Salah satu pertanyaan yang masih ditemukan sering ditanyakan oleh masyarakat adalah apakah perempuan yang sedang haid boleh memotong rambutnya dan atau menggunting kukunya? Pertanyaan ini meluas menjadi apakah orang yang sedang berhadas besar boleh memotong rambut, kuku, atau melakukan aktivitas lain yang membuat ada bagian tubuhnya yang terlepas (seperti berbekam dan lain-lain) ?
Pertanyaan ini muncul karena doktrin yang tersebar di masyarakat adalah dalam mazhab Syafi’i (yang merupakan mazhab dengan penganut terbesar di Indonesia) tidak boleh memotong rambut dan menggunting kuku, serta apabila ada rambut yang jatuh atau rontok, maka harus dikumpulkan agar kemudian dimandikan bersama setelah suci dari haid (biasanya bersama-sama dimandikan saat mandi besar setelah haid).
Pembahasan mengenai masalah ini sepengetahuan penulis masyhur dibahas pertama kali oleh Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya yang terkenal Quut al-Qulub fi Mu’amalat al-Mahbub. Abu Thalib al-Makki berpendapat:
وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ يَحْلِقَ الرَّجُلُ رَأْسَهُ أَوْ يُقَلِّمَ ظُفْرَهُ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يَتَوَرَّى وَيُخْرِجَ دَمًا وَهُوَ جُنُبٌ، فَإِنَّ الْعَبْدَ يُرَدُّ إِلَيْهِ جَمِيْعُ شَعَرِهِ وَظُفْرِهِ وَدَمِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَمَا سَقَطَ مِنْهُ مِنْ ذَلِكَ وَهُوَ جُنُبٌ رَجَع إِلَيْهِ جُنُباً. وَقِيْلَ: طَالَبَتْهُ كُلُّ شَعْرَةٍ بِجَنَابَتِهَا
“Saya membenci seorang laki-laki mencukur kepalanya atau memotong kukunya atau mencukur bulu kemaluannya atau mengeluarkan darahnya, sementara dia dalam keadaan junub. Itu karena seorang hamba akan dikembalikan kepadanya seluruh rambutnya, kukunya, dan darahnya besok pada hari kiamat. Apa saja anggota tubuhnya yang lepas darinya disebabkan hal-hal di atas dalam keadaan dia junub maka akan kembali kepadanya dalam keadaan junub. Dikatakan setiap rambut akan menuntutnya dengan sebab junub yang ada pada rambut tersebut.”
Baca Juga: Hukum Wanita Haid Memotong Kuku dan Rambut
Imam al-Ghazali kemudian membahas kembali masalah tersebut dalam kitabnya Ihya Ulumiddin. Imam al-Ghazali berkata:
وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَلِّمَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًا أَوْ يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ تُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي اْلآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُباً وَيُقاَلُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجِناَبَتِهَا
“Seyogyanya seseorang tidak mencukur rambut, memotong kuku, mencukur bulu kemaluannya atau membuang sesuatu dari badannya pada saat dia sedang dalam keadaan junub (berhadas besar), karena seluruh bagian tubuhnya akan dikembalikan kepadanya di akhirat kelak, lalu dia akan kembali juga dalam keadaan junub. Dikatakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya dengan sebab junub yang ada pada rambut tersebut.”
Dua kitab (Quut al-Qulub dan Ihya’) yang ditulis oleh dua imam di atas sebenarnya adalah kitab yang lebih fokus kepada bahasan tasawuf yang kental dengan nilai ihsan dan ihtiyath dalam beramal. Imam al-Ghazali sendiri membahas hal ini pada bab adab-adab pernikahan (lebih fokusnya adab-adab dalam kondisi junub). Maknanya, di antara adab bagi seseorang yang sedang berhadas besar adalah untuk tidak mencukur rambut, memotong kuku, mencukur bulu kemaluannya atau membuang sesuatu dari badannya. Hendaknya ia menunda terlebih dahulu hingga dia telah suci.
Sejak dibahas oleh Imam al-Ghazali tersebut, pembahasan apakah orang yang sedang berhadas besar boleh atau tidak melakukan sesuatu yang dianggap sebagai membuang bagian dari tubuhnya, (seperti memotong rambut, mencukur bulu, memotong kuku, berbekam, mengeluarkan darah, dan semisalnya), mulai jadi pembahasan di beberapa kitab fikih mazhab. Di antaranya dibahas oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj:
ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﺰﻳﻞ ﺫﻭ ﺣﺪﺙ ﺃﻛﺒﺮ ﻗﺒﻠﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺑﺪﻧﻪ ﻭﻟﻮ ﻧﺤﻮ ﺩﻡ ﻗﺎﻝ اﻟﻐﺰاﻟﻲ ﻷﻥ ﺃﺟﺰاءﻩ ﺗﻌﻮﺩ ﺇﻟﻴﻪ ﻓﻲ اﻵﺧﺮﺓ ﺑﻮﺻﻒ اﻟﺠﻨﺎﺑﺔ ﻭﻳﻘﺎﻝ ﺇﻥ ﻛﻞ ﺷﻌﺮﺓ ﺗﻄﺎﻟﺒﻪ ﺑﺠﻨﺎﺑﺘﻬﺎ
“Seyogyanya, orang yang sedang berhadas besar tidak melepaskan sesuatu dari tubuhnya meskipun dalam bentuk darah. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa anggota tubuh yang terlepas itu akan kembali di hari kiamat dalam keadaan junub (belum bersuci) kepada orang itu. Dikatakan bahwa setiap rambut itu nanti akan menuntut orang itu untuk mensucikannya”.
Diikuti juga oleh Imam Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj:
قال في الإحياء: لا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج دما أو يبين من نفسه جزءا وهو جنب، إذ سائر أجزائه ترد إليه في الآخرة فيعود جنبا. ويقال إن كل شعرة تطالب بجنابته
“Imam al-Ghazali berkata dalam al-Ihya’: Semestinya seseorang tidak mencukur rambut, memotong kuku, mencukur bulu kemaluannya, mengeluarkan darah, atau melepaskan sesuatu dari tubuhnya di saat dia dalam keadaan junub. Alasannya adalah karena anggota tubuh yang lepas itu akan dikembalikan kepadanya di hari akhirat, dan kembalinya dalam keadaan junub. Dikatakan bahwa setiap rambut itu akan menuntut orang itu sebab junub hanya ada pada rambut itu.”
Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab beliau Nihayah al-Zain juga turut mengutip pendapat tersebut
وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ أَلَّا يُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًا أَوْ شَعَرًا أَوْ ظُفْرًا حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الْحَدَثُ الْأَكْبَرُ تَبْكِيْتًا لِلشَّخْصِ
“Siapa yang wajib mandi (karena berhadas besar), maka hendaknya dia tidak menghilangkan satu pun dari anggota badannya meskipun hanya berupa darah atau kuku, sampai dia melakukan mandi wajib tersebut. Itu karena semua anggota badan akan kembali kepadanya di hari akhirat. Jika dia menghilangkan anggota tubuh itu dalam kondisi berhadas besar sebelum mandi, maka (anggota tubuh yang lepas ketika) hadas besar itu akan kembali kepadanya sebagai teguran kepadanya.”
Selain fuqaha mazhab Syafi’i, fuqaha mazhab Hanafi mutaakhirin juga membahasnya. Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyah disebutkan:
حلق الشعر حالة الجنابة مكروه وكذا قص الأظافر
“Mencukur rambut ketika dalam kondisi junub itu hukumnya makruh. Begitu pula memotong kuku.”
Bahasan yang hampir mirip sebenarnya juga dibahas dalam kitab-kitab ulama fikih, tetapi fokusnya adalah rambut atau kuku yang lepas ketika proses mandi wajib atau mandi besar itu sedang dilaksanakan. Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya Raudhah al-Thalibin:
ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم نتفها قال الماوردي إن كان الماء وصل أصلها أجزأه وإلا لزمه إيصاله إليه وفي فتاوى ابن الصباغ يجب غسل ما ظهر وهو الأصح وفي البيان وجهان أحدهما يجب والثاني لا لفوات ما يجب غسله كمن توضأ وترك رجله فقطعت
“Seandainya seseorang membasuh seluruh badannya (ketika mandi wajib) kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu), lalu ia mencabut rambut itu (sebelum dibasuh), maka Imam Mawardi berpendapat, ‘Jika air dapat sampai ke akar helai itu (yang masih tertanam dalam tubuh), maka sudah dianggap cukup dan memadai untuk memenuhi keabsahan mandi wajib. Akan tetapi jika ternyata air tidak sampai, maka ia mesti menyampaikan air ke dasar rambut (yang sudah lepas) itu.’ Sedangkan fatwa Ibn al-Shabagh menyebutkan, ‘Wajib membasuh bagian yang tampak saja.’ Pendapat ini lebih sahih. Sementara dalam kitab al-Bayan (karangan al-Imrani yang juga merupakan syarah/komentar atas kitab al-Muhadzzab Imam al-Syirazi) menyebutkan dua pendapat. Pendapat pertama, wajib hukumnya (membasuh bagian tubuh yang terlepas). Pendapat kedua, hukumnya tidak wajib. Alasannya adalah karena bagian yang mesti dan akan dibasuh itu telah hilang. Ini sama halnya dengan orang yang berwudhu, tetapi tidak sempat membasuh kakinya, lalu kaki itu diamputasi.”
Zainuddin al-Malibari (Malyabari) dalam kitabnya Fathu al-Muin juga menjelaskan dalam pembahasan mandi wajib:
وَ ) ثاَنِيْهِمَا ( تَعْمِيْمُ ) ظَاهِرُ ( بَدَنٍ حَتىَّ ) َاْلأَظْفاَرَ وَماَ تَحْتَهاَ وَ ( الشَّعْرَ ) ظَاهِرًا وَباَطِناً وَإِنْ كَثِفَ وَماَ ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتْ قَبْلَ غَسْلِهاَ
“Syarat yang kedua adalah meratakan air pada seluruh anggota badan yang zahir (yang tampak) hingga ke kuku dan ke bagian bawah kuku, dan juga hingga ke rambut bagian luar dan dalam, yaitu tempat tumbuhnya rambut yang telah lepas sebelum mandi.”
***
Berdasarkan uraian para ulama tersebut di atas, mari kita bahas beberapa pembahasan berikut;
Pertama, apa hukumnya seseorang yang sedang berhadas besar (dalam kondisi junub akibat keluar mani atau habis berhubungan suami istri atau wanita yang sedang haid dan nifas) secara sengaja memotong rambut, atau mencukur bulu di badannya, atau memotong kuku, atau berbekam, dan tindakan lainnya yang dianggap melepaskan anggota tubuh yang melekat?
Jika kita lihat uraian para ulama di atas, dan pembahasan ulama lainnya dalam kitab fikih, maka hukum masalah ini adalah seputar boleh atau maksimal hanyalah sampai makruh atau tidak dianjurkan sebagaimana pendapat beberapa ulama tersebut di atas. Maknanya, tidak ada dosa sama sekali bagi seseorang yang melakukannya. Apalagi kalau dilakukan karena ada kebutuhan (hajat) atau karena kondisi darurat, tentu hukumnya bisa naik menjadi dianjurkan, malah bisa menjadi wajib dengan sebab darurat tersebut.
Adapun apabila rambut tersebut rontok dengan sendirinya tanpa disengaja atau kuku yang terlepas karena tidak sengaja, maka hukumnya tidak lagi kena ke makruh. Begitu pula apabila dia sengaja memotongnya sementara waktu salat sudah masuk padahal dia belum mandi wajib. Imam Ali Syibramalisi menuliskan dalam Hasyiyahnya
ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻣﺤﻞ ﺫﻟﻚ ﺣﻴﺚ ﻗﺼﺮﻛﺃﻥ ﺩﺧﻞ ﻭﻗﺖ اﻟﺼﻼﺓ ﻭﻟﻢ ﻳﻐﺘﺴﻞ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ ﻛﺄﻥ ﻓﺠﺄﻩ اﻟﻤﻮﺕ
“Kondisi makruh itu adalah apabila dalam waktu yang sempit, seperti telah masuk waktu salat sementara dia belum mandi wajib. Kalau waktunya tidak sempit (terbatas), maka tidak makruh, seperti maut yang datang tiba-tiba.”
Di antara dalil yang menunjukkan tidak ada dosa sama sekali bagi yang melakukannya adalah hadis riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah RA. Beliau bercerita bahwa suatu kali beliau melaksanakan ibadah haji bersama Rasulullah SAW. Kemudian Allah SWT mentakdirkan beliau mengalami haid di Makkah. Nabi Muhammad SAW bersabda kepadanya:
دعي عمرتك وانقضي رأسك وامتشطي
“Tinggalkan umrahmu, lepas ikatan rambutmu dan bersisirlah…” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadis ini, Rasulullah SAW. memerintahkan Aisyah RA yang sedang haid untuk menyisir rambutnya. Sudah umum terjadi, ketika seseorang (apalagi perempuan) menyisir rambutnya tentu akan ada yang rontok. Namun, Rasulullah SAW malah berkata kepada Aisyah RA untuk bersisir tersebut, yang biasanya akan menyebabkan rambut rontok, baik disengaja maupun tidak.
Meskipun begitu, para ulama tetap menganjurkan kepada orang yang sedang berhadas besar agar menunda memotong rambut, atau mencukur bulu di badannya, atau memotong kuku, atau berbekam, atau tindakan semisalnya, sampai nanti dia telah suci dan mandi besar (mandi wajib). Al-Syarwani mengatakan dalam hasyiyahnya:
ويسن للجُنب تأخير الأخذ من الأجزاء، يعني أجزاء البدن كالشعر والظفر، حتى يتطهر، وقد ينافيه النص في الحيض على أنها تأخذها، أي الأجزاء من شعر وظفر، إلا أن يفرق بأن تطهرها غير مترقب، ومن ثَمّ لو ترقبته وأمكنها الصبر إليه سُنّ لها التأخير] اهـ
“Disunatkan bagi orang yang sedang junub agar menunda memotong atau melepaskan atau mencabut anggota tubuhnya seperti memotong rambut dan kuku, sampai ia bersuci. Meskipun ada nash dalam kondisi haid bahwa Aisyah melakukannya (menyisir rambut yang mengakibatkan rontok dan lepasnya rambut), namun itu adalah kondisi lepas yang tidak dapat diantisipasi. Adapun kalau bisa diantisipasi dan masih bisa sabar untuk menunda memotongnya, maka tetap disunahkan untuk menunda memotongnya.”
***
Kedua, apa alasan ulama yang mengatakan makruh hukumnya seseorang yang sedang berhadas besar (dalam kondisi junub akibat keluar mani atau habis berhubungan suami istri atau wanita yang sedang haid dan nifas) secara sengaja memotong rambut, atau mencukur bulu di badannya, atau memotong kuku, atau berbekam, dan tindakan lainnya yang dianggap melepaskan anggota tubuh yang melekat? Atau bahasa hukumnya adalah apa illat makruhnya?
Masyhur Imam al-Ghazali menyatakan bahwa alasan tidak dianjurkannya perbuatan memotong rambut, kuku, dan semisalnya tersebut adalah karena seluruh bagian tubuhnya akan dikembalikan kepadanya di akhirat kelak, lalu dia akan kembali juga dalam keadaan junub. Dikatakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya dengan sebab junub yang ada pada rambut tersebut. Beliau berpendapat bahwa seluruh bagian tubuh manusia akan dikembalikan kepadanya nanti di akhirat, seluruhnya.
Imam Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq al-Wasith al-Zabidi al-Husaini, yang dikenal dengan sebutan Murtadha al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadah al-Muttaqin Syarah Ihya’ Ulumuddin menerangkan alasan lain yaitu adanya riwayat hadis Maqthu’ Mauquf hanya sampai pada Tabi’in yaitu Imam al-Awza’i, sebagai berikut:
وزاد وقد روينا معنى هذا فى حديث مقطوع موقوف على الاوزاعى قال كنا نقول لا باس ان يطلى الجنب حتى سمعنا هذا الحديث والنص فيه على النهى على ان يطلى الرجل جنبا اه
“Ada riwayat yang berkenaan dengan makna hal tersebut (tidak dianjurkannya memotong rambut, atau mencukur bulu di badannya, atau memotong kuku, atau berbekam dan semisalnya bagi seseorang yang sedang junub atau berhadas besar) yaitu pada hadis Maqthu’ yang Mauquf pada Imam al-Auza’i yang berkata: “awalnya kami berpendapat tidak ada-apa bagi orang junub untuk melepaskan (sesuatu dari tubuhnya), sampai akhirnya kami mendengar hadis ini, dimana teks hadisnya menyatakan melarang seseorang yang sedang junub untuk mencukur (melepaskan sesuatu bagian anggota tubuhnya.”
Mengenai hadis yang disampaikan oleh Imam Murtadha al-Zabidi tersebut beliau tidak menjelaskan bagaimana sanad riwayatnya, akan tetapi hadis yang maqthu’ pada dasarnya dihukum dhaif. Adapun alasan Imam al-Ghazali tersebut di atas ada bantahan dan kritikan oleh beberapa ulama. Al-Syibramalisi dalam hasyiyahnya mengatakan:
هذا مبني على أن الرد ليس خاصا بالأجزاء الأصلية وفيه خلاف، ﻭعبارة الشيخ سعد الدين ﻓﻲ ﺷﺮﺡ اﻟﻌﻘﺎﺋﺪ اﻟﻨﺴﻔﻴﺔ ردا على الفلاسفة: وذلك لأن اﻟﻤﻌﺎﺩ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ اﻷﺟﺰاء اﻷﺻﻠﻴﺔ اﻟﺒﺎﻗﻴﺔ ﻣﻦ ﺃﻭﻝ اﻟﻌﻤﺮ ﺇﻟﻰ ﺁﺧﺮﻩ
“Pendapat Imam al-Ghazali itu dilandaskan kepada pandangan bahwa pengembalian tubuh manusia itu tidak terbatas hanya kepada tubuh asli saja, melainkan seluruh yang pernah menempel. Pandangan ini memiliki kritikan. Ibarat dari Syeikh Sa’aduddin al-Taftazani dalam Syarh al-‘Aqaid al-Nasafiyah raddan ‘ala al-Falafisah mengatakan: Yang dikembalikan di akhirat nanti adalah tubuh asli saja yang kekal menempel dari awal sampai akhir umur seseorang (bukan yang pernah menempel lalu lepas).”
Al-Qalyubi juga membantah alasan Imam al-Ghazali tersebut dalam hasyiyahnya terhadap Syarh al-Mahalli Kanzu al-Raghibin:
وفي عود نحو الدم ﻧﻈﺮ؛ وكذا في غيره ﻷﻥ العائد هو الأجزاء التي مات عليها إلا نقص نحو عضو ﻓﺮاﺟﻌﻪ
“Mengenai pandangan akan dikembalikannya beberapa anggota tubuh seperti darah dan semisalnya di akhirat kelak, pandangan itu ada catatan. Karena yang akan dikembalikan itu adalah anggota tubuh yang masih ada ketika seseorang meninggal, kecuali anggota tubuh pokok (yang ada sejak lahir) seperti tangan atau kaki, maka akan dikembalikan.”
Begitu pula pandangan al-Bujairami dalam Hasyiyah Syarwani:
عِبَارَةُ الْبُجَيْرَمِيِّ فِيهِ نَظَرٌ ، لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ إلَيْهِ مَا مَاتَ عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ ، وَلَا شَعْرِهِ كَذَلِكَ فَرَاجِعْهُ
“Ibarat al-Bujairami: Mengenai pandangan akan dikembalikannya beberapa anggota tubuh seperti darah dan semisalnya di akhirat kelak, pandangan itu ada catatan. Karena yang akan dikembalikan di akhirat nanti adalah anggota tubuh yang ada ketika seseorang meninggal, tidak seluruh kuku-kukunya yang telah lepas sebelumnya, begitu pula tidak seluruh rambutnya.”
Pernyataan menarik dibawakan oleh al-Mudabighi sebagaimana dijelaskan oleh al-Syarwani dalam hasyiyahnya:
ﻭﻋﺒﺎﺭﺓ اﻟﻤﺪاﺑﻐﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﻷﻥ ﺃﺟﺰاءﻩ ﺇﻟﺦ ﺃﻱ اﻷﺻﻠﻴﺔ ﻓﻘﻂ ﻛﺎﻟﻴﺪ اﻟﻤﻘﻄﻮﻋﺔ ﺑﺨﻼﻑ ﻧﺤﻮ اﻟﺸﻌﺮ ﻭاﻟﻈﻔﺮ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻌﻮﺩ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻨﻔﺼﻼ ﻋﻦ ﺑﺪﻧﻪ ﻟﺘﺒﻜﻴﺘﻪ ﺃﻱ ﺗﻮﺑﻴﺨﻪ ﺣﻴﺚ ﺃﻣﺮ ﺑﺄﻥ ﻻ ﻳﺰﻳﻠﻪ ﺣﺎﻟﺔ اﻟﺠﻨﺎﺑﺔ ﺃﻭ ﻧﺤﻮﻫﺎ اﻧﺘﻬﺖ اﻩـ
“Ibarat al-Mudabighi: tubuh yang akan dikembalikan itu adalah tubuh yang asli (tubuh yang ada sejak lahir normal) saja seperti tangan yang terpotong. Berbeda kasus dengan seperti rambut dan kuku. Rambut dan kuku (serta anggota tubuh lain lazim nempel dan lepas dalam waktu tertentu) akan dikembalikan juga tetapi secara terpisah (tidak menempel ke tubuh). Pengembalian itu dengan tujuan untuk mencela yang punya tubuh, karena seseorang itu diperintahkan untuk tidak melepaskan atau memotong bagian tubuhnya ketika dalam kondisi junub atau berhadas besar lainnya.”
***
Ketiga, Berdasarkan perbedaan pendapat mengenai alasan atau illat kemakruhan tersebut, maka ulama juga berbeda pendapat tentang hukum apakah rambut atau kuku dan semisalnya yang terlepas atau dipotong dengan sengaja ketika seseorang dalam kondisi hadas besar harus dikumpulkan dan disucikan ketika mandi wajib?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa anggota tubuh seseorang yang sedang junub atau berhadas besar lainnya yang terlepas baik disengaja atau tidak seperti rambut, kuku, darah, dan semisalnya, tidak wajib untuk dikumpulkan dan disucikan ketika mandi wajib. Ibn al-Qasim al-Abbadi menjelaskan bahwa rambut dan kuku yang sudah terpotong, hadasnya tidak akan hilang meskipun kemudian dimandikan.
(ﻷﻥ ﺃﺟﺰاءﻩ ﺗﻌﻮﺩ إلخ) ظاﻫﺮ ﻫﺬا اﻟﺼﻨﻴﻊ ﺃﻥ اﻷﺟﺰاء اﻟﻤﻨﻔﺼﻠﺔ ﻗﺒﻞ اﻻﻏﺘﺴﺎﻝ ﻻ ﺗﺮﺗﻔﻊ ﺟﻨﺎﺑﺘﻬﺎ ﺑﻐﺴﻠﻬﺎ
“(karena anggota tubuh yang lepas itu akan kembali pada hari kiamat…) zahir redaksi pendapat ini menjelaskan bahwa anggota tubuh yang lepas sebelum mandi wajib itu ternyata tetap tidak terangkat janabahnya…”
Oleh karena itu, tidak ada ditemukan anjuran untuk mengumpulkan rambut dan kuku yang sudah terputus, dan juga karena memandikannya sama sekali tidak berpengaruh kepada rambut dan kuku tersebut. Begitu pula dalam suatu hadis, Nabi Muhammad SAW menyuruh orang yang masuk Islam, “Hilangkan darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” Beliau memerintahkan orang yang masuk Islam untuk mandi. Dan beliau tidak memerintahkan agar potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi.
Meskipun begitu kita hormati sebagian ulama berpendapat dianjurkan untuk mengumpulkan rambut dan kuku yang dipotong dalam kondisi junub (hadas besar) untuk kemudian dibersihkan ketika mandi wajib.
Baca Juga: Haid Berhenti di Waktu Asar, Wajibkah Mengqhada Salat Zuhur?
***
Kesimpulan
1. Dianjurkan bagi orang yang sedang berhadas besar (keluar mani, habis berhubungan suami istri, perempuan haid, dan nifas) untuk menunda aktifitasnya memotong rambut, kuku, atau mengeluarkan darahnya, dan perbuatan semisalnya yang membuat ada bagian dari tubuh menjadi lepas tanpa ada kebutuhan atau alasan yang darurat.
2. Rambut atau kuku yang terlanjur terpotong tidak perlu dikumpulkan untuk dibersihkan atau dimandikan ketika telah suci (mandi wajib). Walau begitu, tidak ada larangan untuk melakukannya.
Wallahu a’lam bi al-Shawab
Leave a Review