Surantih, khususnya Cimpu, boleh dikatakan benteng terakhir Syattariyah di Kecamatan Sutera, jika tidak gegabah mengklaimnya malahan di Kabupaten Pesisir Selatan. Basis mereka setidaknya bertahan di tiga masjid di kampung bertetangga
sebelumnya Baca Menulis dari Kampung (4) Sebuah MTI “Perjuangan” di Tabek Tinggi
Oleh: Raudal Tanjung Banua
Tak ada yang berubah dengan datangnya waktu hari raya di Kampung Cimpu, Pasar Surantih, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, awal mula puasa dan lebaran, termasuk Idul Adha, selalu menempatkan sebagian besar warga di sini sebagai “urang bapuaso dan bahari rayo kudian” (orang berpuasa dan berhari raya kemudian/terakhir). Itu ungkapan untuk menggambarkan secara mudah identitas penganut tarekat Syattariyah sebagaimana dicatat Oman Faturahman dalam Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks (2008).
Di Cimpu, banyak warganya berbaiat tarekat Syattariyah, atau lazim disebut Syattari saja. Itu sebab mereka berpuasa dan berlebaran belakangan. Misalnya tahun ini, secara resmi pemerintah menetapkan Idul Adha 1443 H jatuh hari Minggu, 10 Juli 2022. Jemaah Muhammadiyah merayakan sehari sebelumnya, Sabtu 9 Juli. Ada pun jemaah Syattari yang berbasis antara lain di Masjid Taqwa, Cimpu, baru berlebaran dan memotong hewan qurban pada hari Senin, 11 Juli.
“Kami menetapkan awal puasa dan hari raya dengan maniliak bulan,” kata Imam Masjid Taqwa, Ramilus, saat saya bersilaturahim ke rumahnya di Simpanjang. Maniliak artinya melihat (dengan mata telanjang) bulan (hilal) dengan hitungan hisab takwin qamsiyah (hitungan berdasarkan siklus tahunan).
“Kami biasa pergi ke pantai, tanpa bawa teropong dan alat-alat mahal itu. Apa yang kami lakukan persis yang dilakukan jemaah Syattari di Ulakan, Pariaman. Di sana kami malah punya seorang ahli maniliak bulan yang tak terkalahkan, saya lupa namanya. Ia bertanding dengan orang-orang hebat yang ahli falaq di Jakarta, dua kali sudah menang, hadiahnya besar, dibuatkan rumah dan diberi mobil oleh orang pemerintah.”
Sulit bagi saya membayangkan kata “bertanding” yang sang imam ucapkan dan sosok ahli fiqih yang ia maksudkan. Tapi yang jelas, jamaah Syattari, terhubung baik dengan Ulakan dan kerap jalang-manjalang (saling mengunjungi). Jika ada pengajian atau hari baik bulan baik, imam-khatib dari Ulakan biasa datang ke Cimpu. Begitu pula sebaliknya, warga Cimpu akan datang ke Ulakan, di luar ziarah “resmi” mereka ke makam Syekh Burhanuddin. Setidaknya dua kali setahun mereka datang “berziarah resmi” ke Ulakan: bulan Safar dan bulan Maulid. Istilahnya “manjalang guru”.
Ada pun Surantih, khususnya Cimpu, boleh dikatakan benteng terakhir Syattariyah di Kecamatan Sutera, jika tidak gegabah mengklaimnya malahan di Kabupaten Pesisir Selatan. Basis mereka setidaknya bertahan di tiga masjid di kampung bertetangga, yakni Masjid Taqwa Cimpu, Masjid Nurul Hidayah atau populer disebut Masjid Kemuning di Simpanjang dan Masjid Nur Aman atau lazim disebut Masjid Runciang di Basuang (Simpang Samudera).
Tentu saja selain di Surantih penganut tarekat Syattariyah menyebar di berbagai titik, tapi lebih berupa person atau keluarga. Atau ada yang berupa jemaah, seperti di Balai Selasa dan Bayang, namun tidak sebesar di Cimpu dan sekitarnya.
“Dulu kami banyak di Taratak dan Lansano, namun kini tinggal sedikit tersisa jamaah di Masjid BSP Koto Taratak. Makanya kalau hari raya mereka bergabung ke mari, atau ke Masjid Unciang di Basuang,” kata Imam Ramilus. “Yang muda-muda sudah malas belajar tarekat, maunya langsung beribadat tanpa perlu terikat waktu mengaji. Sementara yang tua-tua, generasi di atas saya, sudah banyak yang dahulu. Untunglah di Cimpu, Simpanjang dan Basuang masih ada regenerasi, masih ada yang muda-muda suka mengaji.”
Saya terus menyimak cerita Imam Ramilus.
“Padahal tarekat itu mengkaji hakikat badan, dari semenjak alam ruh, rahim, dunia hingga liang lahat. Apa yang dizikirkan saat kita masih berada di rahim mandeh, itu yang kita ulang dan lanjutkan ketika lahir ke dunia nangko.”
“Saya punya kitab dan buku tentang Syattari, saya akan ambilkan salah satunya,” kata Pak Imam sambil sigap berdiri. Tak lama ia keluar membawa sebuah buku fotokopian yang menurutnya ia minta kepada pengurus masjid di sekitar makam Syekh Burhanuddin. Buku, atau lebih tepat manuskrip itu berjudul Kitab Sejarah Masuknya Agama Islam ke Minangkabau 1030 (Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman oleh Tengku Sutan Hermasyah M. Saiman (Pesantren Kelampean Ampalu Tinggi Tujuh Koto Pariaman).
Bukan Hanya Soal Hilal
Jemaah tarekat Syattariyah identik dengan waktu pelaksanaan puasa/hari raya belakangan. Sebenarnya ada banyak ritual dan khazanah budaya lain yang melingkupinya. Sebagian mulai tergerus, sebagian lagi justru ditambah-tambahkan orang. Dulu misalnya, sehabis menyelenggarakan shalat Ied, mereka biasa makan bersama di masjid. Dan saat Hari Raya Idul Adha, mereka akan menghias sapi atau kambing yang hendak dipotong.
Mendapat informasi seperti itu, pagi-pagi pada hari Senin (hari saat jemaah Syattariah merayakan Idul Adha), saya sengaja meluncur ke Masjid Nur Aman atau dikenal dengan surau/masjid (R)unciang. Saya hendak melihat bagaimana prosesi itu dijalankan. Saya menunggu di sebuah warung persis di depan masjid. Deretan marawa (bendera Minangkabau) yang hampir sama dengan warna bendera Jerman itu dikibas pelan angin pagi.
Khotbah terdengar sayup karena dilangsungkan tanpa mik (toa), hanya dengan speaker kecil yang diarahkan ke dalam masjid. Sementara empat ekor sapi terikat di depan pagar, tidak dihiasi sebagai mana informasi yang saya peroleh sebelumnya. Saya pikir, mungkin nanti akan diberi hiasan, sebelum dipotong. Sampai khotbah selesai dan jemaah bubar sambil bersalam-salaman sebagaimana lazimnya, saya juga tak melihat ada acara makan-makan. Saya lalu bertanya perihal keheranan saya itu kepada seorang jemaah yang kebetulan tinggal di sebelah masjid.
“Dulu, memang ada acara makan basamo selesai shalat ied, sekarang tak ada lagi,” kata bapak tersebut. Ia kemudian tersenyum,”Dan soal hewan qurban diberi hiasan, itu hanya cerita. Mitos.”
“Hoaks itu!” sela emak-emak. (Nanti saya tahu, ternyata hiasan itu untuk hewan aqiqah di Cimpu, tapi sekarang juga sudah tak ada lagi!).
Jemaah lain yang mendengar ikut tersenyum atau tergelak. Tak ada terbersit rasa kesal atau marah pada sebuah mitos yang kebetulan dikaitkan dengan ritual/budaya mereka. Mungkin juga jemaah Syattariyah sudah teruji soal itu. Sejak mula kita tahu, tarekat Syattari sudah kenyang makan asam-garam tudingan dari kaum pembahru.
Pada awal abad ke-19, ketika Minangkabau bergolak dengan gerakan pemurnian Islam, boleh dikata tarekat Syattariyah-lah yang pertama dituding sebagai jalan sesat lagi menyesatkan. Maklum, bagi Trio Haji (Haji Miskin dkk) yang pro-pemurnian itu, semua tarekat dipandang penghambat umat untuk berpegang secara murni kepada Alquran dan Sunnah. Pada awal abad ke-20, pembaharuan kedua dilancarkan Haji Rasul dkk. yang kian mempersempit ruang-gerak orang tarekat. Bahkan Syekh Jamil Jambek yang semula taat tarekat, berubah arah.
Padahal sepanjang masa itu, Minangkabau sedang diharu-biru oleh tarekat Syattariyah yang langsung dibawa penyebar Islam utama di Minangkabau, Syekh Burhanuddin. Hubungan agama dan adat begitu kental, berbagai tradisi diakomodasi, semisal ziarah ke tempat keramat. Konon menurut satu risalah, di Pariaman, dekat Ulakan, terdapat “Surau Gelanggang” sebagaimana disitir Suryadi (2001). Disebut demikian karena masih memberi ruang bagi tempat adu ayam.
Itulah sebabnya berbagai aktivitas masyarakat yang tak sesuai akhlak nabi dipungkasi sebagai buah tarekat yang berbau khurafat. Namun pengikut tarekat Syattariyah bisa melalui semua tudingan itu. Bahkan tak kalah hebat adalah pertentangan sesama kaum tarekat sendiri yang lagi-lagi menempatkan Syattariyah sebagai “tertuduh”. Itulah masa ketika tarekat Naqsabandiyah mulai berkembang dari Cangkiang, dan mereka mempersoalkan konsep wahdat al wujud dan martabat tujuh yang menjadi dasar kaum Syattari.
Namun orang lupa, bahwa konsep tersebut, dalam istilah Oman Faturahman, sudah “dilucuti” sendiri oleh pengembang Syattari (di) Minangkabau. Artinya, jika di Aceh konsep itu terterima sehubungan dengan masih kuatnya paham Wujudiyah Hamzah Fansuri dan Samsuddin al-Sumatrani, di Sumatera Barat boleh dikatakan yang tersua adalah paham setipe Al-Raniri, yang ortodoks.
Syekh Burhanuddin yang membawanya ke Minangkabau tahu betul bahwa Syekh Abdurauf al-Singkili, sang mursyid, memposisikan diri dalam dua paham yang menjadi kekuatan politik keagamaan di Kesultanan Aceh. Sebagai kadi yang ditunjuk Sultanah, ia menempatkan dirinya secara moderat, tidak memberengus habis paham Fansuri dan memahami paham Al Raniri.
Sebagai khalifah yang dipilih Abdurauf, Syekh Burhanuddin tampaknya dengan cerdik menerapkan “kelenturan” ini dalam masyarakatnya sehingga lebih dapat diterima. Kelenturan ini pula yang terlihat dari murid dan sahabat Burhanuddin, Syekh Buyung Mudo, yang mengembangkan tarekat Syattariyah di kawasan Bandarsepuluh. Pun Syekh Bayang yang dikenal moderat padahal ia digolongkan “ulama tuo”. Maka perseteruan Syattariyah dan Naqsabandiyah reda, bahkan tak jarang seseorang berbaiat kepada keduanya. Sebagaimana nanti saya singgung sedikit dari sosok nenek saya.
Perbedaan berikutnya dengan jemaah Aswaja lainnya—dan ini bukan hoaks—adalah perihal khotbah Jumat yang sepenuhnya menggunakan bahasa Arab. Ketika saya tanya apakah semua khatib Jumat di masjid Syattari pandai berbahasa Arab, Imam Ramilus menyahut,”Kan ada kitab, bagi khatib yang tak fasih berbahasa arab, bisa membacanya.”
Kecuali bahasa, tata cara shalat Jumat sama saja dengan masjid lain, sehingga warga sekitar yang bukan pengikut Syattariyah pun biasa Jumatan di sana. Tapi tak sedikit yang mengaku tak bisa bergabung sebab tak mengerti apa yang disampaikan khatib. Selain itu, mereka biasanya tak menggunakan suara toa, atau menggunakan seperlunya. Konon, Imam atau khatib dari Ulakan biasa menegur jika suara dari dalam masjid terlalu keras, bahkan ada yang mengancam tak mau datang lagi jika masjid pakai toa yang besar.
Tak kalah menarik adalah keberadaan “tonggak tuo” (tiang tua) di dalam masjid. Tonggak utama itu dikelilingi oleh empat tonggak penopang. Ukurannya lebih besar. “Itu simbol Nabi dan empat sahabatnya. Selain itu, juga simbol para pemakmur masjid: imam, khatib, bilal, garin, jemaah,” jelas Imam Ramilus.
Ia kemudian menceritakan bahwa Masjid Taqwa mulanya tidak punya tonggak tuo. Itu dianggap kurang memenuhi syarat sehingga konon kerap terjadi persoalan antar pengurus. Maka diputuskanlah membangun sebuah tonggak besar persis di tengah-tengah masjid. “Alhamdulillah, atas pertolongan Allah, persoalan menemui jalan keluar,” katanya bersyukur.
Lintasan Tarekat
Benar apa yang dikatakan Imam Ramilus tentang keberadaan tarekat Syattariyah bahwa penyebarannya dulu sangat kuat di Kecamatan Sutera (terdiri dari tiga nagari induk: Surantih, Teratak dan Ampingparak). Saya segera teringat aktivitas orang tarekat di kampung saya, Taratak-Lansano. Ingatan saya terpaut secara kolektif pada surau yang digunakan sebagai tempat mengaji kaum tarekat. Selain Surau BSP yang relatif baru (dalam arti berdiri sekitar akhir 90-an), juga ada Surau Ambacang dan Surau Minang (kemudian berubah jadi Masjid Dahrul Ihsan) yang sudah memulai aktivitasnya jauh sebelum tahun 90-an.
Namun saya tidak tahu tarekat apa gerangan yang dianut warga kampung saya. Sebab, setelah saya pikir-pikir sekarang, ada beberapa hal yang terasa berkait-kelindan, terfragmen, dan agak membingungkan. Karena itulah satu sama lain coba saya urai untuk mencari duduk soalnya.
Misalnya, di Masjid Dahrul Ihsan, dulu pada waktu-waktu tertentu dilaksanakan ritual ratib tagak, yaitu berzikir dengan tak hanya menzahirkan bacaan, tapi juga gerak badan. Jemaah laki-laki berdiri lalu mengayun-ayunkan badan seperti orang menari, bukan berputar-putar sebagaimana tarian Rumi, tapi merunduk-meninggi sambil menepuk-nepukkan telapak tangan ke paha seperti orang main randai. Seru!
Saya lalu mendengar cerita bahwa tradisi zikir semacam ini adalah khas tarekat Sammaniyyah.
“Orang Samani zikirnya keras,” itu ungkapan yang biasa saya dengar di kampung. Saya sendiri mengartikan “zikir yang keras” itu sebagai zikir yang lebih artikulatif dan ekspresif sebagaimana ratib tagak (ratib sambil berdiri).
Nenek saya, sebagaimana keluarga besar saya, tentu saja jemaah Masjid Dahrul Ihsan. Tapi nenek saya juga punya surau khusus tempat mengaji yakni Surau Ambacang. Di surau kayu ini nenek dan jemaah lainnya biasa melaksanakan suluk atau lidah mereka menyebut ber-sulud. Empat hari sebelum bulan puasa, nenek akan berdiam diri di surau, hanya berzikir dan beribadah sepanjang hari. Saya masih ingat, sesekali diajak Mak Gaek mengantar nasi perbekalan nenek.
Saya kemudian menyadari bahwa tradisi bersuluk itu adalah khas kaum Naqsabandiyah.
Tapi anehnya, nenek saya sebagaimana jemaah Surau Ambacang lainnya, terkenal sangat suka pergi basapa ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan. Menurut Mak Gaek saya—yang pernah beberapa kali diajak ikut—mereka tidak langsung ke Ulakan, tapi bermalam dulu di Andaleh, lalu semalam lagi di Padang Sarai, itu tempat makam murid Syekh Burhanuddin. Barulah malam ketiga dan keempat mereka ke makam Syekh Burhanuddin. Merujuk Oman Fathurahman (2008), basapa merupakan ziarah serentak dengan segala ritualnya, diadakan rutin setiap hari Rabu setelah tanggal 10 bulan Safar. Tujuannya memperingati wafatnya Syekh Burhanuddin, 10 Safar 1111 H/1691 M.
Jelas, tradisi ini terkait erat dengan penganut tarekat Syattariyah!
Apa yang terlihat dari narasi di atas adalah kenyataan bahwa kampung saya, merupakan pelintasan ajaran-ajaran tarekat. Hal yang dapat dipahami dalam konteks posisi geografis dan sejarah. Bandarsepuluh, nama wilayah utama Kabupaten Pesisir Selatan sekarang, merupakan daerah pantai dengan banyak pelabuhan (bayangkan, sepuluh bandar!). Lewat cara itu semua bisa mengalir masuk. Bukankah Syekh Muhammad Dalil bin Fatawi atau Syekh Bayang dikenal sebagai mursyid tarekat Naqsabandiyah, dan pendahulunya, Syekh Buyung Mudo mursyid tarekat Syattariyah untuk Bandarsepuluh dan sekitarnya?
Bahkan menurut Imam Ramilus, bisa saja nenek saya berbaiat kepada kedua tarekat tersebut. Sesuatu yang menurutnya sangat dimungkinkan. “Syattari dan Naqsabandi itu dekat. Hanya jalan yang satu lebih panjang, yang satu lagi lebih pendek.”
Dengan latar cerita tersebut, saya pun bersilaturahmi ke rumah Katik Erman di Cimpu. Khotib yang energik ini semula menjadi pengurus di Masjid Taqwa. Namun karena sesuatu dan lain hal, ia dan sebagian jemaah membangun masjid baru, Masjid Nur Yaqin, yang terletak di depan rumahnya.
“Saya tidak keluar dari Syattari, itu hakekat. Tapi saya ingin Syattari juga bisa diakses lebih luas, misalnya dengan berkhotbah Jumat pakai bahasa Indonesia atau bahasa Minang. Dan masjid tak harus pakai tonggak tuo. Tapi apa pun perbedaan kita harus saling hormat,” kata sang Katik, suaranya setegas saat ia di mimbar.
Katik Erman lalu tanpa sungkan memperlihatkan semacam rancang grafis “kitab waktu” dalam persfektif orang Syattari. Rancangan itu dibuat manual (tulis tangan) di atas selembar karton kuning (mengingatkan pada lembaran kitab kuning) dengan judul tabel “Tahun Nan 8 Bulan Nan 12”. Menurutnya, ada keterhubungan yang erat antara pembagian/hitungan waktu dengan jumlah organ tubuh “ninik kito” bernama Adam, dan juga “sekalian kito” kemudian. Ia membaca tabel dan rancang grafis itu dengan fasih, persis seperti mursyid sedang memberi kaji.
Setelah cukup lama melihat saya mengangguk-angguk, sesekali melongo takjub, Pak Katik akhirnya beralih kaji, yakni soal basapa.
Perihal tradisi basapa ke Ulakan, menurut Katik Erman, itu tak hanya untuk orang Syattari. “Seluruh kita di Minangkabau ko, kalau perlu ziarah ke sana, bertahlil, berzikir, berinfak. Kenapa? Karena itu bentuk terima kasih kita kepada seorang ulama besar yang telah memperkenalkan kita dengan agama Allah. Jadi bukan milik satu golongan. Memang, bagi kaum Syattari, itu sekalian manjalang guru.”
Memang, sebelum Syekh Burhanuddin berdakwah, Islam sudah ada di Minangkabau, hanya belum berkembang. Syekh Burhanuddin kemudian mengembangkannya secara masif terutama melalui surau yang notabene dipelihara juga oleh kaum adat, sebagaimana lapau. Di sinilah surau menjadi titik-simpul antara adat dan agama di Minangkabau. Dan tarekat mengikatnya dengan baiat dan sanad.
Sementara Syattariyah, sebagai salah satu tarekat yang kaya khazanah lokal, tak berlebihan dikatakan sebagai tempat bersanding jalan iman dan kultural. Namun demikian, posisinya juga ikut tergerus zaman. Maka Cimpu, Simpanjang dan Basuang, niscaya tiga kampung yang dapat dikatakan sebagai benteng terakhir tarekat Syattariyah di Kecamatan Sutera khususnya, dan Pesisir Selatan umumnya. Wallahualam bissawab.
Leave a Review