scentivaid mycapturer thelightindonesia

Bid’ah dalam al-Qur’an

Bid’ah dalam al-Qur’an

Namun nyaris kita tidak menemukan bahasan tentang bid’ah dalam al-Qur’an. Apakah ada ayat yang berbicara tentang bid’ah? Kalau ada, bagaimana al-Qur’an memandang sesuatu yang bid’ah itu?

———-

Mungkin saya termasuk orang yang mulai ‘jenuh’ membicarakan masalah bid’ah ini. Tapi, suka tidak suka, masalah ini selalu saja muncul dalam berbagai kesempatan. Dan, ada (banyak) orang yang memang ‘hobi’ melemparkan cap ‘ini bid’ah’ dan ‘itu bid’ah’ di berbagai kajian mereka.

Tak bisa dipungkiri bahwa di tengah-tengah masyarakat memang terdapat berbagai amal yang bisa disebut sebagai sesuatu yang bid’ah. Menutup mata dari hal itu dan mendiamkannya dengan dalih agar kita diterima oleh masyarakat dan tidak dikucilkan oleh mereka tentu tak bisa diterima.

Namun ‘melulu’ mengangkat tema ini, ditambah dengan kecenderungan untuk melabeli setiap amal yang belum dijumpai dalilnya sebagai sesuatu yang bid’ah, tentu tak bisa didiamkan. Apalagi kalau hal ini sudah menimbulkan ‘kebingungan’ di tengah masyarakat.

***

Dalam beberapa bulan terakhir saya lebih fokus memberikan kajian tentang fikih ibadah dasar kepada masyarakat. Alhamdulillah respons mereka sangat menggembirakan. Bahkan dalam sebuah wirid ASN yang dihadiri para pejabat pemerintah daerah, mereka minta ada jadwal rutin untuk membahas masalah yang kadang terabaikan ini.

Dalam sebuah pengajian tentang fiqih shalat, ada pertanyaan dari salah seorang jamaah yang menyiratkan kebingungan, “Ustadz, benarkah membaca al-Fatihah setelah shalat itu bid’ah karena hal ini tak pernah dikerjakan oleh Nabi?” Ada juga yang bertanya, “Kalau saya menambah bacaan ayat kursi dan tiga qul di samping bacaan dzikir, tasbih, tahmid dan takbir yang biasa dibaca setelah shalat, apakah boleh?”

***

Membahas masalah ini dalam tulisan singkat tentu tidak mungkin. Karena pembahasan yang tidak lengkap hanya akan melahirkan pemahaman yang tak utuh.

Tapi ada satu hal yang patut jadi perhatian. Dalam berbagai perdebatan dan diskusi seputar bid’ah, hampir semua orang berpijak pada hadis yang sangat populer seperti:

مَنْ أَحْدَثَ فىِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Atau hadits:

وَشَرُّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ

Atau perkataan Umar bin Khattab ra:

نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

Tentu dengan berbagai pemahaman yang dikemukakan; antara yang memukul rata segala sesuatu yang baru sebagai bid’ah yang tercela dengan yang mengklasifikasi hal baru ke dalam bid’ah lughawiyyah dan bid’ah syar’iyyah.

Namun nyaris kita tidak menemukan bahasan tentang bid’ah dalam al-Qur’an. Apakah ada ayat yang berbicara tentang bid’ah? Kalau ada, bagaimana al-Qur’an memandang sesuatu yang bid’ah itu?

Mari kita pahami ayat berikut ini:

ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَى آثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآتَيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد : 27)

“Kemudian Kami susulkan rasul-rasul Kami mengikuti jejak mereka dan Kami susulkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan Injil kepadanya, dan Kami jadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka kecuali mencari ridha Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya. Maka kepada orang-orang yang beriman diantara mereka Kami berikan pahalanya dan banyak diantara mereka yang fasik.”

Fokus kita adalah pada kalimat:

وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ

“Mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka…”

Allah Swt menegaskan bahwa Dia tidak pernah mewajibkan pada mereka rahbaniyyah (mengasingkan diri dari kesenangan dunia dan berfokus pada ibadah semata). Mereka sendiri yang membuat-buat itu (ابْتَدَعُوهَا).

Tapi apakah Allah menghukumi hal itu tercela karena ia sesuatu yang dibuat-buat atau bid’ah? Tidak.

Yang disesalkan dari mereka adalah:

فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا

“Mereka tidak memeliharanya dengan semestinya…”

Imam Thahir bin ‘Asyur dalam tafsirnya at Tahrir wa at Tanwir menjelaskan:

والمعنى وابتدعوا لأنفسهم رهبانية ما شرعناها لهم ولكنهم ابتغوا بها رضوان الله فقبلها الله منهم…

“Makna ayat ini: mereka sendiri yang membuat-buat rahbaniyyah itu. Kami tidak pernah mensyariatkannya pada mereka. Tapi itu semua mereka lakukan untuk mengharap Ridha Allah.” Maka Allah Swt menerima hal itu.

Garis bawahi kalimat Ibnu ‘Asyur:

فقبلها الله منهم

“Allah menerima rahbaniyyah itu dari mereka.”

Berarti Allah menerima sesuatu yang bid’ah? Kenapa? Karena itu mereka lakukan untuk mengharap ridha-Nya.

Muncul pertanyaan, apakah ini berarti setiap orang boleh mengamalkan apa saja selama itu diniatkan untuk mengharap ridha Allah?

Tentu tidak demikian. Kita mesti perhatikan konteks ayat tersebut.

Rahbaniyyah itu bukan ibadah baru. Ia hanyalah sarana atau wasilah. Jadi mereka tidak sedang membuat ibadah baru yang bertentangan dengan ibadah yang sudah ada.

Terkait dengan pertanyaan jamaah tadi, kita bisa bertanya: Apakah orang yang membaca al-Fatihah setelah shalat itu membuat ibadah yang baru? Bukankah ia sekadar ingin menambah pahala dengan membaca sebuah surat dalam al-Qur’an di waktu yang mulia yaitu setelah shalat? Bukankah kita dianjurkan membaca al-Qur’an kapanpun dan dimanapun? Apalagi di waktu-waktu yang mulia seperti sesudah shalat?

Akan ada yang bertanya, bukankah Nabi tidak pernah melakukan hal demikian?

Pertama, apakah Anda yakin Nabi tidak pernah melakukannya? Sudah berapa kitab hadits yang Anda cek untuk sampai pada kesimpulan itu?

Kedua, kalaupun Nabi tidak pernah melakukannya apakah lantas ia langsung menjadi bid’ah?

Tentu akan panjang pembahasannya jika ini di-kambang laweh.

***

Walaupun demikian, orang yang berusaha untuk mengamalkan apa yang ia yakini memiliki dalil secara khusus tentu lebih baik.

Imam Thahir bin ‘Asyur menegaskan :

والمعنى أنهم ابتدعوا العمل بها فلا يلزم أن يكون جميعهم اخترع أسلوب الرهبانية ولكن قد يكون بعضهم سنها وتابعه بقيتهم… والذين اتبعوه صادق على من أخذوا بالنصرانية كلهم، وأعظم مراتبهم هم الذين اهتدوا بسيرته اهتداء كاملا وانقطعوا لها وهم القائمون بالعبادة.

Intinya, tidak semua mereka yang membuat-buat rahbaniyyah itu. Hanya sebagian saja. Dan yang sebagian ini diikuti oleh yang lain. Adapun mereka yang mengikut Isa bin Maryam secara apa adanya tentu lebih besar derajat dan martabat mereka.

Di bagian akhir tafsir ayat ini, Ibnu Asyur menegaskan:

وفيها حجة لانقسام البدعة إلى محمودة ومذمومة بحسب اندراجها تحت نوع من أنواع المشروعية فتعتريها الأحكام الخمسة كما حققه الشهاب القرافي وحذاق العلماء

“Ayat ini menjadi dasar pendapat yang membagi bid’ah pada bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah sesuai tingkat ketermasukannya di dalam jenis masyru’iyyah sehingga bid’ah itu dikelilingi oleh hukum yang lima sebagaimana dikaji secara mendalam oleh al Qarrafi dan ulama-ulama brilian lainnya.”

***

Jadi, Anda yang ingin beramal persis seperti apa yang dilakukan Nabi sesuai dengan yang Anda ketahui (karena boleh jadi apa yang Anda ketahui itu keliru) silahkan saja.

Tapi tidak perlu melabeli bid’ah amal orang lain yang masih berada dalam koridor umum syariat yang ia kerjakan untuk mengharap ridha Allah Swt.

Yang kita khawatirkan adalah Anda menghukumi salah sesuatu yang ternyata oleh Allah Swt diterima.

والله تعالى أعلم وأحكم

[Yendri Junaidi]

Yendri Junaidi
Alumni Perguruan Thawalib Padangpanjang dan Al Azhar University, Cairo - Egypt