Subuh telah mendatangi Kampung Batu. Di tengah tebalnya kabut pagi, Samsina, seorang perempuan tua, tergopoh-gopoh berjalan, menjejaki pematang sawah. Ketergesa-gesaannya itu disebabkan oleh pangilan azan yang telah bersahut-sahutan sejak lima menit yang lalu. Azan di Kampung Batu, setiap paginya, selalu gema menggema antara satu surau dengan surau lainnya. Suatu yang menarik dari seruan azan itu yaitu iramanya yang beraneka ragam dengan suara yang indah-indah, meliuk-liuk, mendayu-dayu, yang membuat fajar terasa semarak. Maka jadilah setiap pagi subuh seumpama perlombaan antara surau-surau di Kampung Batu. Hal mana mereka saling menunjukkan kemampuan azannya. Seakan-akan perlombaan kokok ayam yang saling menyahut di pagi hari.
Samsina agak terlambat bangun. Sebab semalaman ia telah tidur terlalu larut lantaran mengerjakan wirid melebihi malam-malam lainnya. Entah karena apa, ia memperpanjang bacaan tahlilnya. Biasanya tasbih hanya diputarnya sepuluh putaran, artinya seribu biji. Tapi kali ini ia khatamkan hingga lima puluh kali. Setelah selesai lima puluh ribu zikir dilantunkannya, kemudian seperti biasa, ia sudahi qiyamul lail-nya dengan witir, barang tiga rakaat saja.
Mendengar azan Surau Tanjung, persis pada kalimat Hayya ‘alas shalah, Samsina terbangun, tersentak, dan dengan segera ia melangkahkan kaki lebih cepat ke pincuran untuk berwudu. Azan Surau Tanjung selalu menyentakkannya setiap pagi. Di banding azan di surau-surau lain, azan Surau Tanjung terdengar berbeda. Ada suatu ketulusan yang melekat di dada garin di sana, yang mana ia tiada pernah absen untuk mengumandangkan azan di surau itu. Suaranya khas, lepas, dan mendayu-dayu. Seperti biasa, sebelum azan, ia mengaji barang satu surat pendek, yaitu Surat Qul huwallahu ahad, pun dengan irama yang menusuk dada. Setelah itu, ia lanjutkan dengan membaca Innallaha wa mala’ikatahu yushalluna ‘alan Nabi hingga akhir ayat, ayat yang memerintahkan kaum muslimin untuk bershalawat kepada junjungan alam, Nabi Muhammad. Kemudian ia berhenti sejenak mengambil nafas, dan tiba-tiba ia mengumandangkan Allahu Akbar sepenuh jiwa, setulus tauhid yang terpancang di sanubarinya. Azan inilah yang menusuk ke dalam kalbu pendengarnya, bahkan sampai ke dalam sanubari; yang membuat rindu akan ibadah, rindu kepada Allah, rindu kepada junjungan alam. Entah dengan apa garin itu melantunkan azannya, sehingga begitu benar menusuk dalam hati terdalam. Para jama’ah surau itu tiada dapat menjawab. Beberapa orang telah mencoba belajar kepada sang garin, belajar irama azan seperti itu. Tapi sayang belum ada yang putus kajinya. Karena apa? Azan macam ini memang tidak bisa dipelajari.
Zainul Arifin, itu nama sejati dari garin Surau Tanjung. Ia telah menjadi garin di Surau itu sejak masih belia, tepatnya umur lima belas tahun. Seperti garin-garin yang lain, pekerjaan hariannya ialah membersihkan pekarangan surau, mencabuti rerumputan liar di sela-sela pondasi, menyapu sarang-sarang lawah di tiang-tiang surau, atau sesekali memberi makan ikan-ikan di tebat depan surau. Bila itu semua telah selesai dikerjakannya, ia berangkat ke sawah, bekerja di sawah, atau sekadar memperhatikan hijaunya padi-padi muda. Di Surau Tanjung, sebagai garin, ia dulunya berkhitmat kepada tuan syekh di sana. Konon, cerita orang-orang, tuan syekh itu sangat alim ternama. Muridnya beratus-ratus yang datang dari berbagai daerah, bahkan dari tempat yang jauh-jauh, seperti Muko-Muko. Di samping itu tuan syekh itu terkenal keramat bertuah, dan dikenal pula sebagai ahli thariqat. Sudah puluh tahun lalu tuan syekh itu wafat, namun kesetiaan Zainul Arifin terhadap surau peninggalannya tidak pudar sama sekali. Bahkan orang-orang mulai mengira-ngira bahwa kepandaian azan Zainul Arifin merupakan warisan tuan Syekh itu. Apakah semacam do’a, mantera, atau jampi, yang dibacakan tuan syekh untuk memperbagus suara Zainul? Tak ada jawaban pasti. Desas-desus ini akhirnya hilang saja ditelan waktu.
Seperti biasa, setiap bulan Ramadhan datang, surau Tanjung kembali sesak tidak seperti biasa. Di sana setiap tahunnya diadakan ‘suluk’, semacam latihan spritual untuk beribadah. Suluk itu sendiri ialah peninggalan tuan syekh yang wafat itu. Kabarnya tuan Syekh itu telah mempelajari suluk itu di puncak Jabal Qubais, Mekkah, di masa Belanda berkuasa dulu. Dalam suluk dilatih untuk mengerjakan banyak sembahyang sunat, wirid-wirid, zikir-zikir, dan ibadah-ibadah lainnya. Ini dilanggengkan selama 40 hari masanya. Zainul Arifin, sebagai garin, dan tentunya murid tuan syekh, juga ambil bagian dalam suluk ini. Karena sudah agak senior, ia diserahi tugas untuk menjaga para pesuluk. Berbeda dari para pengasuh lainnya, ia mempunyai sifat penidur, sedikit saja terduduk, langsung tertidur. Pernah satu ketika dalam halaqah zikir, ketika para pesuluk telah berzikir menekur kelapa, ia tertidur lelapnya hingga beberapa lama. Orang-orang telah pada bubar, ia masih duduk menekur. Orang-orang menyangka ia masih berzikir, padahal telah tertidur sejak awalnya. Pernah juga, ketika ia mengimami salat, dan selesai, dan berzikir bersama, ia tertidur pulas pula. Payah orang-orang membangunkannya, sampai ia tergopoh-gopoh sadar, dan salah tingkah.
Meski dengan sifat penidurnya itu, namun Zainul Arifin tidak pernah kehilangan pamor, atau namanyanya jatuh di kalangan jama’ah surau. Ia tetap andalan, dan ternama. Karena apa? Karena lantunan azannya yang bak buluh perindu itu. Sampai-sampai seorang jama’ah mengungkapkan: “Ramainya surau ini karena azannya si garin.” Ungkapan yang sudah pasti sangat berlebihan, sebab logisnya, ke surau untuk beribadah, tentu dilatar belakangi iman, bukan hanya mendengar azan. Azan hanya penanda, bahwa waktu salat telah masuk. Namun beberapa jama’ah memang percaya dengan kesimpulan itu, dan telah pula tersebar di lapau-lapau seputaran surau.
Akhir-akhir ini Zainul Arifin sering terlelap dalam zikirnya. Sifat penidurnya telah menjadi-jadi, melebihi biasa. Dulu ia hanya tidur ketika duduk menekur, sekarang penyakitnya itu telah meluas, bahkan dalam keadaan tak sepantasnya tidur, seperti ketika mencabut rumput liar, duduk setelah menyapu lantai surau, atau sedang bersujud di lapik sembahyang. Orang-orang tak hirau dengan sifat penidurnya yang menjadi-jadi ini, mereka masih memaklumi sifat penidurnya yang telah stadium tiga itu, karena meski dalam keadaan itu Zainul Arifin tetap tak absen dari rutinitasnya azan ketika waktu sembahyang telah masuk. Kecuali Samsina, nenek tua itu. Semalam ia bermimpi bahwa damar Surau Tanjung jatuh ke lantai dan padam. Ia tersentak pukul 2 malam, dengan berkeringat. Sebagai seorang jama’ah Surau Tanjung sejak masa tuan Syekh hidup, mimpi itu menjadi tanda tanya baginya. Lantas ia bangkit dari peraduan, di anjung rumah gadangnya, dan seperti biasa ia sembahyang tahajjud dan diiringi zikir, zikir yang cukup panjang sebelum disudahi dengan witir. Jam 4 ia merebahkan badan, menerawang menanti-nanti subuh. Dalam hal itu ia tertidur hingga akhirnya terlambat bangun subuh pagi itu.
Zainul Arifin telah selesai mengerjakan salat sunat subuh ketika Samsina tiba di Surau Tanjung. Sambil menanti jama’ah ia duduk menekur seperti biasa. Jama’ah-jama’ah telah pada datang, dan melaksanakan salat sunat subuh. Surau sudah sesak pagi itu, dan seperti biasa Zainul Arifin masih menekur. Salah seorang jema’ah mendekatinya, sambil mengoyang-goyang lutut si garin, berujar: “Ayo iqamat, Garin!.” Telah berulang-ulang badan Zainul digoyang, sampai akhirnya jatuh tersungkur. Jama’ah lain berujar: “Sudah payah benar sakit tidur garin kita, sampai-sampai begini susah dibangunkan.” Beberapa jama’ah mencoba untuk membangunkannya lagi. Namun sayang, ia tidak bangun-bangun juga. Saat itu mulai curiga dalam hati para jama’ah, memang tidurkan ia? Atau? Diperiksanya nadi Zainul, ternyata tidak lagi berdetak. Kaki-kakinya telah dingin. Dan ia telah berpulang, wafat dengan menggenggam tasbih peninggalan tuan syekh.
Pecah berita wafatnya Zainul Arifin dari Surau Tanjung membuat gempar masyarakat Kampung Batu. Di lapau-lapau, sekolah SD, di surau-surau lain, orang membicarakan wafatnya. Namun yang kehilangan paling mendalam ialah Samsina. Ia bergumam sendiri: “Ya, ya, benar isyarat Tuhan itu.” Ia menyadari takwil dari mimpinya malam tadi. Damar Surau jatuh, dan padam. Zainul Arifin adalah salah satu damar majazi dari Surau Tanjung. Ia menerangi surau ini sejak dulu, dengan azannya yang penuh keikhlasan, yang mengundang rasa ibadah. Kini ia telah pudur, telah berpulang kehadirat Allah. Pudur satu damar dari beberapa buah damar Surau Tanjung.
Tiga bulan sejak wafatnya Zainul Arifin, posisi garin telah digantikan oleh orang lain. Seorang garin yang didatangkan dari kampung lain, dengan digaji sekian ratus ribu per bulannya. Ada satu yang beda dari Surau Tanjung setelah berpulangnya Zainul Arifin. Azan memang tetap berkumandang, tapi tak seberapa lagi jama’ah yang hadir. Biasanya ketika garin lama masih ada, bila ia telah mengumandangkan azan, tampak dari kejauahan titik-titik api dari suluh orang yang berangkat ke surau. Suluh api itu tampak dari tebalnya kabut. Meski dingin menusuk tulang, tak dihiraukan, sebab dada hangat, dihangati oleh lentera iman. Apakah karena azan kali ini berbeda dengan azan dulu? Apakah azan dulu berkumandan dari ketulusan hati, dan sekarang tidak? Apakah karena azan saat ini telah dibayar, sedangkan dulu, semasa Zainul Arifin, tidak? Zainul Arifin dulunya bekerja tanpa dibayar, ia bersukarela, karena menuruti pituah tuan syekh, gurunya, sebelum wafat. Yang pasti buluh perindu surau itu telah pudur. Akankah damar-damar lain akan pudur pula? Waktu akan menjawab.[]
Padang Batang, Mungka, 26 November 2014
Leave a Review