Menghafal al-Qur’an
Sayyid Muhammad Abdul Hayy al-Kattani, seorang ulama besar dari Maroko. Ia pengarang kitab yang sangat luar biasa tentang sistem pemerintahan Nabi berjudul Taratib Idariyyah, menceritakan tentang seorang guru di salah satu daerah di Maroko bernama Abul Abbas ad-Dar’i.
Abul Abbas memiliki sebuah madrasah. Di madrasah itu ia mendidik para murid untuk mendalami ilmu-ilmu Islam. Apa prioritas utamanya? Menghafal al-Qur’an. Tapi bukan menghafal ala zaman now yang bisa ‘dipaksakan’ dalam satu bulan. Ia menerapkan metode seperti yang diterapkan oleh para sahabat Nabi.
عن أبي عبد الرحمن قال: حدثنا من كان يقرئنا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، أنهم كانوا يقترئون من رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر آيات، فلا يأخذون في العشر الأخرى حتى يعلموا ما في هذه من العلم والعمل، قالوا: فعلمنا العلم والعمل (رواه أحمد فى مسنده)
Abu Abdurrahman as-Sulami (seorang tabi’iy) berkata, “Para sahabat Nabi yang mengajarkan al-Quran pada kami mengatakan bahwa mereka menerima (belajar) al-Quran dari Rasulullah Saw sepuluh-sepuluh ayat. Mereka belum akan menerima sepuluh berikutnya sampai mereka tahu apa saja yang mesti diketahui dan diamalkan dalam sepuluh ayat tadi. Mereka mengatakan, “Dengan demikian kami tahu ilmu dan amalnya sekaligus.”
Baca Juga: Menghafal vs Memaham Al-Qur’an: (Bukan) Kontradiksi
Ini dikuatkan oleh penjelasan langsung dari Ibnu Mas’ud ra :
عن ابن مسعود قال: كان الرجلُ منا إذا تعلَّم عشرَ آياتٍ لم يجاوزهن حتى يعرف معانيَهُن والعمل بهن (رواه الطبري فى تفسيره)
“Kami belajar sepuluh-sepuluh ayat dan belum akan berpindah pada ayat berikutnya sampai kami mengerti makna yang terkandung dalam sepuluh ayat itu dan bagaimana mengamalkannya.”
Oleh karena itu, Abul Abbas membagi satu juz menjadi delapan bagian, atau yang disebut dengan tsumun (seperdelapan), berbeda dengan pembagian yang populer saat ini yaitu rubu’ (seperempat).
Metode menghafal di masa itu masih menggunakan cara klasik yaitu dengan mencatat ayat yang akan dihafal di atas lauh (papan yang ditulis ayat lalu dihapus setelah dihafal).
Langkah pertama, murid diminta menulis tsumun yang akan dihafalnya di atas lauh itu.
Setelah ia hafal, ia menghadap kepada syekh tajwid untuk membersihkan bacaannya; dari sisi makharijul huruf, panjang pendek, dengung dan sebagainya.
Setelah syekh tajwid menilai bacaannya sudah benar dan bersih, ia menghadap kepada syekh rasm untuk belajar bagaimana menuliskan ayat yang sudah dihafalnya itu dengan benar.
Sebagaimana diketahui, rasm Quran bersifat tawqifi. Sebagai contoh, kata ‘shalat’ dalam rasm Utsmani ditulis dengan : الصلوة . Sementara dalam penulisan biasa, hampir semua orang menulis : الصلاة . Menuliskan ayat yang telah dihafal dengan rasm yang benar juga akan semakin memperkuat hafalan seseorang.
Setelah syekh rasm melisensi tulisannya, ia menghadap kepada syekh qira`at. Di sini ia akan diajarkan wujuh (bentuk-bentuk) qira`at untuk ayat-ayat yang telah dihafalnya.
Setelah itu ia menghadap pada syekh nahwu untuk mengetahui segala hal yang berkaitan dengan kajian bahasa ; Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan sebagainya.
Setelah selesai dari syekh nahwu, ia menghadap pada syekh yang terakhir yaitu syekh tafsir. Di sini ia akan diajarkan segala hal yang berkaitan dengan tafsir, fikih dan istinbath hukum dari ayat-ayat yang sudah dihafalnya.
Baca Juga: Tiga Cara Membaca Al-Qur’an Menurut Ulama Ahli Qiraat (Muqri’)
Setelah melewati kelima syekh tadi (syekh tajwid, syekh rasm, syekh qira`at, syekh nahwu dan syekh tafsir) dan ia sudah dinilai mujid (bagus) dalam tsumun yang pertama, ia baru boleh melangkah ke tsumun yang kedua dan kembali melewati proses seperti di atas. Begitulah seterusnya.
Bayangkan… kalau murid ini hafal surat al-Baqarah saja dengan seluruh proses yang ia lewati seperti di atas, bagaimana ia tidak akan menjadi ‘alim?
اللهم فقهنا فى الدين وعلمنا التأويل
Leave a Review