Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli
Oleh: Muhammad Ilyas Fauzi
Sejak pertama sekali mengenal tatacara salat yang saya pelajari dari orang tua, tata caranya adalah dimulai dengan berniat dan mengucapkan ushalli. Beberapa tahun setelah itu, saya sering melihat orang tua dan nenek membuka dan membaca sebuah kitab lengkap tentang rukun salat yang berjudul Perukunan Besar Melayu karangan Syekh Abdul Rasyid Banjar. Terlebih nenek, kitab tersebut sering dibuka untuk meminta bantuan kepada anak dan cucunya agar dibacakan. Dalam karya tulis tentang perukunan dan judul tentangnya, dalam penelusuran saya hanya ada dua judul yang ditulis dalam Bahasa Melayu. Selain kitab tersebut, kitab lainnya berjudul sama tetapi pengarang yang berbeda, yaitu Syekh Jamaluddin anak Syekh Muhammad Asyad al-Banjari yang dikenal dengan Perukunan Jamaluddin. Dalam mazhab Syafi’i, menurut pendapat yang dipedomani bahwa persoalan ber-ushalli dihukumi sebagai sunah.
Namun, tema kesunahan ber-ushalli tersebut ternyata menjadi persoalan yang sempat viral dan diperdebatkan di awal abad 20 masehi. Sudah jamak diketahui bahwa yang termasuk pertama memperdebatkan kesunahannya adalah ulama yang masuk dalam barisan Kaum Muda dari daerah Minangkabau, seperti Syekh Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka dan dikenal dengan Haji Rasul dan beberapa sahabat dan muridnya. Berikut ini merupakan beberapa karya tulis ulama sepanjang sejarah di Nusantara:
1. Syekh Abdul Karim Amrullah menulis sebuah risalah yang mengukuhkan pendapatnya tentang ketidak-sunahan ber-ushalli. Namun, tidak diketahui apa judul risalah tersebut. Secara spontan, risalah tersebut memicu perdebatan di daerah Minangkabau dan mendapat bantahan ulama lainnya.
2. Di antara ulama Kaum Tua yang membantah karya yang pertama adalah Syekh Muhammad Saad Mungka. Ia menuangkan bantahan tersebut dalam sebuah karya yang berjudul Tanbih al-Anam ‘ala Taqrirat Ba’dh al-Anam yang diselesaikan pada bulan Jumadil Ula 1327 H/ 1908 M. Karya ini sebenarnya merupakan bantahan atas Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang polemik tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Tetapi, dalam beberapa lembar halaman terakhir dicantumkan tulisan penulisnya tentang bantahan ber-ushalli.
3. Karya Syekh Abdul Karim Amrullah tersebut juga dibantah oleh sahabatnya sendiri dari ulama Kaum Tua yang bernama Syekh Sulaiman Arrasuli dalam karya yang berjudul Kitab Enam Risalah yang salah satu topiknya berbicara tentang ushalli yang selesai ditulis pada bulan tahun 1327 H.
4. Salah seorang sahabat Syekh Abdul Karim Amrullah, yaitu Syekh Abdullah Ahmad pernah bertanya kepada gurunya di Makkah, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau perihal hukum tersebut, sehingga terjadi surat-menyurat dan bantahan atas gurunya tersebut. Oleh Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, ia menulis sebuah kitab terkenal dengan judul Al-Khittah al-Mardiyah fi Radd Syubhah Man Qala bi Bid’ah al-Talaffuzh bi al-Niyah sebagai bantahan atasnya dan secara tidak langsung juga kepada Syekh Abdul Karim Amrullah. Sebab, namanya sudah terkenal di negeri Makkah sebagai ulama yang mempersoalkan kesunahan ushalli. Kitab ini diselesaikan pada tanggal 14 Sya’ban 1327 H/ 1908 M. Dalam karya ini, hubungan keduanya dituliskan dalam bentuk hubungan ayah dan anak, yang menunjukkan kedekatan keduanya.
5. Oleh Syekh Abdul Karim Amrullah, kitab karya gurunya di atas, dibantah lagi dengan karyanya yang lain berjudul Al-Fawa’id al-Aliyah fi Ikhtilaf al-Ulama fi Hukm al-Talaffuzh bi al-Niyah yang selesai ditulis pada bulan Rajab 1328 H. Memang, kalau dilihat secara eksplisit secara langsung dan khusus, kitab ini tidak diarahkan kepada karya gurunya di atas.
6. Lima tahun berikutnya, kitab karya Syekh Abdul Karim Amrullah yang berjudul Al-Fawa’id al-Aliyah di atas, dibantah oleh sahabatnya asal Medan, yang bernama Syekh Hasan Maksum. Imam Paduka Tuan menulis sebuah kitab yang diselesaikan ketika masih di Makkah pada tanggal 13 Ramadan 1332 H yang diberi judul Al-Qutufat al-Saniyah li Man’i Ba’dh Mafi al-Fawa’id al-Aliyah al-Talaffuzh bi al-Niyah. Menariknya, dalam bagian endorsmen atas karya ini, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau mengakui keduanya merupakan muridnya, tetapi ia membenarkan pendapat Syekh Hasan Maksum dalam karya ini.
7. Selain kitab-kitab yang disebutkan di atas, Syekh Muhammad Dalil Bayang juga mempunyai peran dalam memperkuat pendapat kesunahan ushalli, dengan menulis sebuah kitab berjudul Al-Taragub ila Rahmatillah yang selesai ditulis pada tahun 1329 H/ 1910 M. Meskipun penulisnya tidak mengkhususkan pembahasannya dalam masalah ini.
8. Pada tahun 1918 atau 1919 M, Syekh Muhammad Khatib Ali Padang juga menulis kitab yang berjudul Burhan al-Haq: Radd ‘ala Tsamaniyah al-Masail, al-Jawab min Su’al al-Sa’il al-Qath’iyah al-Waqi’ah Gayah al-Taqrib. Kitab yang memuat 8 persoalan agama yang diperdebatkan saat itu, salah satunya adalah masalah ushalli.
9. Selain kitab Burhan al-Haq di atas, Syekh Muhammad Khatib Ali Padang juga menulis kitab lain yang berjudul Mau’izhah wa Tazkirah yang diselesaikan pada tahun 1919 M. Penyebab yang melatar-belakangi penulisan, bahwa seorang pada tanggal 15 Juli 1919 M, terjadi perdebatan dan diskusi kedua belah pihak Kaum Tua dan Kaum Muda. Setelah perdebatan tersebut, pada tanggal 24 Juli 1919 M, seorang ulama bernama Syekh Muhammad Haris Banten mengirim surat kepada beberapa ulama di tanah Jawa, Batavia, Banten dan Banjar. Hasilnya, ada 13 ulama-ulama tersebut mendukung pendapat Kaum Tua. Mereka adalah Sayyid Ali al-Habsyi Kwitang, Syekh Muhammad Ruslan Pekojan, Syekh Muhammad Ibrahim Gresik, Syekh Abdul Hadi Semarang, Syekh Muhammad Hasan Serang, Syekh Muhammad Shafiyuddin Pandeglang, Syekh Muhammad Muhyiddin Jombang, Syekh Abdul Rahman Banjar dan lainnya. Hasil-hasil tersebut kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh penulis.
10. Selain kitab Al-Qutufat al-Saniyah di atas, Syekh Hasan Maksum juga menulis kitab lain berjudul Tanqih al-Zhunun ‘an Masa’il al-Maimun yang selesai di Medan pada tahun 1340 H/ 1921 M. Kitab ini ditulis sebagai respons atas pandangan keagamaan orang Mandailing di sekitar daerah Sungai Rampah yang berguru kepada Syekh Mahmud al-Khayyat.
11. Di Medan, murid Syaekh Hasan Maksum yang bernama Syekh Sulaiman Thaib juga menulis tentang ushalli dalam sebuah karyanya berjudul Irsyad al-Kamal Raddan ‘ala Mafi Fath al-Aql yang ditulis sebagai bantahan atas karya Syekh Usman al-Banjari. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1350 H/ 1931 M.
12. Di tanah Mandailing, Syekh Abdul Halim al-Khatib menulis sebuah kitab tentang persoalan ini yang berjudul Saif al-Thalabah Pada Menyatakan Beberapa Dalil bagi Ahlussunah wal Jamaah. Kitab ini selesai ditulis pada tanggal 13 Ramadan 1389 H/ 1969 M. Melalui kitab ini, persoalan dan perdebatan paham Kaum Muda juga sudah sampai di tanah Mandailing.
13. Di tanah Malaysia, seorang ulama yang bernama Syekh Mahmud Zuhdi juga mempunyai peran dalam mempertahankan kesunahan ushalli. Ia menulis sebuah kitab pada tanggal 7 Muharram 1339 H/ 1920 M yang berjudul Tazkiyah al-Azhar wa Tashfiyah al-Afkar sebagai bantahan atas pemikiran Syekh Musa Kelantan, seorang tokoh agama Kaum Muda di negeri Kelantan saat itu.
14. Di Malaysia juga, Syekh Muhammad Tahir Minangkabau menulis kitab berjudul Risalah Penebas Bid’ah-bid’ah di Kepala Batas yang saya kira diselesaikan pada tahun 1372 H/ 1953 M, sebagai komentarnya atas diskusi dan majelis muzakarah Ulama se-Malaya di Kepala Batas, Pulau Pinang.
Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli Perdebatan Ushalli
Karya-karya yang saya sebutkan di atas adalah gambaran umum tentang viralnya persoalan dan perdebatan ushalli di Nusantara -barangkali ada juga beberapa daerah lain yang tidak termuat dalam karya-karya tersebut.
Terkhusus tentang tema di atas, yaitu sebuah buku berjudul Verslag Debat Faham Kaum Muda dan Kaum Tua, merupakan dokumentasi penting tentang persoalan ushalli di daerah Sumatera Timur. Buku ini sebenarnya disusun oleh Tengku Fakhruddin Serdang, seorang ulama di kerajaan Serdang pada masa pemerintahan sultannya, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Kemudian diterbitkan oleh adik penulis, Tengku Yafizham di Medan pada penerbit Pelita Andalas pada tahun 1353 H/ 1934 M atau enam tahun berikutnya.
Buku yang berjumlah 27 halaman ini, memuat perdebatan intelektual para ulama yang berada di sekitar tiga kesultanan Melayu Sumatera Timur, yang diwakili oleh 9 ulama: dari kerajaan Serdang adalah Syekh Zainuddin Ali yang menjabat sebagai mufti dan Tengku Fakhruddin Serdang yang kemudian menjabat sebagai ketua atau voorzitter Majelis Syar’i Kerajaan Serdang setelah jabatan mufti dihapuskan; dari kesultanan Langkat adalah Syekh Abdullah Afifuddin dan Syekh Abdul Rahim yang keduanya menjabat sebagai kepala madrasah Maslurah untuk anak laki-laki dan perempuan; dari kesultanan Deli adalah Syekh Hasan Maksum yang bergelar Imam Paduka Tuan, Tengku Zainuddin yang menjabat mufti, Syekh Muhammad Syarif yang menjabat kadi Labuhan, Syekh Muhammad Yunus yang menjabat guru di Maktab Islamiyah Tapanuli, dan Syekh Muhammad Syafi’i yang menjabat kadi Tebing Tinggi. Musyawarah ini terjadi 2 hari: 1) pada hari Ahad, 14 Sya’ban 1346 H/ 5 Februari 1928 M dan 2) hari Ahad berikutnya, 21 Sya’ban 1346 H/ 12 Februari 1928 M di Istana Kesultanan di kota Perbaungan. Selain dihadiri oleh sultan dan ulama, juga beberapa pembesar kerajaan dari kesultanan Serdang. Namun sangat disayangkan, istana tersebut sekarang ini sudah tidak ada lagi disebabkan peristiwa revolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur pada tahun 1946.
Dalam mukadimahnya, Tengku Fakhruddin menjelaskan kondisi di Sumatera Timur yang membuat terbelahnya ulama dalam dua bagian: Kaum Tua dan Kaum Muda dan menyebabkan perselisihan dan perdebatan antara keduanya di beberapa tempat. Ia menuliskan sebagai berikut:
“Karena gemparja dahoeloe perselisihan jang timboel antara Kaoem Moeda dan Kaoem Toea pada beberapa tempat di Sumatera. Maka sangat tergeraklah kehendak Jang Mahamoelia, Seri Padoeka Toeankoe Sultan Soelaiman Sjarifoel Alamsjah Kerajaan Negeri Serdang dan takluknja, hendak mendengarkan betapa doedoeknja masalah itoe, jang achirnya laloe dititahkan berkoempoel beberapa oelama di Istana Perbaoengan.”
Sistem musyawarah ulama ini dibuka oleh sultan Serdang secara langsung pada pukul 09.30 WIB. Namun, ada yang menarik ketika akan ditunjuk siapa yang memimpin diskusi tersebut. Terlebih dahulu sultan menawarkan kepada ulama siapa yang akan memimpin diskusi. Masing-masing dari Syekh Zainuddin Ali dan Syekh Hasan Maksum memilih Tengku Fakhruddin, sementara Tengku Fakhruddin sendiri mengangkat Syekh Hasan Maksum. Sementara yang lainnya tidak menentukan pilihan. Tengku Fakhruddin sendiri meminta kepada sultan agar mengangkat langsung Syekh Hasan Maksum, tetapi Syekh Hasan Maksum malah menawarkan Tengku Fakhruddin. Terjadilah beberapa kali saling tolak-menolak antara keduanya sehingga akhirnya sultan menjatuhkan pilihan kepada Tengku Fakhruddin.
Bagi saya, perdebatan dalam diskusi ini sangat istimewa. Berbeda dengan perdebatan melalui karya tulis. Perdebatan ini secara langsung dan bertatap muka. Masing-masing bebas mengemukakan pendapat dan sekaligus mempertahankannya dari pendapat lain yang berbeda.
Dari penelusuran saya, secara umum setidaknya ada 131 pecakapan dan dialog dari 9 ulama tersebut. Komposisi adalah sebagai berikut: Tengku Fakhruddin 49 percakapan, Syekh Hasan Maksum 32, Syekh Abdullah Afifuddin 16, Syekh Muhammad Syarif 15, Syekh Zainuddin 7, Syekh Abdul Rahim 5, Syekh Muhammad Syafi’i 4, Syekh Muhammad Yunus 2 dan Tengku Zainuddin 1. Namun, secara sekeluruhan, Tengku Fakhruddin dan Syekh Hasan Maksum yang mendominasi dialog baik pertanyaan atau pernyataan.
Dari sisi pemahaman, selain Tengku Fakhruddin, 7 ulama lainnya adalah Kaum Tua yang menyatakan kesunahan ushalli. Sementara Syekh Abdul Rahim, belum terlihat secara jelas pendiriannya dalam diskusi ini. Secara umum, persoalan yang dibahas meliputi beberapa hal tentang status hukumnya:
1. Dari sisi sejarah. Menurut Syekh Zainuddin Ali bahwa persoalan ini bermula dari pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah
2. Dari sisi pendapat. Menurut Syekh Hasan Maksum, Imam Syafi’i sendiri menyebutkan hukumnya dengan ungkapan “la akrah (saya tidak melihatnya sebagai yang makruh). Sementara Syafi’iyah, menurut Syekh Muhammad Syafi’i telah ada ijmak mereka, meskipun dibantah oleh Tengku Fakhruddin.
3. Dari sisi penamaan bid’ah. Mereka semua sepakat bahwa bid’ah secara syarak adalah sesuatu yang tidak ada dasarnya dan bertentangan dengan Islam, sementara secara Bahasa sesuatu yang baru dan tidak bertentang dengan dasar Islam. Tetapi yang dipersoalkan dalam bagian ini adalah status diamnya syarak dalam menetapkan sesuatu. Menurut Syekh Muhammad Syarif bahwa diamnya syarak termasuk bid’ah secara Bahasa. Tengku Fakhruddin memasukkannya dalam bid’ah secara syarak, sebab diamnya syarak menunjukkan atas tidak dibenarkannya. Syekh Hasan Maksum berpendapat lain, bahwa syarak tidak pernah diam dalam menentukan sesuatu. Oleh karenanya, ia harus disebutkan hukumnya baik atau sebaliknya.
4. Dari sisi dalil. Tengku Fakhruddin menyatakan tidak terdapat dalil secara jelas menyebutkan kesunahan. Bahkan menurutnya, yang menyebutkan secara jelas adalah dalil yang melarang atau membid’ahkan secara syarak, yaitu hadis tentang tatacara salat yang harus mengikuti tatacara nabi Muhammad SAW, seperti “shallu kama ra’aitumuni ushalli (lakukan shalat seperti salat saya). Menurut Syekh Hasan Maksum, hadis yang disebutkan Tengku Fakhruddin dimaksudkan kepada salat wajib, tidak termasuk salat sunah. Sementara menurut Syekh Zainuddin Ali bahwa dalilnya melalui analogi dengan mengucapkan lafazh niat ketika haji dan umrah.
5. Dari sisi perbuatan sahabat dan disetujui nabi SAW. Menurut Syekh Hasan Maksum bahwa seorang sahabat pernah mengucapkan takbir ketika melakukan salat, sementara ia belum pernah mendengarnya dari nabi. Nabi kemudian memuji sahabat tersebut. Pernyataan ini dibantah oleh Tengku Fakhruddin bahwa takbir mengucapkan lafazh ushalli tidak termasuk dalam takbir dan juga persetujuan nabi menjadi hadis nabi dari sisi hadis perkataannya. Sementara mengucapkan ushalli tidak termasuk yang disetujui nabi. Namun, Syekh Hasan Maksum membantah lagi bahwa tidak setiap yang tidak disebutkan nabi menjadi terlarang kalau sekiranya tidak bertentangan.
6. Dari sisi kesempurnaan. Dengan mengatakan kesunahan menambah kesempurnaan ibadah. Syekh Abdul Rahim memberikan komentarnya bahwa apabila terdapat kesempurnaan, maka kesempurnaan tersebut juga akan terdapat pada zaman dahulu. Sebab, sifat kesempurnaan selalu ada. Syekh Hasan Maksum menjawab bahwa sunah dengan kesempurnaan tersebut tidak mesti ada pada zaman dahulu, sebab mereka belum berhajat.
7. Dari sisi metode induktif (istiqra’). Menurut Syekh Hasan Maksum, kesunahannya diperoleh melalui istiqra yang dilakukan ulama belakangan yang mengambil dari kaidah dan dasar Imam Syafi’i. Salah satu bentuknya adalah penemuan secara umum bahwa mengucapkan ushalli dengan lisan dapat menyebabkan kemantapan dan konsentrasi hati. Dalam menanggapi hal tersebut, Syekh Abdul Rahim menyebutkan tidak terdapat istiqra’ oleh ulama belakangan. Tengku Fakhruddin menambahkan, apabila alasan kesunahan adalah karena dapat membantu konsentrasi hati, dengan demikian apabila hal tersebut tidak ada akan menunjukkan hukum kesunahan menjadi hilang. Syekh Hasan Maksum menjelaskan bahwa istiqra’ dengan hal tersebut bersifat secara umum, sehingga hasilnya mengikuti yang umum; artinya baik ada atau tidak ada yang menyebabkan konsentrasi, status ushalli tetap sunah.
Baca Juga: Dialektika Ulama Minangkabau
8. Dari sisi kebiasaan syarak. Menurut Syekh Hasan Maksum, kebiasaan syarak bahwa di setiap yang wajib selalu ada yang sunah. Oleh karenanya, niatnya yang wajib sementara mengucapkan ushalli adalah sunah.
Medan, 12 Oktober 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, Medan
Leave a Review