Salat Jumat dan Tarawih Online?
Ketika membaca artikel Syekh Ahmad Kutty, seorang dosen senior dan sarjana Islam di Institute Islam Toronto, Ontario, Canada, tentang “Covid 19: Holding Virtual Jumu’ahs and Taraweeh Prayers” apakah salat jumat dan tarawih secara virtual atau online di masa Covid-19 ini, dimungkinkan dan dibolehkan secara hukum Islam? Pertanyaan Syekh ini menarik sekaligus menggelitik untuk dikupas lebih jauh. Saya akan mencoba menyuguhkan gagasan Syekh ini.
Syekh Ahmad, yang lahir di India ini, memulai dengan pertanyaataan yang menjadi pembatas dalam gagasan yang dilontarkannya. Pertama, bahwa ancaman Covid-19 telah menyebabkan dilarangnya masyarakat untuk melakukan salat Jumat dan salat berjamaah. Kedua, situasi yang dihadapi sekarang adalah situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan ini menuntut sebuah keputusan/pendapat hukum yang luar biasa. Ketiga, jumat virtual atau online bisa dilakukan sebagai ibadah sementara oleh masing-masing masjid. Ketiga, bahwa ini adalah bentuk ibadah sementara yang efektif untuk mempertahankan Jumat sampai keadaan kembali normal. Keempat bahwa praktik Jumat online segera dihentikan setelah masa lockdown dan pembatasan dicabut.
Syekh Ahmad melontarkan gagasan besar ini dilatari bahwa peristiwa pandemi ini adalah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya, membutuhkan pendapat dan keputusan hukum luar biasa (exceptional ruling or opinion). Dalam konteks inilah gagasan tentang salat jumat dan tarawih secara virtual atau online ditawarkan.
Syariah dan hukum Islam adalah produk Allah SWT yang mempertimbangkan aspek kemaslahatan manusia, kesejahteraan dan kebijaksanaan. Menarik apa yang disampaikan dengan indah oleh Dr. Muhammad Iqbal, seorang pemikir besar Islam, meskipun syariah tidak dapat diubah dalam prinsip-prinsipnya, namun ia memiliki mekanisme untuk melakukan perubahan dan adaptasi. Oleh sebab itu meski teks sudah final namun tafsir atas teks sesuai dengan waktu dan tempat. Dalam sejarahnya para sahabat dalam berhukum tidak selalu terpaku pada makna teks secara skriptualis, namun juga melihat niat dan maksud dari peristiwa-peristiwa kenabian tersebut.
Tradisi tersebut berlanjut dalam masa-masa setelah sahabat sampai sekarang. Kebutuhan akan pendekatan yang Islam, yang holistik bagi generasi berikutnya, adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Generasi berikutnya, para fuqaha menggunakan metode yang berbeda ketika berhadapan dengan masalah yang baru. Bahkan menariknya meskipun banyak para fuqaha bernaung dalam satu mazhab, namun mereka kadang masih merumuskan hukum yang berbeda dari standar mazhabnya. Itu disebabkan kebutuhan akan adaptasi dengan perubahan yang terjadi. Bahkan ulama terkemuka dari kalangan mazhab yang empat memberikan peluang untuk memilih opsi yang lebih nyaman, asalkan sah (valid) sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Shah Waliullah dan yang lainnya.
Baca Juga: Covid-19 dan Rukhsah Salat Jumat
Maqashid Salat Jumat
Syekh Ahmad mengurai lebih jauh tentang salat Jumat virtual ini dengan menjelaskan terlebih dahulu maqashid dari salat Jumat tersebut. Dengan mengutip Imam Syah Waliulla (seorang ulama yang hidup pada pramodern abad 17 di India) dan ulama lainnya, ia menegaskan bahwa tujuan dari Jumat adalah syiar dan simbol yang sangat penting dari Islam yang menggambarkan semangat kebersamaan, kesatuan dan kekuatan. Jadi kalau ada yang berpendapat bahwa salat Jumat bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja, dengan mendengarkan khotbah melalui radio atau televisi maka praktik seperti itu adalah penghancuran dari simbol dan syiar Islam.
Akan berbeda dengan situasi sekarang, apakah Jumat secara virtual dibolehkan. Syekh dengan berani menjelaskan bahwa dalam situasi sekarang boleh melakukan salat Jumat secara virtual. Ini hanya sebagai tindakan sementara jika ini tidak dilakukan akan mengarah kepada bahaya yang lebih besar yaitu matinya masjid. Apalagi dalam zaman sekarang masyarakat sangat individualis dan jauh dari masjid maka kegiatan yang sifatnya online tidak bisa diberlakukan secara umum dan luas kecuali untuk kasus seperti sekarang. Namun perlu dicamkan bahwa Jumat virtual bisa dilakukan sebagai tindakan sementara oleh masjid yang menyelenggarakan Jumat. Dengan catatan metode khotbah dan salat bisa diakses oleh jamaah dengan mudah baik di rumah dan di tempat kerja. Praktik ini harus segara dihentikan setelah lock down dan larang berkumpul dicabut.
Kenapa Mesti Online?
Pertanyaan muncul kenapa mesti online? Kenapa tidak dilakukan saja salat zuhur sebagaimana maklumat yang disampaikan pemerintah atau seperti standar mekanisme penanganan Covid-19. Alasannya adalah, pertama-tama: mesti diingat bahwa para ahli kesehatan dan pemerintah telah memberi tahu kita, bahwa kita akan mengalami masa pandemi ini dalam jangka waktu panjang dan berarti akan ada berbulan-bulan tidak ada pertemuan fisik untuk melakukan salat Jumat. Kebiasaan tidak bertemu dalam waktu yang sangat panjang tentu akan mengurangi ikatan komunitas dan akan menyebabkan munculnya pengikisan keterikatan pada salat Jumat dan masjid yang akhirnya membuat umat semakin sulit untuk membiasakan kembali setelah masak lock down dan pembatasan berakhir.
Kondisi itu bisa sangat relevan dengan apa yang disampaikan oleh Imam Shah Waliullah tentang pentingnya tayamum atau wuduk simbolik. Dia menjelaskan bahwa tayamum dilakukan untuk memastikan bahwa kita tidak pernah lupa pentingnya (kebiasaan bersuci atau membersihkan). Dan kebiasaan bersuci dengan air segera dilakukan setelah situasi berubah ketika air tersedia dan dapat digunakan lagi. Oleh sebab itu dengan semangat menjaga niat dan semangat Jumat, kita bisa melakukan salat jumat secara online, dalam situasi darurat. Praktik seperti ini merupakan ibadah yang sangat efektif untuk sementara waktu dalam situasi darurat sampai keadaan kembali normal.
Fleksibilitas Hukum
Praktik mengikuti imam secara daring ini mengikatkan kita akan fleksibilitas dalam mazhab-mazhab fikih yang pada awalnya melarang sesuatu, namun kemudian membolehkannya termasuk salah satunya adalah mengizinkan orang untuk mengikuti Imam Masjid Haram dari kamar hotel, selama mereka bisa melihat garis-garis (shaf) jamaah masjid serta membatalkan suatu syarat yang menegaskan bahwa Imam harus selalu di depan, dan karenanya makmum tidak bisa di depan Imam dan lain-lain. Para fuqaha mencabut persyaratan sebelumnya dengan mempertimbangkan kepadatan Haramain (dua tempat suci Makkah dan Madinah) serta faktor-faktor lainnya. Jadi tidak ada alasan mengapa pendekatan tersebut tidak bisa diadopsi karena situasi yang rumit sebagaimana sekarang. Kaidah fikih menjelaskan: “di mana ada kesulitan yang nyata, kerasnya hukum harus dilonggarkan”.
Dalam konteks pelaksanaannya Syekh Ahamad Kutty memberikan dua opsi. Khatib dan Imam di tempat yang sama, dengan tiga pengikut, sambil menjaga jarak (physical distancing) seperti yang disyaratkan oleh para ahli kesehatan. Khatib memberikan Khotbah online di satu tempat, dan seorang Imam (lebih baik seorang Qari) memimpin salat dengan tiga pengikut. Semuanya kegiatan tersebut disiarkan secara langsung. Seluruh prosedur harus dijaga selama lima belas menit, termasuk Khotbah dan salat, agar tidak menimbulkan persoalan yang tidak semestinya.
Baca Juga: Pakailah Ilmu Mantiq Supaya Pikiran Tidak Terkilir Karena Virus Korona
Tarawih Online
Jika lock down tidak dicabut dalam waktu dekat maka tarawih online bisa juga dilakukan sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Dalam perihal tarawih seharusnya ini bukan persoalan yang besar karena tarawih merupakan salat sunat dan semangatnya adalah mendengarkan lantunan bacaan ayat suci al-Qur’an. Itulah sebabnya ketika Khalifah Umar melembagakan salat tarawih dan menunjuk Ubayy bin Ka`b, sahabat yang terkenal yang menguasai al-Qur’an, untuk menjadi imam salat. Kenapa masyarakat didorong untuk melakukan salat tarawih online? Agar umat tidak kehilangan semangat al-Qur’an selama Ramadan.
Sekali lagi, Ahamad Kutty menekankan bahwa jamaah tidak boleh kehilangan ikatan kontak dengan imam, masjid atau salat jumat karena itu akan mempertahankan ikatan komunitas. Akhirnya salat secara online dan virtual ini dibolehkan hanya sebagai tindakan sementara sesuai dengan mekanisme sad al dhara’i (preventif) yang menjelaskan bahwa kita harus menutup pintu-pintu yang mengarah pada pelanggaran atau kesalahan yang tak terduga, atau, dengan kata lain, kita tidak boleh membuka jalan menuju kebijakan yang secara tidak sengaja mengarah pada kebijakan penutupan masjid.
Apa yang disampaikan oleh Syekh Ahmad Kutty pasti akan memunculkan polemik dan penolakan dimana-mana. Penolakan tidak hanya disampaikan oleh orang awam namun para sarja muslim lainnya seperti Dr. Yasir Qadhi. Dekan Magrib Institute dan Guru Besar di Rhodes College, dan Prof. Jasser Auda. Namun sebagai bagian dari dialektika hukum (fikih) dan pengasahan pemikiran, serta ini menjadi penting dalam rangka mengimplementasikan Islam shalih likulli zaman wa makan. []
*Tulisan asli ini termuat di inioke.com
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Leave a Review