scentivaid mycapturer thelightindonesia

Bantahan Syekh Ahmad Kutty atas Penolak Gagasan Salat Jumat dan Tarawih Onlinenya

Bantahan Syekh Ahmad Kutty atas Penolak Gagasan Salat Jumat dan Tarawih Onlinenya
Ilustrasi/Dok. www.nu.or.id

Syekh Ahmad Kutty

Sejak tulisan Syekh Ahmad Kutty, seorang dosen senior dan sarjana Islam di Institute Islam Toronto, Ontario, Canada dipublikasikan, banyak reaksi yang muncul. Ada banyak yang menerima dan tentu juga ada yang menolak dengan segala argumentasinya. Maka, setelah gagasan menjadi kontroversi, Syekh membuat jawaban secara umum, apa yang menjadi keberatan para pembaca.

Ahamad Kutty paling tidak mengindentifikasi sanggahan itu kepada beberapa hal:

Pertama adalah tentang salat Jumat harus dilakukan dengan cara yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SWA dan para sahabat. Jadi Jumat virtual disimpulkan mengubah bentuk ibadah yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam hal ini Syekh menjelaskan, bahwa perubahan bentuk ibadah ini sesungguhnya sudah banyak terjadi sebelumnya. Ia mencontohkan, dengan kasus penggunaan mikrofon pada waktu azan atau salat. Ia menjelaskan bahwa di daerahnya pada awal tahun 1950 masyarakat dihadapkan pada dilema apakah menggunakan mikrofon untuk azan, khotbah dan salat.

Alhasil dari kesepakatan yang diambil dari perdebatan panjang para fuqaha terkemuka akhirnya menyimpulkan, bahwa salat Jumat menggunakan mikrofon tidaklah sah. Karena ini adalah sesuatu yang baru yang tidak ditemukan pada masa Nabi dan para pendahulu. Namun, setelah beberapa tahun kemudian, mikrofon akhirnya digunakan di masjid yang sama, tidak hanya untuk kepentingan azan, Jumat tetapi juga untuk kegiatan ceramah dan perayaan maulid dengan ratusan bahkan ribuan yang dapat manfaat dari penggunaan mikrofon tersebut.

Jadi apa yang sesungguhnya terjadi dengan perubahan yang 180 derajat ini? Syekh mengulasnya, bahwa apa yang ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak sah, karena mengubah bentuk dan cara salat Jumat, akhirnya kemudian disadari sebagai sesuatu yang tidak mengubah bentuk format salat sama sekali. Faktanya, itu hanyalah alat komunikasi dan transmisi suara muazin, khatib dan imam kepada jamaah. Bahkan ini sangat baik membantu para khatib, penceramah, mendengarkan apa yang mereka sampaikan. Kemudian Syekh selanjutnya menggambarkan dengan mengajukan beberapa contoh bagaimana sesuatu yang baru dibuat kaum muslimin setelah kematian Nabi. Dia mengambil contoh adalah menara masjid.

Dalam zaman Nabi Muhammad tidak dikenal menara. Setelah menara, muncul bentuk baru lagi dalam ibadah yaitu mihrab, kemudian mikrofon. Semua yang disebutkan diatas pada awalnya tidak menyenangkan dan ditolak, tetapi kemudian diterima sebagai praktik yang baik karena dianggap tidak mengubah bentuk ibadah. Argumentasi ini diperkuat lagi dengan kejadian belum lama ini yaitu penghentian terhadap praktik mengikuti imam melalui layar televisi atau monitor, namun sekarang telah diterima secara luas.

Baca Juga: Bolehkah Salat Jumat dan Tarawih Online?

Ahamad Kutty terus memperkuat argumennya dengan memberi contoh yang lain, yaitu bahwa masjid yang paling konservatif saja saat ini menyediakan ruangan bagi perempuan untuk salat dengan mengikuti imam melalui layar monitor. Demikian juga pada saat jamaah masjid melimpah pada salat Jumat atau Tarawih, mereka mengikuti imam salat melalui monitor di kafetaria dan di pusat kebugaran. Dalam kasus ini menurut Syekh ketidakterputusan (kontiniuitas) garis (shaf), awalnya dianggap prasyarat dalam salat, telah dilemahkan atau dikesampingkan. Oleh sebab itu jika Jumat virtual dianggap tidak sah karena alasan bahwa hal itu tidak ada di zaman Nabi, bagaimana dengan masjid yang menggunakan layar monitor. Artinya praktik itu juga tidak sah karena tidak ada ditemukan pada zaman nabi.  Jadi sederhananya adalah jika praktik Jumat online pada suatu waktu mungkin dianggap tidak sah, ternyata fatwa tentang itu berubah dengan menganggap monitor itu sebagai alat yang membantu jamaah untuk mengikuti imam.

Kedua adalah Jumat virtual tidak bisa dilakukan karena bertentangan dengan pendapat yang menyatakan bahwa jamaah salat mesti dalam shaf yang satu yang tidak terputus dan tidak ada batas yang tidak masuk akal seperti tembok tinggi, sungai dan lain-lain yang memisahkan jamaah. Memang benar apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa jamaah salat itu harus satu bahunya dalam garis lurus dengan shaf yang baru dan harus sama dengan shaf yang depannya agar tidak ada celah antara shaf. Perintah dasar Nabi ini adalah sebuah kenyataan bahwa imam harus diikuti dalam salat; jika imam takbir, makmum ikut takbir, jika imam rukuk makmum rukuk dan lain-lain. Dan ini bisa dilakukan dengan baik jika shafnya lurus dan tidak terputus. Namun menurut Syekh, meskipun idealnya salat harus berada dalam shaf yang tidak terputus sebagaimana sunah Nabi, namun harus diingat bahwa syariah mempertimbangkan perubahan keadaan dan memungkinkan pelonggaran pembatasan.

Sebagai alasannya dari penjelasan diatas Syekh Ahmad melacak beberapa peristiwa para sahabat di antaranya pertama, adalah ketika Ibn Abbas terlihat sedang salat di maqsurah di luar masjid, di belakang jamaah. Dia berkata, “Tidak ada yang salah dalam salat di pinggiran Masjid mengikuti imam (bahkan jika ada pemisahan dari shaf). Kedua, Salih ibn Ibrahim berkata, “Aku melihat Anas bin Malik salat Jumat di rumah Humayd bin Abd al-Rahman, mengikuti imam Masjid; ada jalan yang memisahkan rumah dari Masjid. Ketiga, Yunus bin `Ubayd berkata: Aku melihat Anas bin Malik salat Jumat mengikuti imam saat dia berada di sebuah ruangan yang terpisah dari Masjid. Keempat, Imam Malik mengabarkan bahwa orang-orang biasa memasuki rumah-rumah istri Nabi (setelah kematian Nabi) dan digunakan untuk salat mengikuti imam Masjid; dia mengatakan hal itu dapat diterima karena masjid yang melimpah (ramai).

Kelima, Imam Malik mengatakan, “salat Jumat dapat dilakukan di halaman masjid serta di tempat tinggal di sekitar masjid. Dan jika masjid penuh sesak maka salat dengan kondisinya shaf tidak sama, atau ada jalan yang memisahkan, maka salat seperti itu sah. Sementara Ibn Rushd menambahkan, “jika seseorang melakukannya tanpa ada masalah melubernya jamaah, atau kebutuhan, tindakannya itu tidak dianjurkan, tetapi salatnya tetap sah. Keenam, Ibrahim al-Nakha`i ditanya: Apa yang Anda katakan tentang seseorang yang salat mengikuti imam masjid dari rumahnya? Dia menjawab, “Tidak ada yang salah dalam melakukannya.” Hasan al-Basari dan Bukhari juga memiliki pandangan yang sama.

Baca Juga: Salat Jumat dengan Tiga Orang, Bolehkah?

Pertanyaannya adalah jika para sahabat, mujtahid dan ulama terdahulu membolehkan salat dari rumah yang terpisah dari imam, mengapa hari ini kita tidak menggunakan pendapat itu dalam situasi yang sulit sebagaimana sekarang. Apakan mereka tidak memahami agama Islam lebih baik dari kita sekarang? Bahkan, menurut Ibnu Taimiyah, keempat imam besar sepakat tentang keabsahan mengikuti imam baik itu diluar atau di dalam masjid. Yang berbeda dari mereka adalah keabsahan salat ketika imam dipisahkan dari para jamaahnya melalui jalan atau sungai yang bisa dilewati kapal. Dan, bahkan dalam keadaan seperti itu, kami menemukan bahwa Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah menganggap salat seperti itu tidak sah sementara Imam Syafi’i dan Imam Malik membolehkannya. Oleh karena itu, para fuqaha besar memiliki perbedaan pendapat tentang masalah ini dan tidak satu pun posisi tunggal.

Kemudian Syekh Ahmad Kutty memperkuat kembali argumentasinya dengan menyuguhkan contoh pada zaman sekarang, yaitu fatwa tentang membolehkan jamaah untuk mengikuti jamaah (jamaah) di Makkah dari hotel yang terhubung ke Haramayn termasuk diantaranya Clock Tower Hotel dan Hotel Safa. Oleh sebab itu orang yang menentang tentang Jumat online pasti juga akan melakukan hal yang sama ketika melakukan Haji atau Umrah yaitu melakukan salat jamaah atau jumat dari hotel.

Nah, jika kita kaku dalam berpegang pada aturan yang dinyatakan oleh mereka yang menentang tentang keabsahan jumat secara online, maka banyak salat yang dilakukan umat Islam di seluruh dunia dianggap tidak sah. Kemudian Syekh mencontohkan dengan dirinya yang sudah lebih empat puluh tahun menjadi imam, dia belum melihat masjid memiliki kemampuan untuk mengakomodasi jamaah yang salat Jumat di lorong-lorong, di tempat senam, kafetaria dan ruang kelas. Jadi Bagaimana kita pada satu sisi menyatakan pelarangan  terhadap Jumat virtual selama pandemi ini, sementara pada saat yang sama mengabaikan kondisi yang sama  pada waktu normal, ketika itu sesuai dengan keinginan kita?

Dalam penutup artikelnya Syekh Ahmad Kuty menyimpulkan bahwa bagi orang-orang yang melihat persyaratan fikih sebagai sesuatu yang muthlak, maka ia telah mengakui ketidaksahan jutaan orang yang salat di Maramayn dan di seluruh dunia termasuk masjid-masjid di daerah mereka sendiri. Allah lebih mengetahui yang terbaik. []

*Tulisan ini sudah dimuat di inioke.com


Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com


Syekh Ahmad Kutty

Muhammad Taufik
Alumni Tarbiyah Islamiyah Canduang, Waarga Surau Tuo Yogyakarta, pengajar di UIN Imam Bonjol Padang dan Aktif di Revolt Institute