Alhamdulillah, sesudah salat Ashar tadi saya berkesempatan bersilaturahmi dengan Buya Boni Purnama Malin Bandaro. Beliau merupakan pimpinan halakah surau almarhum Syekh Mangkuto Malin. Bias dikata beliaulah pengganti dari Syekh Mangkuto Malin.
Buya Boni Purnama Malin Bandaro merupakan lulusan dari MTI Koto Panjang. Beliau juga merupakan murid dari Buya Amrialis yang pernah saya tulis beberapa hari yang lalu. Di antara guru guru dari Buya Boni yakni: Syekh Nurullah Dt. Anso (Anak Syekh Mudo Abdul Qadim), Syekh Habib Angku Rancak (Murid dari Syekh Mudo Abdul Qadim), Buya Annas Malik (Anak dari Syekh H.Abdul Malik), dan Syekh Angku Tobek Koto Panjang (Murid dari Syekh Mukhtar Angku Tanjung).
Melihat dari beberapa keterangan mengenai guru-guru Buya Boni Purnama Malin Bandaro, bisa disimpulkan bahwa beliau memiliki silsilah keilmuan ke Balubuih. Dari perbincangan kami tadi sore kami juga membahas bagaimana keprihatinan kami melihat beberapa surau yang setelah meninggal guru besarnya, otomatis (kebanyakan) surau tersebut mati. Mati dalam artian tidak berjalan atau tidak ada yang mewarisi surau tersebut.
Beliau menuturkan bahwas guru-guru kita terdahulu, meskipun ahli dalam Tarekat tapi juga ahli dalam hal syariat. Banyak contohnya menurut beliau. Ada beberap nama ulama besar yang beliau sampaikan dalam perbincangan tersebut.
Jadi saya ingin menyampaikan sekaligus menekankan kepada beberapa oknum diluar sana yang masih mandang remeh orang yang menggeluti ilmu tarekat jangan anggap remeh karna tidak semua orang tarekat itu mengabaikan perihal syariat. Karena sesungguhnya banyak orang tarekat yang memahami syariat, kebanyakan yang saya lihat opini buruk itu berawal dari stigma negatif yang muncul sejak awal, berasal dari kata si A dan kata si B, karna sesungguhanya dalam menilai sesuatu itu yang dibutuhkan bukan kata si A dan atau kata si B, melainkan masukilah tarekat itu dulu baru berkomentar atau lebih, tepatnya pengalaman diri sendiri.
Baca Juga: Silaturahmi ke Kediaman Buya Annas, Seorang Alim yang Tawadhu’
“Syari’at tanpa hakikat kosong, hakikat tanpa syari’at batal”. Setidaknya begitulah perkataan seorang alim yang saya dengar.
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya akan menutup dengan salah satu perkataan/sama dengan gambaran dari pendiri tarekat Naqsyabandiah yang berbunyi:
Syari’at itu ibarat perahunya dan untuk bisa berlayar membutuhkan media air yaitu laut yang disebut hakikat. Untuk mendapatkan mutiara yang indah di lautan maka yang diperlukan adalah cara mendapatkannya yaitu dengan berenang dan itu adalah tarekat. Di kala mendapatkan mutiara, maka itulah makrifat (Al-Imam Syekh Bahauddin an-Naqsyabandi).
𝐒𝐞𝐦𝐨𝐠𝐚 𝐤𝐞𝐛𝐞𝐫𝐤𝐚𝐡𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐞𝐥𝐢𝐩𝐮𝐭𝐢 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐀𝐦𝐢𝐢𝐧 𝐀𝐥𝐥𝐚𝐡𝐮𝐦𝐦𝐚 𝐀𝐦𝐢𝐢𝐧
Leave a Review