Suatu hari saya bercerita dengan seorang kawan tentang sikap anti-kritik yang masih kentara di zaman ini, bahkan di kalangan tokoh jurnalistik. Terhadap orang yang menegakkan benderanya di atas sikap anti-kritik, bila ia menuliskan atau mengucapkan suatu pandangan yang jelas-jelas keliru, kita jadi berpikir duakali untuk memberinya masukan. Katakanlah masukan kita itu sangat berguna untuk meluruskan kepesongan pendapatnya, tapi bisa saja dianggap olehnya sebagai serangan, ketidaksukaan, ataupun pembunuhan karakter. “Seperti berbisik ke telinga kerbau,” kata kawan itu dan cepat saya jawab: “perumpamaan yang sangat tepat!”.
“Berbisik ke telinga kerbau” digunakan untuk menyebut suatu tindakan yang tidak akan sampai pada tujuan. Kita tahu bahwa kerbau tidak mengerti bahasa manusia dan membisikkan sesuatu kepadanya tidak ada gunanya. Tapi, maksud berbisik dalam perumpamaan tersebut bukanlah itu, melainkan sebagai tindakan mengatakan kepada kerbau tersebut sesuatu hal yang penting dan tidak perlu diketahui orang banyak, seakan-akan kita sedang mengajak seorang teman untuk melakukan sesuatu yang rahasia dan kita bisikkan ajakan itu ke telinganya.
Cara komunikasi kerbau dan manusia tidaklah melalui telinga, melainkan hidung. Manusia mencucuk hidung kerbau dan kemudian diberi perkakas yang kemudian dikendalikan melalui seutas tali. Lewat tali itulah komunikasi berlangsung. Bila manusia ingin mengajak kerbau itu berjalan, maka cukup dengan menarik talinya. Menghentikan dan mengarahkan kerbau ke kanan ataupun kiri juga menggunakan tali. Dalam hal ini, satu-satunya dapat kita percaya dari kerbau adalah kengiluan hidungnya ketika bergesekan dengan tekstur tali.
Dengan demikian, memberi masukan kepada orang besar yang anti-kritik mempunyai kesia-siaan yang sama dengan berbisik ke telinga kerbau. Orang seperti itu hanya mau menuruti sesuatu bila itu datang dari pihak lain yang sudah “memegang talinya”. Kalau semua saran-kritik tidak menyentuh talinya atau pemegang talinya, maka tak akan ada dampak apa-apa. Yang pasti, pihak yang memegang tali itu tentu lebih lihai lagi dari orang besar tersebut. Kita yang cuma orang kecil, kaum antah berantah ini, tentu tak mungkin bisa berada di lingkungan para pemegang tali tersebut.
Perumpamaan tersebut turut menunjukkan sisi ironis dari orang yang anti-kritik: kebebalannya berlaku maksimal ke orang-orang tertentu sementara ke orang-orang yang lainnya ia justru sangat penurut sekali. Seperti tokoh jurnalistik yang anti-kritik, ia merasa “seperti harimau” ke pihak-pihak yang dianggap lemah, sementara di hadapan pihak-pihak yang lebih kuat darinya justru ia tak lebih dari “seekor kerbau”.
Lebih ironis lagi ketika kita sudah tahu siapa yang menjadi “pemegang talinya”. Dari sana lah kita bisa melihat langsung bagaimana ketidakcocokan antara ucapan dan tindakan dari seorang yang anti-kritik. Di hadapan orang-orang yang dapat “menarik-ulur tali di hidungnya”, ia bisa saja fasih bicara demokrasi, misalnya. Tapi di hadapan orang-orang yang dianggap kecil, ia justru membenamkan demokrasi ke dalam kubangan.
Semoga kita bisa saling mengingatkan satu sama lain agar tidak anti-kritik. ***
Baca juga: https://tarbiyahislamiyah.id/ke-sawah-cangkul-berlebih/
Leave a Review