Sudah jamak diketahui bahwa Nabi Adam As merupakan khalifah pertama yang diutus oleh Allah Swt ke permukaan bumi. Asumsi seperti ini biasanya dipahami secara mentah dari teks ayat ke-30 dari Surah al–Baqarah. Namun kalau diteliti lebih lanjut, maka akan ditemui fakta lain yang menjelaskan adanya makhluk lain yang telah lebih dahulu menjadi khalifah di bumi sebelum Nabi Adam As. Selain itu, pemahaman “klasik” di atas juga bisa diklarifikasi melalui pendekatan leksikal terhadap kata khalifah itu sendiri yang bermakna pengganti atau yang menggantikan. Sehingga, berdasarkan pendekatan ini dapat disimpulkan bahwa kekhalifahan Nabi Adam As pada hakikatnya hanyalah misi lanjutan dari rezim (sebut: khalifah) sebelumnya.
Indikasi lain terkait asumsi di atas adalah pertanyaan, bagaimana mungkin Malaikat mengetahui dan bisa memprediksi apa yang akan dilakukan oleh manusia kelak seandainya mereka dijadikan Allah sebagai khalifah di bumi.? Bagaimana bisa mereka menebak secara tepat bahwa manusia itu nantinya akan berbuat kerusakan dan saling bunuh antar satu sama lain, padahal mereka belum mempunyai gambaran sama sekali mengenai penciptaan khalifah tersebut.? Berdasarkan logika ini, mungkin saja hipotesa di atas mempunyai kemungkinan benar. Namun pertanyaannya sekarang adalah siapa khalifah yang dimaksud dan bagaimana cara membuktikannya? Inilah sedikit hal yang akan dibahas dalam tulisan yang sangat sederhana ini.
Setidaknya ada dua riwayat yang menjelaskan persoalan di atas. Salah satu di antaranya adalah Hadis Mauquf yang bersumber dari Ibnu Abbas yang kemudian diriwayatkan oleh Imam Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) dalam tafsirnya Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl Ā’yi al-Qur’ān. Dalam riwayat tersebut diterangkan bahwa makhluk yang pertama kali mendiami bumi adalah bangsa Jin, kemudian mereka berbuat kerusakan dengan cara menumpahkan darah dan saling berperang antar satu satu sama lain. Setelah itu Allah Swt mengutus Iblis kepada mereka, lalu Iblis pun memerangi mereka seluruhnya. Sehingga sebagiannya ada yang terdampar di lautan lepas atau pun terbuang ke daerah pergunungan. Selanjutnya Allah menciptakan Nabi Adam As dan mengutusnya (sebagai khalifah) di permukaan bumi sembari berfirman “Innī Jāi’lun fi al-Ardhi Khalīfah”.[1]
Riwayat ini bisa kita telusuri kebenarannya melalui beberapa pendekatan. Sebagaimana yang diketahui bahwa sahabat Ibnu Abbas merupakan sahabat terbanyak kelima dalam daftar periwayat hadis dari kalangan sahabat setelah ‘Aisyah, yaitu sekitar 1660 riwayat.[2] Hadis tersebut bercampur antara riwayat yang berkaitan dengan perkara ghaib atau pun dengan berbagai problematika syariah lainnya. Bahkan tidak sedikit para sahabat lain ketika tidak mengetahui tafsiran atau jawaban dari sebuah perkara agama, mereka tidak segan-segan untuk bertanya secara langsung kepada Ibnu Abbas. Mujahid, salah seorang muridnya pernah berkata, “Apabila Ibnu Abbas menafsirkan sebuah ayat, maka saya melihat cahaya padanya”. Sahabat Ibnu Umar pernah bilang, “Ibnu Abbas adalah umat Muhammad yang paling a’lim dengan apa yang diturunkan kepadanya”. Begitu juga dengan Ali bin Abi Thalib mengatakan, ”Seolah-olah dia (Ibnu Abbas) bisa melihat perkara ghaib lewat tabir yang tipis”.[3]
Baca Juga: Kajian Hadis Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu
Berdasarkan rekomendasi tersebut, maka dapat dipahami bahwa kredibilitas Ibnu Abbas sebagai seorang mufassir tidak diragukan lagi. Hanya saja dalam menerima Hadis Mauquf kita harus memperhatikan beberapa hal, karena tidak semua Hadis Mauquf bisa diterima dan diamalkan begitu saja. Imam Suyuthi menerangkan apabila Hadis Mauquf tersebut tidak berkaitan dengan ijtihad (pendapat pribadi) seorang sahabat dan yang bersangkutan tidak dikenal sebagai kolektor kisah-kisah Israiliat, maka Hadis Mauquf tersebut dihukumi Marfu’, sebab mereka tidak mengetahui hal itu kecuali dari Nabi SAW. Jadi dalam kasus hadis di atas, Ibnu Abbas tidak mungkin bisa mengetahui kisah tersebut melalui ijtihad, dalam kata lain pasti dari Nabi SAW. Sehingga riwayat tersebut secara matan dapat diterima.[4]
Namun berdasarkan penelitian Dr. Muhammad Husayn al-Dzahabi dalam kitabnya Tafsīr wa al-Mufassirūn, disebutkan bahwa sanad hadis di atas berstatus dhoif dengan sebab inqitha’ (terputus). Karena dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama al-Dhohhāk di mana dia tidak pernah bertemu dengan Ibnu Abbas. Ditambah lagi dalam sanad hadis tersebut terdapat nama Bisyir bin ‘Imārah dan Abi Rauq, yang mana keduanya termasuk perawi yang tidak kredibel.[5] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Abbas di atas adalah dhoif secara sanad. Lantas benarkah asumsi yang mengatakan adanya khalifah lain sebelum Adam AS yang bernama Banu al-Jin (bangsa Jin) itu?
Dalam studi Ilmu Hadis, kedhaifan sanad sebuah riwayat tidak serta merta berimplikasi terhadap dhoifnya matan. Banyak kita temui beberapa hadis yang secara sanad bernilai dhoif, akan tetapi secara makna sangat linier dengan ayat al-Qur’an atau pun hadis sahih lainnya. Bahkan hadis seperti itu, sebagiannya bisa dijadikan sebagai fadhāil al-a’māl sebagaimana difatwakan oleh sebagian ulama dari kalangan Syafi’iyyah. Selain itu kita juga mengenal adanya istilah syawāhid dan mutāba’ah dalam penelitian hadis. Sehingga dengan adanya kajian tersebut bisa saja hadis yang lemah dari segi sanad dibantu (diperkuat) oleh hadis lain yang lebih kuat/sahih sanadnya.
Ternyata hadis di atas mempunyai mutāba’ah (hadis pendukung) dari riwayat lain yang diabadikan oleh Imam Hākim dalam Mustadrak-nya, yaitu Hadis Mauquf yang juga berasal dari Ibnu Abbas. Hadis tersebut dinilai sahih oleh Imam Hākim, namun Imam al-Bukhāri dan Muslim tidak mencantumkannya dalam kitab mereka. Hadis tersebut juga disahihkan oleh Imam al-Dzahabi dalam al-Talkhīs-nya.
Ibnu Abbas menyebutkan:
“Allah telah mengeluarkan Adam AS dari surga sebelum salah seorang pun memasukinya”.
Kemudian Allah berfirman,
“Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi”,
lalu para Malaikat berkata,
“Apakah Engkau akan menciptakan di bumi tersebut orang-orang yang suka berbuat kebinasaan dan menumpahkan darah?, dan (sebenarnya) Bangsa Jin selama 2000 tahun sebelum penciptaan Adam sudah berada di bumi (sebagai pemimpin), kemudian mereka membuat kerusakan dan saling menumpahkan darah”. Maka tatkala Allah mengatakan, “innī jā’ilun…”, yang dimaksud dengan mereka di sana adalah Bangsa Jin”. Ketika mereka berbuat kerusakan, maka Allah pun mengutus pasukan dari golongan malaikat, kemudian para malaikat tersebut memerangi mereka dan mengusir mereka sampai ke dasar lautan dan puncak pegunungan”.
Kemudian malaikat berkata,
Baca Juga: Pentingnya Mengaji Akidah dari al-Aqwal al-Ardhiyyah
“Akankah Engkau menciptakan makhluk yang akan berbuat kerusakan lagi sebagaimana yang dilakukan oleh Bangsa Jin dahulu? Allah menjawab, “Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui”.
Berdasarkan hadis ini, maka benarlah hipotesa yang mengatakan bahwa Jin merupakan khalifah pertama di permukaan bumi. Namun karena mereka tidak menjalankan tugas kekhalifahan dengan baik, maka mereka pun disiksa oleh Allah dan diperangi melalui tentara-Nya yang terdiri dari Malaikat dan Iblis. Kemudian barulah akhirnya Allah memberikan jabatan khalifah itu kepada manusia, walaupun keputusan tersebut sempat diprotes oleh Malaikat yang khawatir kalau apa yang dilakukan oleh Jin dahulu juga dilakukan oleh manusia. Namun Allah berkehendak lain dengan menetapkan Nabi Adam As (manusia) sebagai khalifah di bumi sampai saat ini. Peneguhan Nabi Adam As sebagai khalifah ini juga dijelaskan oleh Allah Swt dalam Surah al-Ahzab ayat ke-72.
Sebagian ahli tafsir isyari, sebagaimana yang disebutkan oleh Nasarudin Umar, menyatakan bahwa protes yang dilontarkan oleh malaikat kepada Allah Swt tersebut merupakan salah satu bentuk “pembangkangan” yang pernah dilakukan oleh malaikat. Hal ini berakibat sebagian mereka diturunkan dari arsy ke langit dunia, namun tidak sampai diusir ke dunia seperti halnya iblis. Para ahli tafsir tersebut menafsirkan kata-kata “ālīn” (merasa lebih tinggi) yang terdapat dalam Surah Shād ayat 75 sebagai salah satu sifat malaikat yang dalam hal ini bernilai negatif, akan tetapi tidak seperti iblis yang secara terang-terangan menyatakan kesombongannya terhadap Nabi Adam As. Ia merasa bahwa unsur penciptaannya yang terbuat dari api jauh lebih baik dan mulia dari unsur penciptaan manusia yang berasal dari tanah.
Sebenarnya
masih banyak riwayat lain atau pun kitab-kitab tafsir yang mu’tamad menerangkan
persoalan ini, seperti apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Hātim yang bersumber dari
Ibnu Umar dalam tafsirnya Tafsīr
Ibnu Abī Hātim, Tafsīr
al-Durru al-Mantsūr karya al-Suyūthi, Tafsīr al-Qur’ān al-Ā’zhīm karya
Abū al-Fida’ Ismāil bin Umar Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Baghawi karya
Abū Muhammad Husayn al-Baghawi dan lain-lain.[]
[1] Lihat Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib al-Amili al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil Ayi al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Salam, 2008), vol. 1, hal. 299. Bandingkan dengan Abu al-Fida’ Ismail ibn Umar ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyq, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Mesir: Dar al-‘Akidah, 2007), vol. 1, hal. 161. Abdurrahman ibn al-Kamal Jalaluddin al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), vol. 1, hal. 111.
[2] Lihat Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, (Indonesia: Al-Haramain, cet. VII, 1977), hal. 199. Berikut urutan para sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis : Pertama, Abu Hurairah dengan 5378 hadis. Kedua, Abdullah ibn Umar dengan 2630 hadis. Ketiga, Anas ibn Malik dengan 2286 hadis. Keempat, Aisyah dengan 2210 hadis. Kelima, Abdullah ibn Abbas dengan 1660. Dan keenam, Jabir ibn Abdillah dengan 1540 hadis.
[3] Abu Umar Yusuf ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abd al-Bar ibn Ashim al-Qurthubi, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab, (Beirut: Dar al-Jil, 1412 H), vol. 3, hal. 935. Bandingkan dengan Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn ibn Abd al-Karim ibn Abd al-Wahid al-Syaibani al-Jazari/Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1996), vol. 3, hal. 296. Dan Ahmad ibn Ali ibn Hajr Abu al-Fadl al-Asqalani al-Syafi’i, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), vol. 4, hal. 149.
[4] Lihat Abdurrahman ibn al-Kamal Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Fi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Mesir: Dar al-Hadis, 2004), hal. 154. Bandingkan dengan Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, hal. 131-132. Dan Ali Mustafa Ya’qub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hal. 4. Hadis Marfu’ adalah hadis yang langsung dinisbatkan kepada Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat-sifat tertentu. Sedangkan Hadis Mauquf adalah hadis yang dinisbatkan kepada sahabat baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.
[5] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Hadits, 2005), vol. 1, hal. 71.
Leave a Review