Suatu hari Ndalem Kiai Mashuri Alhambra kedatangan dua orang reporter magang nyantrik.co. Mereka ditugaskan untuk mewawancarai Kiai Mashuri Alhambra terkait isu-isu seputar sastra pesantren. Wawancara itu dibuat dalam rangka menyambut “Muktamar Sastra Pesantren I” dengan tema “Sastra dan Peradaban Bangsa” yang diadakan di Asembagus, Situbondo. Kiai Mashuri, sebagaimana kita tahu, merupakan sosok yang tak asing lagi dalam percaturan sastra pesantren. Selain menggurit sejumlah tembang yang sering disyiirkan di pondok pesantren asuhannya, ia juga telah menulis setidaknya dua kumpulan cerita pesantren dan sebuah kumpulan puisi tentang dunia santri. Dan tak kalah penting, ia dikenal telaten mengamati dan mencatat hal-ihwal dunia pesantren, dan kabarnya semua itu sedang ia susun menjadi sebuah kitab “Pijakan Dasar Sastra Pesantren”—yang sampai wawancara dilangsungkan masih terbengkalai.
Reporter kita disambut ramah oleh kiai muda energik itu di teras pojok menghadap perpustakaan penuh buku dan kitab-kitab. Rupanya yang bertugas mewawancarai cuma seorang, yang seorang lagi bertugas mengambil gambar, merekam beberapa adegan dan membantu rekannya mencatat beberapa point penting. Berikut liputannya:
Assalamu’alaikum. Langsung saja, Kiai. Adakah sastra pesantren?
Ada.
Bisa dibuktikan?
Bisa. Dan sejujurnya, saya lebih senang membicarakan hal-hal kecil semacam ini ketimbang soal besar; peradaban bangsa. Tapi saya harap, hal-hal dasar dan teknis dapat menggambarkan sumbangsih yang lebih luas. Baiklah. Kita tahu, ada tiga unsur utama yang membentuk dunia kesusasteraan secara umum: kreator, kritikus, apresiator. Ketiga unsur ini dimiliki oleh sastra pesantren. Ada banyak kreator di pesantren, ada basis pembaca, dan meski sedikit, ada juga kritikus atau pengamat sastra pesantren. Tapi tunggu jangan bertanya dulu soal apakah ketiganya itu ideal? Kita bicara ada dan tiada saja dulu.
Secara umum pula setidaknya ada dua standar kompetensi dunia kesusasteraan: estetis dan sosiologis. Secara estetis, karya-karya pesantren dapat dibentang, dan secara sosiologis ia dibicarakan, diproduksi, dirindukan dan diwacanakan. (Sekali lagi, mohon jangan bertanya kematangan dan kesempurnaan, karena semua masih berproses).
Baik. Tiba gilirannya nanti hal-hal tersebut akan dipertanyakan juga.
Oya, tentu. Terutama dalam hubungan yang lebih besar: kontribusi pesantren terhadap peradaban bangsa. Meskipun saya berharap, dengan membicarakan hal-hal dasar ini, persoalan kontribusi itu terjawab, justru dari hal-hal kecil…
Baik, kita bicara bertahap. Pertama tentang kreator di pesantren. Ada banyak karya sastra lahir di pesantren, baik secara sadar menamakan dirinya, maupun tidak secara langsung disebut demikian. Karya-karya Djamil Suherman termasuk yang secara sadar memproklamirkan diri sebagai sastra pesantren, sebagaimana terlihat dari cantumannya pada cover buku yang diterbitkan: Umi Kulsum, sebuah kumpulan cerpen pesantren (1963-1984) dan Pejuang-Pejuang Kali Pepe, novel perjuangan pesantren (1984). Mahbud Djunaidi menyebut karya-karya Djamil berangkat dari tradisi pesantren. Kata Mahbub, membaca karya-karya Djamil, ia merasa jadi santri lagi.
Secara tidak langsung lebih banyak lagi, misalnya penilaian orang atas karya yang dihasilkan sang sastrawan, dan pemilik karya biasanya cocok dengan sebutan itu. Karya-karya D. Zawawi Imron atau Jamal D. Rahman sering dinilai sebagai karya bernapaskan pesantren, dan saya belum pernah dengar mereka menolak sebutan itu.
Kedua, pesantren sebagai basis reproduksi karya sastra dan tempat regenerasi sastrawan, itu realitas yang tak terbantah. Para santri menulis dengan kegairahan yang tak kalah besarnya dibanding siswa di bangku sekolah umum atau kampus-kampus umum, bahkan mungkin lebih. Sejumlah pondok pesantren terlibat secara ajeg dengan aktivitas kesusteraan baik yang ditujukan ke luar berupa perayaan (festival, lomba-lomba) maupun ke dalam berupa penciptaan (diskusi, kajian, penerbitan) yang bersifat interen. PP Anuqayah dan Al-Amien sebagai contoh yang dapat kita sebut.
Ketiga, sastra pesantren itu punya pendukung yang secara kuantitas sangat signifikan, baik barisan pembaca maupun orang-orang yang punya kepedulian terhadap keberadaan sastra pesantren. Tak kurang dari Gus Dur, Gus Mus, Emha dan Rendra ikut mengomentari dan menganalisa sastra pesantren. Ada Hairus Salim, Jadul Maula, Ahmad Fikri, Hamzah Sahal, Muhammad Al-Fayadl, Faisal Kamandobat, Sholeh UG, Fahmi Faqih, Hasan Basri, Binhad Nurohmat, Gus Haedar Hafidz, untuk menyebut beberapa nama. Selain dari kalangan sastrawan sendiri seperti Mahbub Djunaidi, Ahmad Tohari, Zawawi Imron, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Musthofa W. Hasyim, dan seterusnya pernah bicara sastra pesantren dengan kapasitas sebagai pengamat maupun pelaku.
Sastra pesantren juga memiliki media sosialisasi, selain lewat penerbitan di sejumlah pondok, juga ada yang diusahakan secara umum seperti majalah Fadila, Mata Pena, Media Santri dan Surah. Dan sekarang ada media online yang memuat sastra. Di situ bisa kita lihat yang menyumbang karya banyak dari kalangan santri, terutama para santri dari Madura. Lihat saja puisi-puisi di Tarbiyah Islamiyah, misalnya. Atau di media sampean sendiri, apa namanya, cantrik, ya, saya sempat intip beberapa kali. Mereka juga membuat komunitas seperti Kutub warisan Zainal Arifin Thoha dan Baitul Kilmah asuhan Aguk Irawan MN.
Artinya, baik secara estetik maupun sosiologis, keberadaan sastra pesantren dapat dibuktikan. Sastra pesantren juga memiliki tokoh dan pionirnya, baik di kalangan kreator, pemerhati maupun apresiator, hal yang menjadi prasyarat dalam mengklasifikasi suatu bidang atau genre. Tetapi apakah sastra pesantren itu telah memuaskan semua pihak, telah matang atau samar-samar, itulah problem kita sekarang. Tapi dengan menganggap ia sebelah mata saya rasa akan lebih memperlambat proses kematangannya.
Apa sih definisi sastra pesantren?
Tidak ada definisi tunggal sebenarnya, karena banyaknya kemungkinan yang dapat diolah dari khazanah pesantren. Tapi salah satunya dapat diberikan, sastra pesantren adalah sastra yang lahir dari rahim pesantren, dan mengusung semangat (spirit) serta tradisi pesantren. Artinya, para penulisnya berlatar pesantren, baik sebagai santri maupun sebagai pengajar atau kiai, baik yang masih bertungkus-lumus di pesantren (saat karyanya ditulis/dipublikasi) maupun tidak berkhidmat lagi di pesantren tapi masih punya rujukan berkarya ke tradisi pesantren atau mengangkat kisah-kisah kehidupan pesantren.
Barang siapa yang pernah belajar di pesantren atau berkhidmat di pesantren lalu ia menulis karya sastra, maka karyanya itu dapat dikategorikan sebagai karya pesantren apabila dan hanya bila karyanya mengusung spirit dan tradisi pesantren. Jika tidak, hal itu “batal demi hukum”. Sebab banyak pula penulis jebolan pesantren tapi memilih menulis hal-hal yang tidak sesuai dengan spirit pesantren. Idealnya ‘kan mesti sejalan.
Tapi ada juga definisi tambahan atau perluasan makna sehubungan dengan adanya karya-karya bernapaskan keagamaan, khususnya Islam, dalam apa yang disebut sastra religiositas, sastra profetik atau sastra transendental. Mereka yang menulis dengan giroh seperti itu, lebih tepat disebut sebagai sastra bernapaskan pesantren, karena apa yang diangkat memang sesuai dengan semangat dan tradisi pesantren. Meski tidak bisa dikategorikan langsung sebagai karya pesantren (jangan main klaim dong!), namun dalam pembicaraan yang umum tentang sastra religiositas atau sastra pesantren, hal itu bisa saja jadi rujukan, dan dalam beberapa hal mungkin disebut-sebut juga sebagai sastra pesantren, padahal mangsud-nya mungkin: sastra yang memiliki spirit dan tradisi pesantren.
Beberapa kali disebut spirit dan tradisi pesantren, bisa dijelaskan?
Pesantren itu kan punya spirit (semangat) untuk menciptakan manusia berakhlatul kharimah, apa pun profesi dan bidangnya kelak. Karena itu pesantren tidak hanya mendidik santri untuk berpikir rasional seperti dalam soal-soal kebangsaan, kemanusiaan dan kehidupan sehari-hari, namun juga mengajak mereka berikhtiar dalam dunia tasawuf-spiritual. Orientasinya dunia akhirat, dan itu dinyatakan sejak awal dalam garis-garis pendidikannya, meski tidak verbal. Berbeda dengan sekolah umum, orientasi kepada akhirat ini tidak disebutkan secara terbuka atau malu-malu. Dua dimensi yang jelas inilah membuat pesantren tumbuh sebagai sub-kultur yang unik dalam jagad pendidikan Nusantara. Dilingkupi oleh aura semacam ini, yang tidak hanya dipancarkan oleh sistem formal pesantren tapi juga pribadi para pengajar dan kewibawaan kiai pengasuh, membuat pesantren memiliki semangat untuk mewujudkan orientasi ini dari segala lini, termasuk tentu karya sastra jika sang santri ternyata menekuni bidang ini.
Sementara tradisi merupakan pola-pola yang tumbuh, berjalan dan dirawat sedemikian rupa dalam dunia pesantren, yang sudah ada sejak dulu kala, baik sebagai temuan pesantren itu sendiri, maupun tradisi-tradisi mainstream yang sudah mendarah-daging dalam pesantren Nusantara, sebutlah tradisi mendaras kitab-kitab kuning, sorogan, hingga sarungan; tradisi menghormati para kiai dengan sowan dan cium tangan, tradisi sholawatan dan mauludan dengan membawakan kitab-kitab klasik seperti Barzanji, Burdah, Diba’, Simtudduror, hingga ziarah kubur. Ini belum ibadah ritual yang dijalankan secara kaffah. Semua itu merupakan tradisi yang hidup dan memiliki khazanah unik yang tidak ditemukan dalam dunia pendidikan umum. Karena itu, wajar jika kita membayangkan bilamana santri atau pengasuh menulis karya sastra, maka khazanah itu akan terbawa, baik disengaja maupun tidak. Kalau tidak, keterlaluan sampean! (tertawa)
Marwah sastra pesantren, saya kira mula-mula ditentukan oleh dua hal ini, meski saya tidak menyebut hanya sebatas ini. Dan jika bicara kontribusinya terhadap peradaban bangsa, maka kita bisa meniliknya dari sini.
Apakah sastra pesantren punya akar, tradisi dan sejarah di Nusantara, dan secara spesifik dalam sastra Indonesia modern?
Nah, prasyarat berikutnya dalam menentukan suatu bidang memang adalah sejarah sehingga segala sesuatu dapat dilacak keberadaannya, kemudian eksistensinya hingga hari ini. Jauh sebelum karya-karya Djamil Suherman dijadikan rujukan utama sastra pesantren, kemudian karya-karya kritis A.A. Navis (semacam “Robohnya Surau Kami” dan “Kemarau”) disebut sebagai karya sosial yang memuat nilai religiositas, khazanah sastra Nusantara sudah diawali oleh karya-karya sufistik Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Ronggowarsito dan Sultan Qaimuddin. Karya-karya mereka memang disebut secara umum sebagai karya sufistik atau profetik, namun tradisi yang mendorong lahirnya karya tersebut saya kira juga tidak lepas dari pola perkumpulan tarekat yang dekat dengan tradisi pesantren, terutama pesantren tradisional. Keberadaan mereka di istana atau kraton juga sarat dengan nilai-nilai keagamaan dan norma adat setempat, sehingga karya mereka memadukan tunjuk-ajar Islam dan tunjuk-ajar adat tempatan.
Dalam perjalanannya kemudian, sastra religiositas dan transendental terus mendapat tempat dan mengalami varian-varian signifikan. Istilah sastra religiositas dan transendental itu pun diserpih menjadi sastra sufistik dan sastra profetik secara lebih spesifik. Ini ketika misalnya muncul pandangan Romo Mangunwijaya tentang sastra religiusitas sebagai karya yang memuat penghormatan kepada nilai kemanusiaan, kemudian Emha menyebut sastra sosial yang kuat dan jelas keberpihakannya adalah juga karya religiositas. Namun Abdul Hadi WM memakai sastra sufistik untuk menyebut sastra-sastra Islam dan Kuntowijoyo bahkan memaklumatkan sastra profetik. Artinya di dalam kedua pandangan itu, baik nilai-nilai ketuhanan secara makro maupun Islam secara khusus, sastra pesantren sama-sama mendapat sandarannya. Mau disebut sebagai sastra religiositas, monggo, disebut sastra profetik kena. Itu memberi landasan yang kuat bagi sastra pesantren untuk bergerak.
Ini kemudian dibuktikan dalam sastra Indonesia modern, ada banyak nama dan karya bernilai kepesantrenan mewarnai jagad sastra kita. Acep Zamzam Noor dalam Puisi dan Bulu Kuduk bab “Sastra, Santri, Puisi” (Nuansa Cendekia, 2011: 75), mencatat sejumlah nama yang berkiprah dalam sastra bernapaskan Islam, tahun 1960-an misalnya ada Bachrum Rangkuti, Djamil Suherman, Mahbub Djunaidi, M. Saribi Afn, Mohammad Diponegoro, Ali Audah, Goenawan Mohammad, dan Taufiq Ismail. Tahun 1970-an ada Danarto, Kuntowijoyo, Arifin C. Noor, M. Fadoli Zaini, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Hamid Jabbar, Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron dan Emha Ainun Nadjib. Tahun 1980-an ada A. Mustofa Bisri, Nasruddin Anshory Ch, Jamal D. Rahman, Ahmad Syubanuddin Alwy, Ahmad Nurullah, Mathori A. Elwa, Hamdy Salad, Abidah El-Qalieqy, Kuswaidi Syafe’i, Abdul Wachid BS, Ahmadun Yossi Herfanda dan Ajamuddin Tifani.
Belakangan muncul para penulis muda dari basis pesantren, untuk menyebut sejumlah nama ada Aguk Irawan MN, M. Faizi, Faisal Kamandobat, Makfud Ikhwan, Ahmadul Faqih Mahfudz, Sofyan RH Zaid, Muclish Amrin, Mashuri, Chandra Malik, Anwar Fuadi, Abiburahman El-Sihrasy, Badrus Sholihin, Zaki Zarung, Khilma Anis, dan silahkan tambahkan yang lain.
Apakah kalau penulis berlatar belakang pesantren tapi tidak menulis tentang pesantren, maka karyanya tidak bisa dikategorikan sebagai sastra pesantren?
Saya luruskan, bukan tentang pesantren, tetapi yang memiliki dua hal tadi: spirit dan tradisi pesantren. Bisa saja prosa yang ia tulis tidak berkisah tentang kehidupan di pesantren, puisi dan drama yang ia angkat tidak bercerita tentang dunia per-kiai-an, dan seterusnya, namun karya itu kuat menggambarkan cahaya ilahiah di antara cahaya dunia, punya orientasi nilai yang kuat kepada kemanusiaan dan kebangsaan tapi juga sekaligus pada kehidupan akhirat, sebagaimana yang menjadi pegangan pesantren, maka karya itu sahih sebagai karya pesantren. Novel Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, memiliki muatan erotisisme yang kental, tradisi-tradisi dukuh yang mengkeramatkan makam, menjadikan ronggeng sebagai simbol kesuburan, namun orientasinya jelas bukan erotisme itu sendiri. Muara dari semua itu adalah kesadaran masing orang pada nilai-nilai yang ia pegang dan percayai, di samping dia juga bercerita tentang peran pesantren dan kiai-ustaz dalam peristiwa ’65, dan seterusnya.
Begitu pula buku puisi Aku Kini Doa, Tamparlah Mukaku dan Di Luar Kata karya Acep Zamzam Noor, bisa dianggap sebagai sastra pesantren, karena berhasil memadukan citraan alam ke dalam citraan ilahiah dan kemanusiaan yang kental. Tentang ini misalnya Sapardi Djoko Damono (1996) pernah membahasnya dengan bagus, di mana petani yang mencangkul sawah dalam sajak “Cipasung”, bila dilihat dari kejauhan persis seperti orang sedang sembahyang di atas sajadah. Dan itu menjadi simbol antara kerja dan ritual. “Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental,” tulis Acep. Lewat metafor itu, kata Sapardi, dua dunia pengalaman sekaligus terungkap: kehidupan batin seorang muslim dan kehidupan sehari-hari seorang petani.
Namun sejumlah sajak Acep yang lain, terutama yang mengambil citraan alam sebagai citraan perempuan (dalam pengertian erotik) dan mengurangi secara signifikan unsur-unsur ilahiah, tidak bisa dianggap sebagai sastra pesantren. Meski kita juga harus adil melihat dan memposisikan ini. Dalam proses seseorang, kita bisa saja tidak menemukan karya pesantren pada satu dua karyanya terdahulu, atau belakangan, tapi ada pada karya setelahnya, atau sebaliknya. Begitu yang terjadi pada Acep Zamzam Noor, tidak semua puisinya layak dan tepat disebut mewakili spirit pesantren. Sebab harap dicatat, sastrawan yang bernafas panjang, perlu dilihat secara periodik, setiap karyanya kadang mencerminkan tingkat pencarian pada suatu periode dan suatu kegelisahan. Itu hal yang wajar, tidak bisa digeneralisasi.
Namun—nah, ini ‘kan yang ditanyakan?—jika tulisannya tidak memiliki spirit pesantren, saya kira ia tidak akan dengan serampangan kita anggap sebagai sastra pesantren, sekalipun penulisnya pernah mengecap bangku pesantren atau menjadi santri. Artinya, penulis yang meskipun berlatar pesantren tapi menulis karya sastra yang berbeda dengan spirit pesantren tidak dapat disebut sebagai sastra pesantren. Bagaimanakah kita menganggap Jakarta Undercover dan Kuda Ranjang misalnya sebagai sastra pesantren sekalipun penulisnya, Moamar Emka dan Binhad Nurrahmat, mengaku pernah duduk sebagai santri? Bagaimanakah menempatkan Izinkan Aku Menjadi Pelacur Muhidin M. Dahlan dalam khazanah sastra pesantren, sekalipun ia jebolan pesantren? Sekalipun dalam karya tersebut pastilah tidak steril dari unsur-unsur kemanusiaan dan keilahian (ingat, dunia hitam dan seksualitas juga di bawah kekuasaan Tuhan, jadi jangan main tuding apalagi jebakan, hahaha…), akan tetapi orientasi serta hal-hal yang tampak dominan termasuk strategi yang dipilih berbeda sama sekali dengan spirit dan tradisi pesantren. Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Itu soal pilihan.
Bagaimana sebaliknya? Ia tidak memiliki latar belakang pesantren, tapi karya-karyanya memiliki spirit pesantren…
Wah, ini! Berkah? Mungkin. Kita bisa menganggap karya pengarang demikian sebagai sastra pesantren dalam pengertian yang lebih longgar, yakni sastra yang memiliki napas pesantren. Sebab banyak karya sangat kental unsur ketuhanannya meskipun si pengarang jebolan sekolah umum sebagaimana kita singgung di atas. Karya-karya penulis Forum Lingkar Pena misalnya sangat kental dengan unsur-unsur Ilahiah, mungkin ia bisa berhampiran dengan karya-karya islami serupa. Begitu juga pemerhati. Saya sendiri tidak terlalu banyak mengolah latar pesantren, tidak menulis karya-karya bernapaskan Islam secara langsung, tapi hari ini saya harus bicara tentang sastra pesantren, kenapa tidak? Ini bukti sastra pesantren itu banyak teman, hahaha…(tertawa cukup lama, dan buru-buru menuangkan sirup sirsak)
Bagaimana karya sastra pesantren kita belakangan ini?
(Setelah minum) Secara mutu, karya sastrawan tua atau yang lebih awal banyak yang sudah teruji waktu. Sastra Indonesia tidak bisa menolak Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Acep Zamzam Noor atau Mustofa Bisri. Sekarang mungkin memang harus menunggu, terutama dari penulis muda. Tapi secara kuantitas karya mereka banyak lahir. Untuk melihat kualitas perlu dikaji dengan tidak sambil lalu. Sayangnya, para pemerhati (kritikus) hanya membicarakan sastra pesantren secara terfragmen, sepotong-sepotong, jarang yang tuntas. Kadang juga dengan keragu-raguan. Basis pembaca juga masih perlu dibangun. Sebab sering dijumpai, penulis seolah lebih banyak dibanding pembaca. Pembaca sastra pesantren merasa belum mantap dengan posisinya sebagai pembaca apabila ia juga tidak menulis. Padahal pembaca yang sadar dengan posisinya juga diperlukan dalam basis sastra yang sehat. Syukur-syukur jika keduanya berjalan, membaca dan menulis.
Dalam sebuah media online terbaca kegelisahan seorang penulis yang menganggap bahwa penamaan sastra pesantren itu relatif latah. Bagaimana menurut Anda?
Apakah hanya pihak luar yang boleh memberi nama kepada kita, dan kita akan dianggap latah jika melakukan hal yang sama? Dari mana datangnya istilah Islam Jawa, jika tidak dari orang luar? Bahkan muncul istilah lanjutan “mengislamkan Jawa”? Bukankah priayi-santri-abangan muncul dari luar? Lalu dari mana pula muncul istilah Islam Nusantara? Dari kita sendiri yang melihat bahwa memang ada akar historis, kultural dan dinamika yang mendukungnya, bukan? Jadi sastra pesantren, kenapa tidak?
Mencurigai sastra pesantren, apalagi melihat tak ada urgensi bagi kehadirannya sama saja dengan menghimbau supaya umat Islam tidak usah berpolitik, umat Islam tak perlu menunjukkan identitas keberagamaannya di tengah kebangsaan yang majemuk. Bukankah ini terbalik? Ini sama saja merasa tak perlu partai politik bernapas Islam di tengah bersilewerannya label-label kebangsaan, solidaritas dan keberagaman. Seolah bernapaskan kebangsaan, solidaritas dan pluralitas itu boleh, tapi bernapaskan Islam itu jumud.
Apakah pada dialektika semacam ini sastra pesantren memainkan kontribusinya?
Tentu saja. Sebab sastra pesantren juga memiliki wacana, gerakan, landasan serta para pemikirnya. Semua itu dapat merespons kehidupan sosial-kultural masyarakat dengan empati yang besar. Begitu pula hal-hal teknis dan dasar yang saya sebutkan di atas, secara tidak langsung merupakan kontribusi nyata sastra pesantren dalam merumuskan potensi dan khazanah Nusantara. Dan menjadi lebih nyata jika upaya mengolahnya dalam ranah estetika tidak mengabaikan unsur-unsur etika, moralitas dan spritualitas, sehingga pertanggungjawabannya menjadi jelas.
Baiklah, Kiai, sementara cukup sekian dan terima kasih.
Sama-sama. Jika ada bias di sana-sini itu saya sadari. Tapi ada sejumlah kata kunci yang menurut saya tak bisa diganti dalam pembicaraan sastra pesantren dan kontribusinya pada peradaban bangsa: spirit, tradisi, dan orientasi dunia wal akhirat. Wallahu’allam bissawab.
Kedua anak muda itu bersiap minta diri. Tapi pengamat kita lebih dulu bergegas berdiri. Katanya,”Maaf, saya hampir terlambat. Kiai menunggu tulisan tangannya yang saya ketik dan sunting, sebentar lagi mau dipresentasikan di kampus hijau.” Kedua pewawancara tampak kebingungan. “Kiai Mashuri…?” salah seorang bertanya, bergetar. “Iya, Kiai Mashuri Alhambra sudah menunggu di rektorat. Saya santrinya Kiai Mashuri Alhambra, tapi percayalah, apa-apa yang saya sampaikan lebih-kurang sama dengan pikiran beliau; kami sering tukar pikiran dan adu pendapat kok,” begitu saja ia masuk ke dalam. Kedua pewawancara kita manggut-manggut dan mencoba untuk paham.
_______________________
(Catatan: Tulisan ini berasal dari draf panel Muktamar Sastra Pesantren I, “Sastra Pesantren dan Peradaban Bangsa” di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, 18-20 Desember 2018—ini versi lain dengan sejumlah revisi).[]
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Leave a Review