Ketika Anda ditanya seperti ini: كَيْفَ أَنْتَ وَعُثْمَان؟ (Bagaimana engkau dan Utsman)? Jawaban Anda tergantung kepada i’rab (posisi) kata عثمان dalam pertanyaan itu. Kalau baris nun pada عثمان adalah dhammah, berarti ia ‘athaf kepada dhamir أنت , maka jawaban Anda adalah : نَحْنُ بِخَيْرٍ (Kami baik-baik saja). Tapi kalau baris nun pada عثمان adalah fathah, berarti posisinya adalah maf’ul ma’ah. Disini yang ditanya bukan kabar Anda dan kabar Utsman, melainkan hubungan Anda dengannya. Maka jawabannya bisa jadi: هو ابن عمي (Ia sepupuku), atau: هو صديقي (Ia sahabatku) dan sebagainya.
***
Syarat utama dan paling mendasar dalam sebuah proses ijtihad adalah memahami Bahasa Arab dengan sangat baik. Memahami di sini tentu tidak cukup dengan pemahaman yang standar-standar saja, melainkan pemahaman yang mendekati batas tamakkun (menguasai secara mendalam). Karena bahasa Arab adalah bahasa yang sangat kaya. Bahasa Arab memiliki struktur dan kaidah yang barangkali tidak dimiliki oleh bahasa apapun di dunia.
Tahukah Anda bahwa untuk kata ‘onta’ saja tak kurang dari 1000 (seribu) kata yang mewakilinya? Ini karena onta adalah hewan yang sangat vital, disukai dan berharga bagi orang Arab. Semakin berharga sesuatu maka semakin banyak kata untuk mengekspresikannya.
Untuk kata ‘singa’ tidak kurang dari 500 (limaratus) kata yang mewakilinya. Ini karena singa simbol kekuatan, ketangkasan dan keberanian. Semakin suatu itu ditakuti dan diagungkan semakin banyak pula kata dan bahasa untuk mengekspresikannya.
Kekayaan kata dalam bahasa Arab ini, di antaranya bisa dirujuk pada kitab al-Muhkam yang ditulis oleh Ibnu Sidah, seorang pakar bahasa yang kafif (كفيف).
***
Kalau hal itu berlaku untuk bahasa Arab yang ‘biasa’, apalagi untuk bahasa Arab yang ‘luar biasa’, yaitu bahasa al-Qur’an.
Ini tidak hanya tentang kekayaan kosakata melainkan juga pilihan (diksi) kata yang sangat tepat. Kata-kata tersebut tidak bisa digantikan oleh kata yang lain meskipun maknanya sama.
Pernahkah kita memperhatikan bahwa dalam kisah Nabi Yusuf, penguasa Mesir disebut dengan istilah al-Malik (raja). Sementara dalam kisah Nabi Musa, penguasa Mesir disebut dengan istilah Fir’aun. Perbedaan sebutan ini berangkat dari fakta sejarah pada masa itu. Orang Mesir kuno menyebut raja mereka yang bukan asli Mesir dengan sebutan Raja. Adapun raja mereka yang asli Mesir mereka sebut dengan Fir’aun. Dan memang, penguasa Mesir di masa Nabi Yusuf bukan orang Mesir asli, melainkan dari bangsa Hyksos.
Meskipun al-Qur’an tidak menjelaskan sejarah secara detail, namun pilihan kata yang digunakan bisa mengantarkan kita kepada berbagai informasi yang sangat berharga.
***
Ada ayat yang membuat Dr. Fadhil Samurra`iy berpikir selama lebih kurang dua tahun untuk menemukan rahasia di balik tarkib-nya ;
لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Tidak ada ketakutan terhadap mereka dan mereka tidak merasa sedih.”
Kenapa untuk ‘takut’ digunakan isim sementara untuk ‘sedih’ digunakan fi’il? Kenapa untuk ‘sedih’ diberikan penekanan sebelumnya dengan dhamir هم? Kenapa kata خوف marfu’, bukan manshub dengan la an-nafiyah lil jins?
Setelah berpikir, mentadabburi, mengkaji dan memohon fath (pencerahan) dari Allah SWT, ada beberapa kesimpulan yang beliau dapatkan:
Pertama, kalau untuk ‘takut’ digunakan fi’il sehingga menjadi لاَ يَخَافُوْنَ (mereka tidak takut), ini berarti bahwa mereka (orang-orang beriman) tidak akan merasa takut di hari itu (akhirat). Padahal sesungguhnya mereka memang merasakan takut. Buktinya, Allah SWT berfirman dalam ayat yang lain :
… يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ (النور : 37)
“…mereka takut akan hari di mana hati dan pandangan berbolak-balik.”
Juga dalam ayat yang lain:
إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا (الإنسان : 10)
“Sesungguhnya kami takut (azab) Tuhan pada hari orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.”
Jadi, secara realitas mereka bisa saja merasa takut di hari itu; hari yang sangat dahsyat dan menentukan. Karena itu tidak digunakan fi’il; يخافون .
Ketika yang digunakan adalah bentuk isim; خوف maka maknanya adalah: tidak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap mereka.
Mereka boleh jadi merasa takut karena tabiat hari itu memang menakutkan. Akan tetapi Rabbul ‘Izzah akan memberikan rasa aman kepada mereka, dan ini yang paling penting.
Bisa jadi seseorang tidak merasa takut pada sesuatu, padahal sesuatu itu berbahaya bagi dirinya. Sebaliknya, bisa jadi seseorang merasa takut padahal sesuatu itu tidaklah membahayakan. Jadi, yang paling penting bukan takut atau tidak takut, melainkan apakah ia aman atau tidak, dan inilah yang terkandung dalam kalimat: لا خوف عليهم.
Kedua, digunakan kalimat ولا هم يحزنون (dan mereka tidak merasa sedih), dalam bentuk fi’il, bukan dalam bentuk isim, seperti : ولا حزن عليهم. Karena kalau digunakan dalam bentuk isim, artinya menjadi tidak perlu ada kesedihan terhadap mereka. Dan ini tidak penting. Ada atau tidak ada orang yang bersedih untuk mereka, tidak akan banyak berpengaruh kalau mereka sendiri tetap bersedih. Jadi, kebalikan dari rasa takut, untuk rasa sedih ini yang paling penting adalah mereka tidak merasa sedih. Karena itulah digunakan dalam bentuk fi’il, bukan isim.
Di samping itu, kalau yang digunakan adalah kalimat ولا حزن عليهم, bisa jadi ini adalah azab, bukan rahmat. Penggunaan kalimat ini dalam al-Qur’an adalah untuk sesuatu yang bermakna negatif, seperti firman Allah:
وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُنْ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ (النمل : 70)
“Dan janganlah engkau sedih terhadap mereka (orang-orang kafir) dan jangan pula dadamu merasa sempit terhadap apa yang mereka tipudayakan.”
Ketiga: penekanan pada kalimat ولا هم يحزنون dengan menggunakan dhamir هم sebelum fi’il, mengandung makna yang sangat unik. Penekanan ini berarti bahwa “Bukan mereka (orang-orang beriman) yang bersedih, tapi merekalah (orang-orang kafir) yang akan bersedih…”.
Sama halnya ketika seseorang dituduh mencuri sesuatu, lalu ia berkata:
ما أنا سرقته
“Bukan aku yang mencurinya…”.
Ta’bir seperti ini tidak saja menafikan perbuatan itu dari dirinya tapi juga sekaligus menetapkannya pada orang lain.
Kalau yang digunakan adalah ولا يحزنون (tanpa penegasan). kalimat ini baru menafikan kesedihan dari orang-orang beriman, tapi tidak menetapkannya untuk orang-orang kafir. Dengan adanya tambahan هم sebagai penegas sebelum fi’il يحزنون ini, berarti mereka (orang-orang beriman) tidak akan bersedih. Justru merekalah (orang-orang kafir) yang akan bersedih.
Semoga Allah SWT buka hati dan akal kita untuk memahami ayat-ayat-Nya.
اللهم افتح علينا فتوح العارفين بك
[YJ]
Leave a Review