Bersandar Kembali di Urat Tunggang Bersandar Kembali di Urat Tunggang Bersandar Kembali di Urat Tunggang
Oleh: Heru Joni Putra, Sastrawan
Tanggal 7-8 Mei 1951, dalam peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara, setelah para ulama menyampaikan ceramah, Presiden Soekarno pun memberikan wejangannya. Selain menjabarkan tentang kebesaran Nabi Muhammad SAW, ia mengingatkan untuk ke sekian kali agar Pancasila diamalkan secara penuh-seluruh dan tidak tercerai-berai. Salah satu penekanan yang diberikan presiden: kita tidak bisa hanya mementingkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja lalu menganggap sila lainnya tidak perlu.
Paparan Presiden Soekarno kala itu menimbulkan kegaduhan di kalangan umat Islam, hingga kemudian umat Islam meminta Buya Hamka memberikan tanggapan. Ulama kharismatik itu kemudian menulis risalah berjudul “Urat Tunggang Pantjasila” yang diterbitkan tahun itu juga oleh Pustaka Keluarga. Dalam risalah tersebut, Buya Hamka tak hanya berhasil meneduhkan suasana, tetapi menjelaskan posisi sila pertama di antara sila lainnya.
Risalah tersebut dapat disebut sebagai salah satu tafsiran penting atas Pancasila yang secara khsusus ditujukan untuk warga negara Indonesia yang bergama Islam. Akhir-akhir ini, tafsiran yang sudah dimulai Hamka itu menjadi semakin krusial untuk diusung kembali, bukan sekadar untuk memperingati Hari Lahir Pancasila yang sudah lewat beberapa minggu, tetapi karena berbagai provokasi yang membenturkan Pancasila dan Islam semakin menjadi-jadi. Dalam provokasi yang beredar, tampak sekali ada kesengajaan untuk memosisikan ajaran dalam Pancasila sebagai saingan ajaran Islam, sehingga kemudian umat Islam yang gampang terprovokasi dapat dengan begitu mudah melontar ujaran kebencian yang tak sampai di persoalan dasar negara ini saja, melainkan terus beranak-pinak dan kemudian menyerang apa saja dengan membabi-buta.
Buya Hamka tidak mengatakan bahwa warga negara Indonesia yang beragama Islam cukup menjalankan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, namun beliau dengan baik-baik mengajak umat Islam Indonesia untuk menempatkan sila pertama itu sebagai urat tunggang Pancasila, yakni sebagai fondasi yang mesti dikokohkan. Karena hanya dengan begitulah, dalam istilah saya, ada “potensi terjamin” untuk menjalankan empat sila lainnya.
Tulisan Buya Syafii Maarif tempo hari (30 Mei 2021) di koran Kompas telah menyentak kita kembali sejadi-jadinya. Ia tak pernah lelah mengingatkan kepada kita bahwa selama ini Pancasila hanya menjadi etalase politik saja, bahkan lebih tragisnya Pancasila dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan-tindakan yang justru secara prinsip sangat bertolak belakang dengan Pancasila itu sendiri. Refleksi kritis dari Buya Syafii itu membuat kita bertanya, barangkali dengan nada yang sedikit pesimis: Apa yang bisa membuat Pancasila dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya? Bila Pancasila kita posisikan sebagai janji yang harus kita tuntaskan bersama, maka selama ini yang terjadi di panggung negara kita justru hanyalah pameran ingkar janji. Manusia ternyata memang begitu mudah ingkar janji sesama manusia lainnya.
Baca Juga: Dalam Masa-masa Gelap Pancasila
Dalam konteks itulah, menurut saya, pemosisian sila pertama sebagai urat tunggang mempunyai konsekuensi yang penting, tak hanya bagi umat Islam berwarga negara Indonesia, tetapi juga bagi batu-pijak dijalankannya empat sila lainnya dalam kehidupan kita berbangsa dan bertanah air. Ketika sila pertama diposisikan sebagai urat tunggang, maka itu artinya kepada Tuhan Yang Maha Esa-lah kita berjanji untuk menjaga persatuan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial di negeri ini. Dalam konteks ini, berjanji kepada Tuhan adalah berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya sembari mempertaruhkan nasib kita di bawah segala hal yang pasti sanggup dilakukan Tuhan kepada ciptaannya. Dan bukan sebaliknya: berjanji kepada Tuhan Yang Maha Esa lalu kemudian menjadikan nama Tuhan Yang Maha Esa sebagai pembenaran untuk mengobrak-abrik persatuan, memberaki kemanusiaan, bermuslihat dalam demokrasi, dan mengkhianati keadilan sosial.
Di tengah kondisi semakin tidak beradabnya para elit politik kita dalam berjanji, salah satunya karena mereka tahu bahwa manusia lain bisa dikhianati dengan suatu dan lain cara, maka janji kepada Tuhan tak akan pernah bisa didustai dengan muslihat apa pun. Berjanji kepada Tuhan untuk mencapai visi Pancasila—yang juga berkaitan dengan visi Islam itu sendiri—adalah satu-satunya jaminan yang dapat dipercaya saat ini. Bila para elit politik misalnya ingkar janji dan katakanlah mereka bisa mengukur keterbatasan kekuatan rakyat untuk melawan mereka, maka apakah mereka dapat mengukur kekuataan Tuhan yang dapat membalas dusta mereka dengan balasan yang tak dapat disangka-sangka?
Menjadikan sila pertama sebagai urat tunggang Pancasila, khusus untuk umat Islam, maka artinya bukan memaksakan Islam sebagai agama yang harus dianut semua rakyat Indonesia, melainkan berusaha mencapai visi Pancasila dengan kekuatan manusia sekaligus kekuatan di luar kemampuan manusia. Bila kekuataan manusia mencapai batasnya, maka bukan berarti kita tak akan pernah berhasil mencapai visi itu, sebab masih ada Kekuataan lain yang berada bersama kita. Bila kemampuan manusia terbatas untuk melawan kemunafikan sesama manusia, maka masih ada Kekuasaan lain yang dapat menentukan segalanya.
Ikhtiar menjalankan agama Islam dengan seberadab-adabnya tidak akan membuat kita berlawanan dengan dasar negara. Di tengah kehidupan antar umat beragama lainnya, visi Pancasila untuk menciptakan persatuan sekaligus menjaga kemanusiaan dengan cara berdemokrasi untuk mencapai keadilan sosial sudah seiya-sekata dengan visi yang ingin dicapai oleh Islam itu sendiri. Dengan demikian, sudah sangat jelas, mengkhianati Pancasila sama artinya dengan membelakangi visi Islam. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa tapi masa bodoh dengan persoalan kemanusiaan dan mengeruk keuntungan di atas ketidakadilan sosial, sebagai contoh, sama saja artinya dengan mendustakan agama.
Baca Juga: Islam di Sumatra Barat yang Sedang Sial
Sekali lagi, untuk melandasi komitmen kita, yang perlu ditegaskan adalah pemosisian kembali sila pertama sebagai urat tunggangnya. Tanpa bermaksud meniadakan pentingnya negara: di zaman penuh muslihat dan perbudakan yang berbulu political correctness ini, ketika kepercayaan atas satu nusa satu bangsa sering dikhianati dengan gampang selama berpuluh-puluh tahun usia negara ini, maka rasa percaya apa lagi yang bisa menyatukan kita selain kesamaan keyakinan bahwa ada kekuataan lain di luar manusia yang disebut Tuhan Yang Maha Esa? Keyakinan atas Kekuatan itu tidak hanya menjadi dasar komitmen kita untuk tidak berkhianat pada persatuan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial. Tetapi juga, menjadi peringatan bahwa setinggi-tingginya level kecerdasan umat manusia dalam menipu sesama—sekalipun atas nama Tuhan—maka kita juga tahu bahwa kita semua adalah calon jenazah.
Leave a Review