Syi’ah di Aceh Syi’ah di Aceh Syi’ah di Aceh Syi’ah di Aceh
Menelusuri jejak masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia bahkan di Asia Tenggara tidak dapat dipisahkan dari peran Aceh sebagai pintu masuk pertama penyebaran agama Islam di Nusantara. Saat ini lebih dari 98 persen penduduk provinsi yang berjuluk Serambi Makkah ini beragama Islam.
Dari Aceh, Islam disebarkan ke pulau-pulau lain di Nusantara. Wali songo yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa, menurut sejarawan mereka pun berasal dan belajar di Aceh. Dakwah para ulama, dai dan mubaligh dimulai dari Aceh berhasil membuat mayoritas penduduk Nusantara beragama Islam. Saat ini Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Diperkirakan 229 juta orang Indonesia adalah penganut agama Islam. Jumlah ini mencapai 87,2 persen dari total populasi Tanah Air atau 13 persen dari total populasi Muslim di seluruh dunia.
Islam yang berkembang dimulai dari Aceh hingga seluruh Nusantara adalah Islam Sunni atau Ahlussunah wal Jama’ah dengan mazhab fiqih Syafi’iyah. Namun, sebagian ahli menyebut bahwa Syiah adalah aliran yang pertama hadir di Aceh dan juga di Indonesia. Lantas benarkah Syiah adalah aliran pertama yang hadir di Aceh tepatnya di Perlak seperti yang disebutkan oleh Prof. Ali Hasymi dalam bukunya (Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara)?
Mengacu pada seminar tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia yang telah digelar tiga kali yakni di Medan (1963), Banda Aceh (1978) dan Kuala Simpang (1980), disimpulkan bahwa Islam datang langsung dari Arab pada abad pertama Hijriah atau ke-7 Masehi.
Kesimpulan ini selaras dengan pendapat Buya Hamka bahwa Islam masuk ke Aceh sejak abad pertama Hijriah (ke-7 atau 8 M) namun ia menjadi sebuah agama populis pada abad ke-9 seperti pendapat Ali Hasymi. Sedangkan para orientalis seperti Snouck Hourgronje berpendapat Islam masuk pada abad ke-13 M dengan bukti nisan Sultan Malikussaleh, Sultan Kesultanan Samudera Pasai.
Diantara manuskrip yang menjelaskan proses masuknya Islam di Aceh dan Nusantara adalab Kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai. Menurut kitab ini, seorang mubaligh yang bernama Syekh Ismail telah datang dari Makkah sengaja menuju Samudera untuk mengislamkan penduduk di sana. Sesudah menyebarkan agama Islam seperlunya, Syekh Ismail pun pulang kembali ke Makkah. Dalam kitab tersebut disebutkan pula negeri-negeri lain di Aceh yang turut diislamkan, antara lain: Perlak, Lamuri, Barus dan lain-lain.
Baca Juga: Teungku Syiah Kuala: Pemuka Ulama Aceh
Informasi lainnya datang dari penjelajah Maroko, Ibnu Batuttah. Dia mengunjungi Samudera Pasai selama 15 hari pada 1345 (Alfian, 1973:21). Ibnu Batuttah bertemu dengan pemimpin Kesultanan Samudra Pasai yang waktu itu dijabat Sultan Malik Az-Zahir.
Ibnu Batuthah dalam bukunya Tuhfat al-Nazha menuturkan Samudera Pasai sudah menjadi pusat studi Islam di kawasan Asia Tenggara. Ia juga menyebut bahwa Sultan Malik Az-Zahir bermazhab Syafi’i dan taat kepada ajaran Muhammad SAW, dan dekat dengan ahli agama Islam (ulama).
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut bahwa para keturunan Arab dari kalangan Syarif (keturunan Ali bin Abi Thalib atau Ahlul Bait) inilah yang mendirikan kesultanan Samudera Pasai. (Syed Muhammad Naquibn al-Attas, Historical Fact and Fiction). Keturunan Syarif jugalah yang banyak mendirikan kesultanan-kesultanan lain di Nusantara.
Identitas sebagai keturunan Ahlul Bait ini yang kemudian mengundang diskusi tentang apa madzhab pemikiran pendakwah Islam paling awal itu. Dalam buku ‘Peran Ahlul Bait dalam Penyebaran Islam di Nusantara (Rausyan Fikr Institute,2013). dijelaskan bahwa penjejak Islam pertama kali di Aceh beraliran Syiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa Peureulak (Perlak) merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara berpaham Syiah.
Pendapat ini ternyata berasal dari Prof. Ali Hasymi yang menulis buku Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Dalam buku ini ia menulis:
“Usaha mereka untuk mengislamkan Peureulak berhasil dengan baik sekali, di mana dalam waktu yang relative singkat sebahagian besar rakyat Peureulak telah masuk Islam dan pada hari Selasa tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) diumumkan proklamasi berdirinya Kerajaan Islam Peureulak, dengan raja yang pertamanya Sulthan Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah, turunan Arab-Quraisy, beliau menganut aliran politik Partai Syi’ah” (A. Hasymi, Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, hal. 46).
Ali Hasymi berpendapat, di Aceh telah terjadi perebutan antara Ahlussunnah dan Syiah. Menurutnya kelompok Ahlussunnah memberontak dan memenangkan yang akhirnya mengubah Peureulak menjadi kerajaan Sunni. Begitu pula menurutnya terjadi dalam Kerajaan Samudra Pasai.
Akan tetapi, dalam penjelasannya Prof. A. Hasymi tidak menunjukkan bukti ke-Syi’ah-an kerajaan Peureulak secara jelas. Ada sedikit keterangan yang masih ‘buram’ yang berasal dari Kitab Idharul Haq fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Fasy. Yaitu: ‘Adapun rombongan ‘Misionaris Islam’ yang dipimpin Nahkoda Khalifah (Syarif Muhammad al-Nafs al-Zakiyya bin Syarif Abdullah al-Kamil bin Syarif Hassan al-Muthanna bin Sayyidina Hassan Sayyidina Ali bin Abi Thalib) semuanya orang Syi’ah, yang di Negeri Arab telah ditindas dan dikejar-kejar sejak Daulah Umawiyah dan sampai-sampai kepada Daulah Abbasiyah” (hal. 46).
Ada kemungkinan A. Hasymi keliru dalam membedakan antara keturunan Ahlul Bait Sunni yang dikejar-kejar kekhalifahan Umayyah dengan Syi’ah yang memasang platform mazhab Ahlul Bait.
Hal ini dapat ditelusuri dari bukti yang disodorkan hanya karena mereka bergelar ‘syarif’ atau ‘sayyid’, keturunan Ali bin Abi Thalib, dan dikejar oleh Bani Umayyah. Doktrin sentral Syi’ah yaitu imamah tidak dibuktikan dalam keterangannya.
Harus ditegaskan, Ahlul Bait sesungguhnya tidak identik dengan Syi’ah. Para imam yang diklaim Syi’ah merupakan keturunan ahlul bait berakidah Ahlussunnah (Sunni). Sejak dahulu kala, aliran Syi’ah selalu membawa-bawa nama Ahlul Bait, dalam arti bahwa kaum Syi’ah –menurut asumsi mereka- adalah orang-orang yang mengikuti dan membela Ahlul Bait.
Padahal sebenarnya Ahlussunah (Sunni) sangat mencintai Ahlul Bait dan juga ashabi Rasulullah SAW. Berbanding terbalik dengan Syiah yang mencaci maki dan melaknat sahabat Rasulullah SAW bahkan istri Rasulullah SAW sendiri.
Pada masa Daulah Umayyah tepatnya masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik terjadi persengkataan politik antara Hisyam dengan Zaid bin Ali Zainal Abidin (seorang sayyid keturunan Ali bin Abi Thalib). Zaid merupakan saudara Muhammad al-Baqir, seorang keturunan Ahlul Bait yang diklaim oleh Syi’ah sebagai imamnya. Sengketa ini bukan sebab persoalan akidah. Zaid dan Hisyam sama-sama berpaham Ahlussunnah. Hanya saja Hisyam salah satu raja yang otoriter. Khususnya terhadap para sayyid keturunan Ali Zainal Abidin.
Zaid bin Ali ini seorang Ahlussunnah tulen. Beliau merupakan guru dari Imam Abu Hanifah, salah seorang mujtahid fikih dalam Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan, ketika terjadi perselisihan dengan Hisyam, Imam Abu Hanifah menunjukkan loyalitasnya kepada Zaid bin Ali. Imam Abu Hanifah pernah menyatakan dukungannya kepada Zaid. Ia berkata: “Keluarnya Zaid (dari pemerintahan Hisyam) menyamai keluarnya Rasulullah SAW pada waktu perang Badar”. Atas sikapnya ini, Imam Ja’far al-Shadiq memuji Imam Abu Hanifah: “Semoga Allah SWT memberikan rahmat kepada Abu Hanifah. Kecintaannya kepada kami Ahlul Bait benar-benar nyata dalam pertolongan yang diberikan kepada kami” (Abu Zahrah, al-Imam Zaid Hayatuhu wa ‘Atsaruhu, hal. 72).
Terjadinya huru-hara dan fitnah kaum Syiah pada masa Dinasti Umayyah ini juga menjadi faktor banyak habaib yang hijrah ke negara lain. Khususnya rombongan Ahmad bin Isa Al Muhajir yang hijrah ke Hadramaut Yaman. Di Hadramaut beliau mengajarkan madzhab Syafi’i. Dari keturunannyalah lahir dai-dai keturunan Habaib yang menyebarkan Islam ke Nusantara.
Prof. A. Hasymi juga menilai jejak Syiah ditemukan dalam pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin al-Sumatrani. Dia menulis: ‘Dari uraian-uraian yang lalu, dapat dipahami bahwa pertentangan yang kian lama kian mendahsyat antara golongan Syi’ah dengan golongan Ahlussunnah, pada mulanya adalah berlatar belakang politik. Tetapi, lambat laun – seperti halnya di negeri Arab sendiri – latar belakang politik itu mengabur dan menonjol latar belakang akidah, thariqat, filsafat dan tasawuf, sekalian sekali-kali wajah politiknya menampakkan diri. Latar belakang “thariqat/filsafat” sangat menonjol setelah tampil ke arena Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Saymsuddin Sumatrani di satu pihak, dan Syekh Nuruddin Ar-Raniri serta Syekh Abdur Rauf Syah Kuala di pihak yang lain” (hal. 52).
Selanjutnya, secara khusus ditulis tentang Syamsuddin Sumatrani: “Sekalipun Syekh Syamsuddin Sumatrani seorang ulama beraliran Syiah yang menganut wahdatul wujud, namun dia tidak dapat mengembangkan pahamnya itu dengan mempergunakan kedudukan pentingnya dalam negara karena Sultan Sayidil Mukamil dan Sultan Iskandar Muda mempunyai kepribadian yang kuat di samping kebijaksanaan yang mengagumkan sebagai negarawan ulung, ditambah lagi karena Syekh Syamsuddin sendiri berpengetahuan dan berpaham luas”.
Jadi, anggapan Syiah terhadap dua sufi Aceh tersebut semata berdasarkan aliran pemikiran tasawufnya yang disebut beraliran ‘wujudiyah’. Tentu saja, alasan ini sangat lemah, serta tidak berdasar sama sekali. Mungkin juga alasan A. Hasymi menganggap ajaran tasawuf falsafi seperti aliran ‘wujudiah’ adalah Syiah didasarkan pada pemahamannya bahwa Syekh Siti Jenar yang juga mengajarkan paham wujudiyah adalah Syiah dengan alasan beliau pernah berguru pada ulama Syiah di Persia. menurut A. Hasjmy, Syekh Siti Jenar yang bernama asli Syekh Abdul Jalil adalah ulama Syiah yang hidup di masa kepemimpinan Ratu Nahrisyah di Samudera Pasai (1400-1428).
Pelabelan Syiah terhadap Syekh Siti Jenar karena beliau pernah belajar kepada ulama Syiah di Persia juga tidak dapat langsung dibenarkan. Begitupun dengan ajaran manunggal kawulo gusti atau wujudiyah yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar juga tidak dapat disebut ajaran Syiah. Syekh Siti Jenar yang juga terdapat perbedaan pendapat terkait nama asli beliau apakah Hasan Ali, Sidi Zunnar atau Abdul Jalil, menempuh pendidikan agamanya pertama kali di Padepokan Giri Amparan Jati. Disana beliau belajar ilmu nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadits, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yang akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dengan pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463.
Selesai belajar di Giri Amparan beliau berangkat menuntut ilmu ke Baghdad dan Makkah. Di Baghdad, beliau belajar agama dari ulama-ulama dari berbagai aliran seperti Syi’ah Ja’fariah, Sunni Sufi, bahkan Mu’tazilah. Ketertarikannya mengenai hakikat sufi bermula dari pertemuannya dengan ulama Malaka asal Baghdad Syeikh Ahmad al-Mubasyarah dalam perjalanan menuju Baghdad. Saat itu Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya, yaitu “ke-Esaan Af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yang tergelar di alam semesta ini, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat, pada hakikatnya adalah af’al Allah. Sesampainya di Baghdad, Syekh Siti Jenar menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Di rumah keluarga al-Tawalud beliau belajar banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Saat di Baghdad ini juga, Syekh Siti Jenar mendapatkan baiat dan silsilah tarekat Akmaliyah dari Syeikh Ahmad al-Baghdadi. Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dengan baik tradisi sufi dari al-Thawasin-nya al-Hallaj (858-922), al-Bushtami (w. 874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w. 899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w. 995), Risalah-nya al-Qusyairi (w. 1074), Futuhat al-Makikiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w. 1111), dan al-Jili (w. 1428).
Secara kebetulan periode al-Jili, dangat dekat dengan Syeikh Siti Jenar, sebab saat Syekh Abdul Karim al-Jili meninggal, Syeikh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-pemikiran al-Jili, merupakan hal yang masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia. Dari sekian banyak kitab suci yang dibaca dan dipahaminya, yang paling berkesan pada diri Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Ilahiyah, dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tentang sesuatu yang pertama dan terakhir). Saat pulang ke Jawa beliau mengajarkan konsep dalam teologi-sufi dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, di samping karena proses pencarian spiritualnya, yang memiliki ujung pemahaman yang mirip dengan al-Jili dan Ibn Arabi.
Baca Juga: Syekh Nuruddin Al Raniry; Ulama Besar dan Mufti Kerajaan Aceh
Dalam disiplin ilmu tasawuf, ajaran Syekh Siti Jenar dapat dikategorikan wahdat al-adyan (kesatuan agama-agama) di mana semua agama sejatinya adalah berasal dari Tuhan dan seorang menganut agama tertentu karena kehendak Tuhan semata. Pemikiran Syekh Siti Jenar ini dianggap sangat liberal dan kontroversial dan sangat ditentang oleh Wali Songo. Menurut Syeikh Siti Jenar, hidup di dunia sebagai kematian dan lepasnya nyawa sebagai awal kehidupan, dan baginya syariat Islam berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan setelah kematian. Ini jelas berbeda dengan pemahaman kehidupan dan kematian yang dianut kebanyakan kaum muslimin. Alasan lain sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti atau penyatuan Makhluk dengan Sang Khalik. Walaupun kontroversial namun ajaran Syekh Siti Jenar ini tidak dapat disebut sebagai ajaran Syiah namun agak lebih tepat disebut ajaran tasawuf falsafi yang diadopsi dari pemikirin Syekh Abdul Karim al-Jilli dan Ibn Arabi yang keduanya merupakan ulama Sufi Sunni. Walau memang ajaran ini jika dipelajari oleh awam dapat saja membuatnya melenceng dari syariat karena salah mencerna atau gagal paham.
Bersambung ke: Benarkah Syi’ah Aliran Pertama yang Masuk di Aceh dan Nusantara II
Syi’ah di Aceh Syi’ah di Aceh Syi’ah di Aceh Syi’ah di Aceh
Leave a Review