Aliran Syi’ah di Aceh Aliran Syi’ah di Aceh Aliran Syi’ah di Aceh Aliran Syi’ah di Aceh Aliran Syi’ah di Aceh Aliran Syi’ah di Aceh
Sebelumnya Baca: Benarkah Syi’ah Aliran Pertama yang Masuk di Aceh dan Nusantara I
Kembali ke Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani. Hamzah Fansuri sendiri dalam thariqah tasawufnya mengikuti thariqah Qadiriyah, thariqah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dalam aliran Syiah tidak pernah ditemuikan thariqah Syiah yang bernama Qadiriyah. Thariqah ini bermadzhab Ahlussunnah (Sunni). Syekh Abdul Qadir al-Jailani sendiri dalam kitab Al-Ghunyah berpendapat bahwa Syiah adalah aliran sesat. Kelompok ekstrim itu dijelaskan oleh Sekh al-Jailani ada yang sampai ‘menuhankan’ sayidina Ali. Adapula yang menganggap bahwa sayidina ’Ali berkedudukan seperti nabi karena Malaikat Jibril salah ketika menyampaikan wahyu (Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghunyah li Tholibi Thoriqi al-Haqqi ‘Azza wa Jalla, hal. 180-181). Jadi, jelaslah Syekh Abdul Qadir Jailani yang menjadi qutub thariqat Hamzah Fansuri menolak ajaran Syiah.
Tasawuf yang disebut dengan ‘wujudiyah’ juga bukan tasawuf Syi’ah. Litelatur Syiah tidak ada yang menerangkan aliran tasawuf ini, kecuali dari para sufi Sunni. Taftazani menyebut ‘wujudiyah’ sebagai tasawuf falsafi. Karena menggabungkan tasawuf dan falsafah yang mendalam tentang ontologi. Para ulama yang dirujuk oleh Hamzah Fansuri semuanya sufi Ahlussunnah wal Jamaah, seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Jilli, Ibnu Arabi, Syekh Junaid al-Baghdadi, Jalaluddin al-Rumi, Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain. Ajaran-ajaran Hamzah Fansuri di antaranya; ma’rifatullah, tajalliyat, al-wujud, dan lain-lain, dimana tidak ditemukan unsur Syiah di dalamnya.
Adapun pertentangan antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nuruddin al-Raniri bukan pertentangan antara aliran Syiah dengan Ahlussunnah. Namun lebih ke masalah furu’iyah dan thariqat. Nuruddin ar-Raniri juga seorang sufi yang memiliki darah keturunan Ali bin Abi Thalib dari jalur Hasani.
Dari segi ilmu tasawuf, ar-Raniri memiliki dua jalur sanad tariqah. Pertama Sayyid Umar Al-Idrus, pemimpin tariqah Ba’alawi di India pada zamannya. Kedua, dia memiliki sanad Tariqah Rifaiyyah dan Qodiriyyah. Dia juga pernah belajar di Hadramaut, pusat dan tempat lahir tariqah Ba’alawi. Tariqah inilah yang banyak mempengaruhi pemikiran Nuruddin ar-Raniri.
Pendekatan dalam bentuk praktik tasawuf Ba’alawi ini memiliki keunikan daripada tariqah tasawuf lainnya. Ajaran dan amaliyahnya yang merupakan perpaduan antara tasawuf imam al-Ghazali dan tariqah Syadziliyah dikemas dalam bentuk pengamalan yang mudah bagi kalangan umum umat Islam. Tariqah ini menjauhi hal-hal rumit yang bisa membingungkan Muslim awam. Untuk menghindari pemahaman yang keliru tidak diperbolehkan membaca kitab-kitab yang rumit (ghairu mu’tabar), termasuk kitab karya Al Jilli dan Ibnu Arabi. Terlebih lagi ar-Raniri salah seorang fuqaha dan mufti di Kesultanan Aceh. Di kalangan sebagian fuqaha ada larangan membaca kitab ghairu mu’tabar, karena bahasa yang digunakan merupakan ‘tingkat tinggi’ yang bisa salah dipahami oleh awam.
Karena itu, menghubung-hubungkan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Syi’ah tidak memiliki bukti kuat. Namun, kita tidak memungkiri penganut Syi’ah juga datang ke bumi Nusantara termasuk di Aceh sejak zaman awal dakwah Islam. Akan tetapi tidak membawa pengaruh yang cukup signifikan. Adapun adanya pengaruh Persia di Aceh tidak menunjukkan adanya pengaruh Syi’ah. Sebab, pada zaman itu Persia mayoritasnya masih Sunni. Persia menjadi Syi’ah setelah Dinasti Shafawi yang beraliran Syi’ah berkuasa di sana baru pada abad ke-16 M. Karena itu, dalam sejarahnya Persia tidak selalu identik dengan Syi’ah. Adanya pengaruh Syi’ah lebih pada tataran kulit. Karena itu, tidak perlu berlebih-lebihan membicarakan pengaruh Syi’ah di Aceh. Kita harus menempatkan kenyataan pada tempatnya secara tepat.
Dan memang, saat ini ada upaya yang cukup serius dari sarjana Syiah untuk ‘mencuri’ dan mengaburkan tokoh-tokoh besar Sunni. Upaya ini sudah sampai pada kajian-kajian akademis serius. Tujuannya adalah agar generasi berikutnya menilai bahwa jika lembar sejarah dibuka, maka yang ditemukan adalah Syi’ah bukan Sunni. Gaya ini mirip dengan nativisasi yang dilakukan orientalis.
Baca Juga: Abu Jakfar Lailon Labuhan Haji; Ulama, Mursyid dan Pendiri Dayah Darul Halim Kuala Batee
Rujukan lain yang menjadi asbab pendapat Syiah merupakan aliran pertama yang masuk di Aceh adalah Lambang Bendera Kesultanan Perlak pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Fasy.
Dalam lambang tersebut termuat:
– Gambar kaligrafi yang membentuk gambar singa (dalam Panji Kesultanan Perlak) ini, yang terletak di tengah bagian bawah. Gambar singa sering diidentikkan atau menjadi simbol seorang sahabat, sepupu, sekaligus menantu Nabi SAW yaitu Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali bin Abi Thalib bernama asli Haydar bin Abu Thalib, Haydar yang berarti Singa pemberani adalah harapan keluarga Abu Thalib. Imam Ali bin Abi Thalib juga mendapatkan gelar Asadullah (Singa Allah). Sebagai catatan bahwa kakek Imam Ali bin Abi Thalib bernama Asad yang berarti singa.
– Tiga pedang dengan bentuk yang sama, yang berposisi di bawah kaligrafi singa satu pedang, dan dua pedang berposisi di pinggir bagian atas. Pedang dengan bentuk yang khas yaitu melengkung dengan ujung bercabang dan tulisan kaligrafi di bilahnya tersebut adalah pedang Zulfikar, pedang milik Imam Ali bin Abi Thalib yang diberikan oleh Nabi SAW saat perang Uhud.
– Tulisan “Man Kuntu Maulahu Fahadza Aliyyun Maula” pada bilah pedang bagian atas kanan merupakan kalimat yang sangat terkenal bagi orang-orang Syiah, diriwayatkan bahwa kalimat tersebut diucapkan oleh Nabi SAW di depan ratusan ribu orang selepas melaksanakan ibadah Haji Wada’ dan dilakukan saat dalam perjalanan pulang tepatnya di wilayah Ghadir Khum sebuah wilayah antara Makkah dan Madinah.
Kalimat tersebut adalah potongan pidato Nabi SAW yang berarti “Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya.” Bagi Syiah, kalimat tersebut adalah sebagai legitimasi bahwa sepeninggal Nabi SAW yang berhak menjadi pemimpin umat Islam adalah Imam Ali bin Abi Thalib.
– Lebih lanjut yang terdapat dalam panji ini adalah tulisan “La Fatta ila ‘Ali wa la Saifa illa Zulfikar” pada bilah pedang bagian atas kanan setelah kalimat “Man Kuntu Maulahu Fahadza Aliyyun Maula”. Diriwayatkan bahwa pada saat Perang Uhud Nabi SAW mendengar seruan malaikat jibril yang berbunyi “La Fatta illa ‘Ali wa la Saifa illa Zulfikar”, yang berarti tiada pemuda kecuali Ali dan tiada pedang kecuali Zulfika
Namun lambang Kesultanan Perlak yang saat ini beredar pun diragukan validitasnya. Hal ini dikarenakan, Kitab Idharul Haq yang dijadikan sumber satu-satunya juga diragukan keabsahan nya. Apalagi kitab Idharul Haq yang diperlihatkan dalam seminar di Medan (1963) itu juga bukan dalam bentuk asli, tidak utuh lagi melainkan hanya lembaran lepas.
Kitab itu sendiri masih misteri, karena sampai sekarang belum ditemukan dalam bentuk aslinya. Sehingga ada yang mengatakan kitab Idharul Haq ini hanya satu rekayasa sejarah untuk menguatkan pendapat bahwa berdasarkan kitab itu, adalah Syiah merupakan ajaran pertama yang masuk di Nusantara tepatnya di Perlak.
Karena belum validnya kitab Idharul Haq juga membuat banyak peneliti sejarah yang secara kritis, meragukan Perlak sebagai tempat pertama berdirinya kerajaan Islam besar di Aceh.
Hal ini diperkuat dengan belum adanya ditemukan artevak-artevak atau situs-situs tertua peninggalan sejarah. Sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Samudra Pasai yang terdapat di Aceh Utara.
Situs sejarah peninggalan kerajaan Perlak seperti batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah yang terdapat di komplek Bandar Khalifah, yang disebut-sebut sebagai Sulthan pertama kerajaan Islam Perlak pun diklaim memiliki kemiripannya dengan nisan-nisan yang terdapat di komplek makam raja-raja Samudera Pasai, dimana bentuk nisan seperti itu diperkirakan hasil produksi antara abad ke 14 dan 15 Masehi. Artinya, bahwa batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah di Komplek Bandar Khlalifah Perlak, bukanlah bentuk batu nisan tertua di Aceh, karena bentuk batu nisan seperti itu juga ditemukan di komplek makam raja-raja di Samudera Pasai Aceh Utara. Sehingga Perlak sebagai kerajaan Islam tertua di Nusantara diragukan.
Saat ini, satu-satunya kitab yang bisa dikategorikan tertua di Aceh adalah kitab Lutfah Thullab karya Syekh Zakaria al-Anshari (salah seorang Mufti Kerajaan Aceh yang bermazhab Sunniyah Syafi’iyyah). Kitab ini berasal dari abad ke 16. Kitab ini berisi tentang hukum Islam yang berlaku di Aceh pada abad tersebut yang semuanya berdasarkan ajaran Ahlussunah (Sunni).
Setelah penulisan kitab Lutfah Thullab, para ulama-ulama terkenal di Aceh seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar Ranirry, Syamsuddin As Sumatrani dan Syekh Abdurrauf As Singkili, Fakih Jalaludin, Teungku Khatib Langgien, Muhammad Zein, Abbas Kuta Karang, Teungku Chik di Leupe (Daud Rumi), Jalaluddin Tursany, Jamaluddin ibn Kamaluddin, Zainuddin, Teungku Chik Pante Kulu, dan lain-lain juga banyak menulis kitab-kitab yang semuanya berpaham Sunni.
Abuya Prof. Dr. Tgk. Chik. H. Muhibuddin Waly, MA bin Abuya Syaikh Tgk. H. Muhammad Muda Waly Al Khalidy juga pernah menuliskan tulisan berjudul Islam di Aceh adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Judul tersebut dipilih oleh Abuya Doktor didasarkan oleh rasa sangsi terhadap pendapat Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, yang dalam risalah seminar masuknya Islam ke Indonesia di kota Medan tanggal 17 s/d 20 Maret 1963 menyebut bahwa Mazhab pertama yang dipeluk masyarakat Aceh ialah Syi’ah.
Abuya Doktor tidak setuju dengan pernyataan bahwa Syi’ah merupakan aliran Islam pertama yang dipeluk masyarakat Aceh. Dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan prinsipil antar i’tikad Ahlussunah wal Jama’ah yang dilaksanakan oleh umat Islam Aceh dengan I’tikad Syi’ah.
Perbedaan tersebut diantaranya adalah:
– Menurut ‘aqidah Ahlissunah wal Jama’ah, khalifah yang pertama, adalah Sayyidina Abu bakar Siddiq, kedua Sayidina Umar bin Khatab, ketiga Sayidina Utsman bin ‘Affan (radhyallahu ‘anhum), dan yang keempat Ali bin Abi Thalib. Tetapi bagi ‘aqidah Syi’ah, ketiga sahabat Nabi itu Terkutuk, karena merampas Khalifah dari Sayyidina ‘Ali (karamallahu wajhah). Sebab Imam yang pertama menurut syi’ah adalah Sayyidina ‘Ali
Apakah ‘aqidah ini telah masuk ke Aceh?
– Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bahwa khalifah itu adalah orang biasa, tidak ma’shum dan tidak menerima wahyu. Tetapi bagi ‘aqidah Syi’ah, bahwa khalifah itu adalah ma’shum dan masih menerima wahyu, sebagaimana Rasulullah dan para Nabi.
Pernahkah kita mendengar bahwa ‘aqidah ini ada di Aceh sejak jaman dahulu?
– ‘Aqidah ahlussunnah wal Jama’ah yang menyebutkan, bahwa percaya kepada khalifah bukankah rukun Iman. Tetapi ‘aqidah Syi’ah mengatakan, bahwa itu adalah salah satu rukun Iman.
Apakah orang Aceh yang paling awam pernah mendengar atau menganut ajaran ini?
– Ahlussunah wal Jama’ah menetapkan, bahwa kitab hadist Shahih Bukhari merupakan sumber hukum kedua dibawah Al Qur’an. Tetapi orang-orang Syi’ah, mempercayai bahwa kitab yang ke-2 bagi mereka adalah Al Kaafi, karangan Ya’kub Al Kuliny.
Apakah ulama Aceh dapat menerima ‘aqidah Syi’ah ini?
– ‘Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah menetapakan, bahwa mushaf yang sah, ialah mushaf ‘Usmani, tetapi bagi ‘aqidah Syi’ah mushaf ‘Ali.
Apakah mushaf ‘Ali ada yang masuk ke Aceh pada jaman dahulu itu?
– Dalam ‘aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah diterangkan, bahwa pengertian Ahlil-bait ialah keluarga Rasulullah SAW yang beriman kepada beliau, termasuk istri-istri beliau, tetapi pengertian Ahlil-bait menurut ‘aqidah Syi’ah hanya bagi keturunan Sayyidina ‘Ali dengan siti Fatimah ra saja.
Apakah paham ini pernah didengar dari ulama Aceh?
– ‘Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan, bahwa wahyy sudah terhenti pada masa Nabi kita Muhamad SAW meninggal dunia, tetapi dalam ‘aqidah Syi’ah di jelaskan bahwa Iman belum cukup ketika itu, karna masih ada wahyu-wahyu Illahi diturunkan kepada imam-imam Syi’ah.
Apakah ‘aqidah Syi’ah ini pernah didengar dan dipercaya oleh orang Aceh sejak jaman dahulu?
– Dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, disebutkan bahwa raj’ah tidak ada, tetapi Syi’ah mempercayainya.
Apa itu raj’ah? Raj’ah adalah ‘aqidah kaum Syi’ah Imamiyyah yang menetapkan, bahwa Nabi Muhammad SAW, Sayyidina ‘Ali ra, Sayyidina Hasan dan Husein bin ‘Ali ra, dan Imam-Imam Syi’ah akan dihidupkan kembali ke dunia ini setelah lahirnya Imam Mahdi. Dan pada ketika itu pula dihidupkan Sayyidina Abu Bakar Siddiq, Sayyidina ‘Umar bin Khatab, Sayyidina Usman bin Affan, Sayyidina Mu’awiyah, Yazid bin Mua’awiyah dan lain-lain. Pada ketika itulah Imam Mahdi akan menghukum musuh-musuh yang merampas haknya. Abu Bakar dan ‘Umar akan di salib di atas kayu, begitu kata tokoh Syi’ah Syarif Murtadha. Kemudian mereka semua akan mati lagi dan dihidupkan pada hari kiamat untuk mendapatkan hukuman dari Tuhan, karena mereka telah bersalah kepada Syi’ah. Itulah ‘aqidah raj’ah, yang artinya kembali, menurut pendirian orang-orang Syi’ah. ‘Aqidah ini bertentangan dengan al-Qur’an dan tidak ada satupun Hadist Nabi yang menunjangnya, disamping bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Baca Juga: Prof. Teungku Safwan Idris; Ulama dan Intelektual Aceh yang Arif
Apakah ada orang Aceh dari paling jahil dan ‘awam yang mempercayai ‘aqidah Syi’ah itu?
2. Mungkin orang yang berpendapat bahwa aliran yang pertama kali masuk di Aceh adalah Syi’ah, berpegang kepada sumber tulisan orientalist barat, bahwa Agama Islam datang ke Indonesia dari Persia (Irian). Hal ini berdasarkan alasan bahwa nama kerajaan Islam pertama di Indonesia, adalah kerajaan Pasai. Nama Pasai diambil dari nama Persi. Maka sebagai suatu tanda hormat dan mengingat nama Negeri Persi dari mana mula-mula Islam datang ke Indonesia, maka dinamakanlah kerajaan itu dengan kerajaan Pasai.
Para ahli sejarah bangsa Indonesia membantah argumentasi itu. Mereka mengatakan, nama Pasai itu diambil dari kata pasir. Karena logat orang Aceh, maka kata pasir menjadi Pasai, kata kafir menjadi kapei dan lain-lainnya. Hal ini karena kerajaan Pasai, berada di pantai pulau Sumatra, yang kebetulan memang tanahnya berpasir dan terletak di daerah Aceh.
Bagi orang yang mengatakan Islam yang pertama datang ke Indonesia dari persi, tergerak untuk membuat kesimpulan, bahwa Islam pertama kali datang ke negri kita beraliran Syi’ah. Hal yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena meskipun Syi’ah lahir setelah Sayyidina ‘Ali wafat, yakni menjelang tahun 49 H, tetapi aliran Syi’ah itu hanya berkembang di sekitar Kufah, Baghdad dan sebagian Madinah. Itupun dengan susah payah. Karena selalu menghadapi tantangan dari daulah Umayyah dan lain-lain. Namun sekitar tahun 316-363 H, barulah gerakan Syi’ah muncul sebagai kekuatan politik di Iran, Yaman, Iraq, Mesir dan Maroko, dan mereka berhasil mendirikan kerajaan Fathimiyyah di Mesir.
Oleh karena itu pula, agak kurang dapat dipercayai apabila kaum Syi’ah sempat melebarkan sayapnya ke Indonesia, karena justru pada abad pertama Hijriyah, yang dikatakan saat pertama kali Islam memasuki Indonesia. Sedangkan gerakan Syi’ah pada waktu itu masih memusatkan kegiatan-kegiatannya di sekitar Baghdad, Kufah dan sebagian Madinah.
Apalagi keputusan seminar menggambarkan, bahwa mubalig Islam datang pertama kali ke Indonesia langsung dari Mekah dan Madinah. Meskipun ada kemungkinan besar di antara mereka terdapat golongan Alawiyyin, keturunan Sayyidina Hasan dan Husein bin ‘Ali, baik yang merasal dari Mekah-Madinah, maupun yang kemudian yang menetap di Yaman dan sekitarnya, tetapi bukti yang dapat dipegang sejarah, disamping kekuasaan Islam di Timur Tengah pada waktu itu di bawah Daulah Umayyah dan Abbasiyyah, sudah barang pasti tidak bisa terlepas daripada warna Sunni.
Adapun kecintaan umat Islam Indonesia terhadap Ahlul bait Rasulullah tidak dapat dijadikan dalil, bahwa mereka menjadi orang Syi’ah.
Seluruh pesantren di Aceh sejak jaman dahulu sampai sekarang tidak ada yang dipimpin oleh ulama Syi’ah, mulai dari Dayah (pesantren) Cot Kala sampai pesantren Syiah Kuala dan seterusnya. Demikian pula ilmu pengetahuan yang diajarkan disana beserta kitab-kitabnya dalam bidang apapun, tidak ada yang berbau Syi’ah.
Jikapun ada perbedaan pendapat antara ulama Aceh jaman dahulu, baik dalam bidang ilmu kalam atau perbedaan pendapat yang berlatar belakang politik, bukanlah antara kaum Ahlussunah wal Jama’ah dengan kaum Syi’ah, tetapi lebih ke perbedaan pemahaman furu’iyah yang masih dalam bingkai Ahlussunah wal Jama’ah (Sunni).
***
Penulis: Rozal Nawafil. Kader Muda PERTI Aceh, Bidang Informasi, Komunikasi dan Penerbitan PC Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah-PERTI) Aceh Barat Daya, Wakil Ketua PD OPI Aceh, Wakil Ketua Rohis IPDN Kampus Kalimantan Barat.
Leave a Review