scentivaid mycapturer thelightindonesia

Bila Maulid Didendangkan: Satu Waktu di Surau Lubuak Ipuah, Pariaman

Foto Surau Lubuak Ipuah, masa kini. (Dokumentasi penulis, 2012)
Foto Dok. Penulis

Surau Lubuak Ipuah

Oleh: al-Faqir al-Haqir Apria Putra

Tulisan ini ditulis berdasarkan perjalanan ke Surau Lubuak Ipuah, pada Desember 2011. Dilengkapi dengan informasi literatur lain seputar Lubuak Ipuah, seperti “Sejarah Syi’ar Islam di Lubuak Ipuah”, tulisan Buya Mansuruddin Tuanku Bagindo berdasarkan riwayat yang diuraikan oleh Tuanku Abdurrahman (Tuanku Kali ke-III di Lubuak Ipuah)

Sayup-sayup terdengar suara seseorang berdendang dari kejauhan. Bunyi serak dan penuh khitmat, terasa sangat khusuk di tengah malam itu. Dari jauh, dengan jelas didengar dendang Maulid Nabi, riwayat kisah perjalanan (sirah) Nabi Muhammad saw. yang dibaca dengan bahasa Arab nan penuh intrik sastra. Pendengarnya tentu akan haru, sebab bait-bait kisah perjalanan Rasulullah itu menyelinap hati sampai ke sanubari paling dalam. Itu Maulid Syaraful Anam. Si-pendendang sendiri tak lain ialah Tuanku Kadi Lubuak Ipuah.

Baca Juga: Maulid di Minangkabau (1): Barzanji dan Syaraful Anam

Malam itu, saya baru saja pulang dari Lubuak Landua, Pasaman Barat. Sebelum sampai di Kota Padang, kami sempatkan mampir di Surau Lubuak Ipuah, Pariaman. Setelah sampai di depan surau itulah saya mendengar takjub dendang Maulid Nabi Syaraful Anam itu.

Surau Lubuak Ipuah: Sekilas sejarah dan posisinya

Surau Lubuak Ipuah sendiri ialah salah satu pusat agama Islam tertua di Pesisir setelah Surau Syekh Burhanuddin Ulakan. Sekitar abad 17-18, di Lubuak Ipuah terdapat salah seorang murid Syekh Burhanuddin Ulakan, yaitu Syekh Jangguik Itam. Syekh Jangguik Itam mempunyai seorang cucu yang ‘alim, beliau bernama Syekh Abdurrahman Lubuak Ipuah. Pada saat itu ramai-lah murid-murid berdatangan dari berbagai daerah, sehingga Syekh Abdurrahman menghabiskan masa untuk melayani murid-murid yang menuntut ilmu tersebut. Untuk hal keagamaan masyarakat Lubuak Ipuah, untuk memudahkan dalam mengamalkan ajaran agama, beliau kemudian menulis tuntunan praktis seputar ibadah, tauhid dan tasawuf dalam sebuah kitab. Kitab itu kemudian dikenal dengan nama “Risalat Lubuak Ipuah”, ditulis dalam bahasa Melayu aksara Arab (Arab Melayu). Sampai saat ini risalah ini tetap menjadi pedoman ringkas bagi masyarakat untuk soal amal ibadah.

Di masa Syekh Abdurrahman inilah jabatan Tuanku Kali (Tuanku Kadi) mulai diadakan. Sampai saat ini posisi Tuanku Kali telah dipegang oleh enam generasi. Secara berurutan, Tuanku Kali Lubuak Ipuah ialah:

1. Tuanku Kali Capuak.
2. Tuanku Kali Thaib
3. Tuanku Kali Abdurrahman
4. Tuanku Kali Musa
5. Tuanku Kali Abdurrazaq
6. Tuanku Kali Abdurrasyid (saat ini)

Surau Lubuak Ipuah, yang secara bergantian dari generasi ke generasi dibina oleh Tuanku Kali menepati posisi penting dalam jaringan intelektual Pesisir Minangkabau, khususnya dikalangan Tarekat Syattariyah. Surau ini pernah menjadi basis pendidikan Islam terkemuka di abad-abad lalu. Salah seorang ulama besar yang pernah belajar agama di Surau Lubuak Ipuah, antara lain ialah Syekh Uwaih Limo Puluah Malalo (w. 1930, dalam usia 200 tahun).

Saat ini, dimasa Tuanku Kali Abdurrasyid, Surau Lubuak Ipuah tetap menjadi salah satu sentra, meskipun beberapa tradisi seperti aktivitas belajar kitab telah pupus melewati zaman. Namun, eksistensinya tetap hidup di tengah-tengah masyarakat Pariaman. Beberapa tahun yang lalu, surau ini telah dipugar dari semula berupa surau kayu, sekarang dalam bentuk surau batu. Meski telah dipugar, namun simbol-simbol persenyawaan adat dan agama Islam telah dipelihara dan dipertahankan, seperti gonjong dan labu-labu.

Syaraful Anam: Tradisi Maulid Pesisir di Surau Lubuak Ipuah

Dalam tradisi kaum ulama Minangkabau, di bulan Maulid di adakan perayaan Maulid diberbagai surau sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi sekaligus untuk menyegarkan ingatan akan perjuangan Rasulullah. Tradisi ini merupakan tradisi yang masyhur di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah. Pada perayaan Maulid tersebut dibacakan kisah perjalanan hidup Rasulullah. Di surau-surau Minangkabau, paling tidak ada dua kitab yang menjadi acuan riwayat hidup Rasulullah yang dibaca dalam perayaan Maulid. Yaitu (1) kitab Barzanji, karangan Syekh Ja’far al-Barzanji, ulama besar Syafi’iyyah di Madinah Munawwarah, dan (2) Maulid Syaraful Anam.

Barzanji biasa dibaca dikalangan ulama yang bertarekat Naqsyabandiyah. Sedangkan Syaraful Anam biasanya dikalangan Syattariyah. Oleh karenanya, Surau Lubuak Ipuah membaca Syaraful Anam dalam tradisi Maulidnya.

Menarik untuk diungkap, irama dendang Syaraful Anam, sebagaimana yang saya dengar ketika ke Lubuak Ipuah, ternyata diciptakan oleh seorang ulama Syattariyah lainnya, yaitu Syekh Muhammad Hatta Kapalo Koto. Menurut riwayatnya, Syekh Muhammad Hatta satu kali duduk dipinggir pantai dan mendengar alunan ombak yang menggebu. Dari suara alunan ombak itu-lah beliau menciptakan nada irama Syaraful Anam tersebut. Sehingga pendengar Maulid Syaraful Anam akan merasa perasaan yang dalam, menimbulkan rasa khitmat mengenang Rasulullah.

Baca Juga: Negeri Seribu Selawat dan Dala’il Khairat di Minangkabau

Ketika Maulid Didendangkan

Maulid Nabi telah berlangsung lama. Maulid merupakan suatu inovasi beragama yang dimulai oleh orang-orang shaleh dimasa silam untuk membangkitkan semangat dalam menjalankan syari’at Rasulullah. Jumhur ulama menganjur Maulid Nabi, karena Maulid mempunyai hikmah yang banyak, selain juga disokong nash-nash Naql secara ‘amm.

Satu artikel yang cukup menarik mengenai perjalanan tradisi Maulid ditulis oleh Nico Kaptein, salah seorang akademisi Leiden University yang konsen pada sejarah Islam Indonesia. Ia menulis The Berdiri Mawlid Issue Among Indonesian Muslims in the Period from Circa 1875 to 1930 (Bijdragen tot de taal-, Land, -en Volkenkunde, 1993, 124-153). Dalam artikel ini ia menguraikan bagaimana Maulid menjadi isu penting keagamaan di dunia Muslim, termasuk Indonesia. Serangan modernis (Muhammadiyah dan Salafi-Wahabi) menjadi pengikis utama dari tradisi ulama yang telah berlangsung lama ini.

Barangkali, tradisi ini di sebagian daerah tinggal kenangan. Namun, bagaimanapun orang-orang yang mencela Maulid di zaman ini, namun kecintaan akan Rasulullah akan tetap menggebu di hati urang-urang Surau Minangkabau. Itulah makna penting Maulid didendangkan.[]

Apria Putra
Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Pengampu Studi Naskah Pendidikan/Filologi Islam, IAIN Bukittinggi dan Pengajar pada beberapa pesantren di Lima Puluh Kota