Berpura-pura Gila Berpura-pura Gila
Perhatian dari keluarga yang menurut beberapa orang adalah hal yang sederhana dan mudah didapat. Namun, tidak berlaku untukku. Hal sederhana itulah yang membuatku sekarang berada di tempat ini. Tempat yang dipenuhi oleh orang-orang yang rintih jiwanya menjerit seperti kehidupannya sudah hilang. Tatapan mereka kosong tetapi pikiran mereka berkecamuk. Hingga memenuhi seisi kepala, seakan-akan mau pecah. Bahkan mereka yang berlaku agresif tanpa alasan akan dimasukkan ke dalam ruang pengasingan berlapis busa bahkan ada yang diikat di kasurnya. Semengerikan itulah bayanganku sebelum tinggal di tempat untuk manusia yang dicap gila oleh sekitar.
Hidup dalam lingkungan keluarga yang nampak sempurna. Bagaimana tidak? Ayahku bekerja sebagai politikus terkenal dan ibuku menjadi pendamping setianya yang selalu mendukung apapun yang dilakukan ayahku. Termasuk memperlakukanku sangat berbeda dari kedua kakakku. Kakak pertamaku sekarang menjadi pengacara dan kakak keduaku sebentar lagi akan menyelesaikan studinya di perguruan tinggi dan nantinya akan menjadi penerus ayahku dalam berkarier di dunia politik. Reputasi keluargaku yang telah dibangun dari dulu nampak suci dan bersih. Namun, jika ada noda yang membuat kotor reputasi tersebut, maka ayahku tidak segan-segan menghilangkannya. Bahkan itu anaknya sendiri. Aku tidak diminta untuk lahir dengan segala kekuranganku, tapi aku percaya setiap orang punya kelebihannya masing-masing. Memang aku berbeda dengan kedua kakakku, aku tidak pandai. Saat sekolah dasar setiap pembagian hasil rapor tetapi nilaiku buruk, aku selalu dimarahi dan jika aku mencoba membela diri ayahku tak segan untuk memukuli dan mengurungku. Dari sekian banyak cacian yang dihantamkan kepadaku. Semua kata tersebut seakan-akan menyatu.
“Dasar anak bodoh! Dasar anak bodoh, anak bodoh!” cacian itu selalu terngiang di kepalaku.
Bodohku seakan aib keluargaku yang harus disingkirkan, bukan menyingkirkan kebodohanku dan membuatku menjadi pandai tapi ayahku memilih untuk menyembunyikanku dan akhirnya menempatkanku di asrama saat aku memasuki sekolah menengah pertama. Cara ini dilakukan agar orang lain tidak mengetahui bahwa ada anak politikus terkenal dengan reputasi bersih memiliki anak yang bodoh. Bahkan selama berada di asrama tak ada satu pun dari mereka menghubungiku untuk menanyakan kabar apalagi menjengukku. Seiring waktu, aku selalu mencoba untuk menjadi lebih baik lagi agar aku dianggap dan diperhatikan. Namun, usahaku seakan tidak dilihat oleh keluargaku sehingga membuatku frustasi.
“Bagaimana caranya agar mereka memberikanku perhatian? Aku frustasi dan butuh sekali dukungan, tapi mereka selalu mengabaikan.” Pertanyaan ini selalu muncul di kepalaku. Sehingga kuputuskan untuk melakukan hal gila. Hal gila yang kulakukan pertama kali adalah mogok makan. Sehingga pihak asrama akan menghubungi keluargaku, setidaknya mereka mengkhawatirkanku. Namun, mereka tak menggubrisnya. Setiap hari yang kupikirkan hanya cara agar dapat perhatian dari keluargaku. Lagi dan lagi kulakukan terus hal gila, yang paling sering adalah berkelahi dengan teman seasrama. Paling fatal adalah saat diriku sudah tak bisa membendung segala kegusaran terhadap yang terjadi dalam hidupku aku beberapa kali mencoba melukai diriku. Namun, lagi-lagi mereka mengabaikannya.
Kefrustasianku berujung pada caraku untuk menemukan kebahagianku dengan caraku sendiri. Mencari kebahagianku dengan berkhayal dan berhalusinasi hanya itu yang dapat kulakukan agar tetap bisa bertahan. Awalnya terlihat normal dan biasa saja. Kegilaanku yang kubuat-buat ini akhirnya menjadi gila sungguhan saat aku melihat ayahku di televisi sedang melakukan kegiatan kampanye untuk partainya karena pesta demokrasi atau yang disebut pemilu akan segera dilaksanakan. Melihat ayahku memasang raut muka tersenyum lebar layaknya manusia paling tidak berdosa dan selalu bahagia. Padahal di sini ada anaknya yang sedang menunggu perhatiannya selama 4 tahun ini. Bahkan saat perkenalan diri, dia menyebutkan bahwa hanya memiliki dua orang anak. Aku mulai emosi menghadapi bahwa sekarang aku benar-benar tidak dianggap ada lagi. Aku berteriak sambil mengacak rambutku. Orang-orang di ruangan yang biasa digunakan untuk menonton televisi di asrama saat akhir pekan menatapku dengan aneh. Dengan emosi yang memuncak aku menunjuk televisi sambil mengatakan, “Aku anakmu, anakmu yang bodoh itu yang telah kau buang, aku di sini. Lihatlah aku!” Aku berusaha mencari benda di sekitar untuk melemparkannya ke televisi. Kemudian kutemukan sebuah pot bunga. Kulempar dan membuat televisi itu pecah. Orang-orang menghindar ketakutan. Pihak keamanan asrama datang dan mengamankanku. Setelah itu aku dikurung di kamarku sendirian. Semua kegilaan yang telah kulakukan selama ini sebenarnya diketahui oleh keluargaku. Hanya saja mereka memberikan uang yang banyak kepada asrama agar tak memperpanjang urusan ini dan sebisa mungkin merahasiakannya tentang hal gila yang kulakukan.
Aku berusaha mencari jalan keluar untuk dapat meluapkan emosiku. Setelah aku mencari-cari kunci cadangan yang pernah aku simpan di sela-sela baju dalam lemari, akhirnya kutemukan. Aku keluar sambil melepaskan seluruh pakaian yang menempel di badanku tanpa meninggalkan sehelai benang pun. Entah mengapa? Aku tak mengerti perasaanku sekarang rasanya semua amarahku tadi juga ikut tanggal bersama dengan semua pakaianku. Berlompat dan berlari kegirangan di koridor asrama. Aku tak menyadari semua yang kulakukan, yang kulihat hanya bunga bertebaran mengiringi jejakku dan orang-orang bersorak gembira dan bertepuk tangan melihatku saat melintas di hadapan mereka. Saat tiba di ujung koridor, aku dicegat dua orang yang sedang tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangannya. Aku mengira meraka adalah ayah dan ibuku yang akan menjemputku untuk pulang.
“Hey, orang gila!” Teriak seseorang dari sudut koridor.
Ucapan itu membuatku tersentak dan menoleh ke belakang. Ternyata semua orang menatapku aneh, jijik, dan ada yang beberapa bersembunyi karena ketakutan. Aku tersadar dan mulai bingung sebenarnya yang terjadi padaku. Tiba-tiba dari belakang aku merasakan rasa sakit, setelah itu aku terjatuh dan semua menjadi gelap.
Mata ini mulai membuka perlahan, kesadaranku belum sepenuhnya kembali. Kususuri setiap ruangan dengan mataku. Aku tidak tahu sekarang sedang berada di mana. Aku tak mengingat kejadian sebelumnya yang membuatku berakhir di tempat ini. Tidak lama, ada seorang pemuda dengan wajah teduh dan menenangkan menggunakan seragam mirip perawat rumah sakit. Dia menjelaskan bahwa aku sedang berada di rumah sakit karena kemarin aku pingsan. Aku tak merasakan sakit apapun pada fisikku. Namun, jiwaku sedang tidak baik-baik saja. Tak pernah terbayangkan sebelumnya saat umurku 17 tahun aku didiagnosis mengalami gangguan psikologi Manic Disorder yaitu gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem berupa mania dan depresi. Kuhabiskan waktu di sini selama sebulan bahkan masa kampanye dan pemilu telah berlalu. Keluargaku tak ada satupun yang datang, yang kulakukan setiap hari hanya minum obat dan konseling. Hingga akhirnya aku dinyatakan sembuh. Namun, sewaktu-waktu dapat kembali kambuh. Tidak ada yang tahu pasti.
Aku mungkin akan menyerah dengan keluargaku dan akan berusaha lagi menjadi diriku yang apa adanya. Namun, setiap kali melihat ayahku di televisi. Keinginana melakukan hal gila kembali terpikir dan seakan sulit dihilangkan karena sudah menjadi kebiasaan. Setidaknya aku harus bertahan sampai aku lulus dan keluar dari asrama ini untuk pulang.
Hingga waktunya tiba untuk aku keluar dari asrama dan kembali pulang setelah sekian lama. Tidak ada yang menjemput bahkan menyambut kepulanganku. Aku dianggap tak pernah ada. Hidupku sungguh menyedihkan. Lalu, aku mencoba mencari kesenanganku di luar. Keluar malam bahkan tak pulang. Perlakuan mereka seperti biasa, mengacuhkanku. Tahun ini akan menjadi kejayaan ayahku sebab dia akan mencalon diri sebagai walikota dan mungkin akan memenangkannya karena rakyat sudah mencintainya sebab reputasinya yang sangat bersih. Sayangnya, sebelum pemilu dilakukan dan masih dalam masa kampanye. Manic disoderku kembali datang, kali ini aku membuka bajuku di rumah. Dengan santai aku keluar kamar tanpa menggunakan sehelai kain yang menempel di tubuhku. Sontak seisi rumah terkejut dan akhirnya aku dikembalikan lagi ke rumah sakit jiwa.
Segala sesuatu yang kulakukan masih tidak dapat terkontrol, aku bisa tiba-tiba depresi bahkan tiba-tiba terlalu gembira hingga aku melucuti semua bajuku. Sampai tiba saat aku dapat lolos dari rumah sakit jiwa. Untung saja saat itu aku menggunakan sehelai jas yang menutupi kemaluanku. Berlari mencari keramaian dan berakhir di sebuah acara kampanye calon walikota yang tak lain adalah acara yang diselenggarakan ayahku. Mungkin takdir yang menuntunku hingga sampai ke tempat ini. Aku berlari dan berteriak-teriak, orang-orang menepi karena ketakutan sehingga memudahkanku untuk melewati hingga tiba di atas panggung.
“Aku anaknya, aku anaknya, aku anaknya.” Ku ulang-ulang terus tanpa sadar.
Saat tiba di atas panggung ku ambil mic. “Halo semuanya, aku adalah anak bungsu dari calon walikota ini. Aku adalah pasien gangguan jiwa.” Tanpa beban semua kata itu keluar dari mulutku. Di ujung sana ayahku sangat terkejut melihatku dan akhirnya pingsan. Kulihat ibuku juga ada di sana.
“Aku adalah aib keluarga, seperti yang kalian lihat. Ayah dan kakak-kakakku adalah orang hebat. Hanya aku yang bodoh dikeluargaku. Meskipun begitu ini bukan salahku, aku hanya terlahir dengan sedikit kekurangan. Namun, semua orang mengabaikan dan menyembunyikanku seperti aku tidak ada. Ditempatkan di asrama bertahun-tahun, padahal aku juga anaknya.” Tetes air mata mengiringi setiap ucapanku, orang-orang hening mendengarkanku.
“Aku hanya butuh perhatian, aku melakukan hal gila. Lalu, aku menjadi gila sungguhan!” Aku berteriak.
Tak lama petugas rumah sakit jiwa datang untuk menangkapku, sebelum aku masuk ke mobil, ibuku datang dan langsung menamparku.
“Apa kau sudah lega telah mempermalukan keluargamu? Kau puas? Harusnya kau pura-pura mati saja. Dasar Bodoh!” Dia terisak tak kuasa membendung air matanya.
Tamparan ibuku cukup perih, aku mengira ibuku hanya memperhatikan kakak-kakakku tetapi setelah ditampar aku menyadari ibuku tidak membenciku. Ini adalah tamparan perhatian yang semalam ini kucari. Aku sangat bahagia. Aku berjanji akan sembuh dan berusaha untuk menjadi yang terbaik dengan caraku.
Leave a Review