhab dengan mamakai kitab Bidayat al-Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, bahasa Arab yang dipakai adalah bahasa Arab sebagaimana yang dipakai Ibnu Rusyd untuk mengungkapkan pikiran dan gagasannya kepada pembaca perihal mazhab-mazhab fiqh dan perbandingannya satu sama lain. Kitab ini selesai dikarang kira-kira tahun 1164 Masehi atau 559 Hijriyah. Dengan demikian, salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari kenyataan ini adalah bahwa bahasa Arab yang dipakai ketika mempelajari mazahib (istilah populer di MTI dan pesantren-pesantren lain untuk pelajaran yang membahas kitab Bidayat al-Mujtahid) ini adalah bahasa Arab 850-an tahun yang lalu.
Baca Juga: Panggilan untuk Guru dan Murid di Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Agar ada dua contoh seiring dapat pula dikemukakan satu kitab lagi yang selama ini jadi ikon atau ceno dari MTI, yakni kitab fiqh I’anat at-Thalibin, syarah kitab Fath al-Mu’in. Kitab I’anah dikarang oleh Sayid Abu Bakar yang dimasyhurkan dengan nama Sayid Bakri Ibn al-Arifbillah as Sayid Muhammad Syatha. Tahun berapakah Sayid Bakri menulis kitab ini? Sekitar tahun 1300 H atau sekitar tahun 1905-an. Selain itu, karena yang dipelajari oleh murid-murid MTI sebenarnya bukan kitab I’anah, melainkan kitab Fath al-Mu’in yang di dalam kitab I’anah berada di pinggir, maka praktis ketika seseorang menyebut bahwa pelajar MTI belajar fiqh I’anah yang dimaksud sebenarnya adalah si pelajar sedang membahas kitab Fath al-Mu’in, karangan Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary pada tahun 982 H atau sekitar tahun 1587. Walhasil, bahasa Arab yang dipakai saat seorang pelajar MTI mempelajari fiqh dengan kitab I’anah adalah bahasa Arab yang dipakai Imam Zainuddin al-Malibary untuk mengungkapkan pikiran-pikirannya tentang fiqh sekitar 420-tahun yang lalu.
Yang ingin disampaikan dalam uraian dan contoh di atas adalah bahwa bahasa Arab yang dipakai dalam proses belajar-mengajar di MTI bukanlah bahasa Arab sebagaimana yang dipakai oleh para penutur bahasa Arab di zaman sekarang! Bahasa Arab yang dimaksud saat orang mengatakan di MTI maupun di sekolah-sekolah agama sejenis seorang pelajar akan mendalami kitab-kitab berbahasa Arab adalah bahasa Arab yang dipakai para pengarang mengungkapkan pikiran dan pendapatnya ratusan tahun yang lalu. Bahasa Arab tersebut bukanlah bahasa Arab yang dipakai penutur bahasa Arab di Makkah, Mesir, Yaman atau tempat-tempat lain pada tahun 2000-an saat membeli sikat gigi di warung kelontong, misalnya, melainkan bahasa Arab yang secara formal dipakai sebagai bahasa pengantar pengatahuan di wilayah Andalusia/Kordoba Spanyol 800 tahun yang lalu untuk kasus kitab Bidayat al-Mujtahid, di wilayah Malabar, India, sekitar 400 tahun yang lalu untuk kasus kitab Fath al-Mu’in.
Lalu apa masalah yang muncul dari uraian deskriptif di atas?
Tidak ada masalah yang akan muncul selama seseorang tidak memiliki kesadaran sejarah dalam arti tidak menyadari adanya perbedaan segala sesuatu berdasarkan orientasi waktu: masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Seketika kesadaran ini muncul, maka tsunami pertanyaan dan masalah akan muncul di kepalanya tanpa terbendung lagi. Sebagai misal, dalam rangka mendekatkan pemahaman, istilah “budak” yang dipakai saat membahas dan menjelaskan ayat yang berbunyi “aw ma malakat aimanuhum” di dalam kitab-kitab fiqh berusia ratusan tahun tadi adalah sebuah konsep yang berlaku pada zaman pada saat kitab bersangkutan ditulis. Ketika istilah ini dicari rujukan atau referensinya di dalam kenyataan di masa sekarang, maka saat itu bukan sedikit pertanyaan dan masalah yang muncul. Apakah istilah budak yang dimaksud dalam kitab itu sama dengan pembantu, tkw di Arab Saudi, kuli bangunan di proyek hotel-hotel di Qatar di zaman sekarang atau tidak? Apakah masih ada yang disebut budak itu di zaman kini atau tidak? Dan masih banyak lagi.
Masalah juga tidak akan nongol di kepala seseorang yang memandang bahasa tidak mengalami perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Di dalam bahasa Indonesia, sekitar 50-60 tahun yang lalu panggilan Bung sangat populer dan jadi tren. Tak ada yang tak kenal dengan panggilan Bung Syahrir untuk menyebut mantan Perdana Menteri Indonesia, Sutan Syahrir. Belakangan istilah untuk memanggil seseorang dengan suasana akrab ini bertukar dengan kata “Bro.” Seseorang dengan kesadaran tentang perubahan bahasa dapat awas dan mawas diri ketika menghadapi perubahan dan perkembangnanya. Dia dapat menilai mana perubahan pada level tanda dan mana perubahan pada level rujukan, misalnya. Jika tidak ada kesadaran seperti ini, besar kemungkinan yang dipersoalkan adalah tepat atau tidaknya perubahan itu. Dengan kata lain, perubahan dinilai dari sudut pandang normatif benar-salah: benar atau salahkah saat sekarang kita memanggil Sutan Syahrir dengan istilah Bro Syahrir? Benar atau salahkah istilah Tuanku atau Kanjeng dipakai saat menyebut nama Nabi Muhammad, misalnya, dengan mengatakan “Dalam sebuah hadits Tuanku nan Mulia Nabi Muhammad SAW menyatakan…” atau “Kanjeng Nabi Muhammad telah bersabda….”
Mengulang poin yang telah disinggung di atas, yang ingin dikatakan dalam kesempatan ini adalah bahwa bahasa Arab yang dipakai di MTI dan dipandang sebagai salah satu keistimewaan dan kelebihannya adalah bahasa Arab dari zaman saisuak kala. Persoalan-persoalan akan bermunculan dari kenyataan ini jika dihadapi dengan suatu kesadaran historis dan kesadaran akan perubahan. Kalau kenyataan bahwa yang ada di MTI itu adalah bahasa Arab dulu kala tidak dihadapi seseorang dengan kedua kesadaran ini, maka bagi dia semua hari adalah Hari Senin (Sinayan sajo hari untuknyo).
Maka dalam rangka mengidentifikasi persoalan-persoalan yang akan muncul tersebut, alangkah baiknya jika diperiksa dan dibicarakan terlebih dahulu bagaimana bahasa Arab saisuak kalatadi dipakai di MTI dan sekolah-sekolah agama sejenis pada umumnya. Isya Allah, inilah tugas tulisan rubrik ini edisi selanjutnya.[]
1 Review